Sabtu, 21 Mei 2009. Adlan berangkat ke
Smansawi pagi-pagi, jam 06.25. Matanya masih sembab akibat tangisan panjangnya
semalam. Hari itu ia akan mengikuti pengarahan dan pembagian kelompok MOS –Masa
Orientasi Siswa- bersama semua siswa baru.
Masa orientasi yang akan Adlan ikuti
selama satu minggu ke depan terbagi menjadi dua sesi. Pertama MOS itu sendiri
sebagai masa perkenalan lingkungan sekolah yang akan dilaksanakan pada tiga
hari pertama, Senin, Selasa, dan Rabu. Dan yang kedua adalah GMB atau Gladi Mandala
Bhakti. Sebuah acara leadership camp yang akan diadakan di alam terbuka.
GMB akan dilangsungkan selama tiga hari juga, Kamis, Jumat, dan Sabtu. Untuk
tahun ini panitia memilih Bumi Perkemahan Suniarsih, sebuah daerah pegunungan
di selatan Tegal –sekitar 7 Km di timur laut obyek wisata Guci- sebagai area
penyelenggaraan.
Hanya butuh waktu tiga puluh menit bagi
Adlan untuk menaklukkan 25 Km jarak pembentang antara rumahnya dengan Smansawi.
Terhitung nekat memang, sebab jalanan saat itu
sedang ramai oleh anak-anak sekolah, kendaraan-kendaraan umum, dan
mobil-mobil bak terbuka yang berlalu-lalang mengangkut dagangan sperti sayur
mayur dan buah-buahan dari dan ke pasar.
Sesampainya di Smansawi, Adlan langsung
bergegas ke aula sekolah, berlari. Karena tepat jam 07.00 semua siswa baru
harus sudah berada di ruang kelasnya masing-masing. Di aula, Adlan mencari
namanya di daftar-daftar absensi kelas X (kelas sepuluh/satu SMA) yang ditempel
di Papan aula.
Ketemu! Kelas X.9, absen 12, Adlan
Dzul Izzi, di R 1.12.
Adlan langsung mencari kelasnya. Dia
berlarian menyusuri serambi-serambi kelas, melihat setiap tulisan di bagian
depan ruangan,
“R 1.03, R 1.04, R 1.05, pasti kelasku
di ujung sana.” Adlan terus berlari di serambi-serambi kelas yang masih asing
baginya itu.
Mudah-mudahan kakak kelas
pendampingnya tidak galak, gumamnya dalam hati.
Sampailah Adlan di ruang R 1.12.
Anak-anak sepertinya sudah datang semua. Tapi beruntung, kakak kelas pendamping
belum datang. Hanya tersisa dua meja kosong, paling depan pojok kiri
–berhadapan dengan meja guru- dan paling depan deret tengah, lima langkah dari white
board. Adlan memilih meja yang di deret tengah. Ia menaruh tas gendongnya
di atas meja, lalu duduk di kursi sebelah kanan –tiap meja ada dua kursi.
Belum ada satu orang pun yang Adlan
kenal di kelas barunya itu. Baru berniat berkenalan dengan dua anak yang duduk
di meja belakangnya, kakak pendamping datang. Badannya tinggi tegap, rambutnya
cepak tentara, sepatu pantovel hitam menjadi pondasi putih abu-abu yang ia
kenakan. Mukanya sangar dan ganas. Dari lambang organisasi yang terpasang di
lengan kirinya, siapapun tahu kalau dia anggota ekskul Paskibra. Keramaian
kelas pun langsung terhenti. Hening.
Waduh, sepertinya akan jadi MOS yang
sulit, gumam Adlan dalam hati.
“Assalaamualaikum warohmatullahi wa
barokatuh.” Sapa kakak pendamping, membuka.
“Wa’alaikum salam warohmatullahi wa
barokatuh.” Jawabanak-anak serempak.
“Selamat pagi semua! Perkenalkan, nama
kakak Gilang Pangestu. Kakaklah yang akan menjadi pendamping kalian untuk satu
minggu ke depan. Pada kesempatan ini Kakak cuma diberi waktu sampai jam
sembilan oleh koordinator pendamping. Di sini, kakak akan menyampaikan garis
besar materi, jadwal, dan hal-hal yang harus kalian lakukan Senin besok sampai
Sabtu nanti.”
Kak Gilang menarik kursi guru ke samping
white board lalu duduk, tepat di depan Adlan.
“Sebelum Kita masuk ke penjelasan garis besar materi, Kakak
ingin mengenal kalian terlebih dahulu. Sebutkan nama, asal SMP, dan alamat,
tidak lebih! Mulai dari,.. Kamu!” Menunjuk Adlan yang duduk di meja yang paling
dekat dengannya.
“Perkenalkan, nama Saya Adlan Dzul
Izzi. Saya lulusan SMP Negeri Satu..”
“SALAH..!!” Bentak Kak Gilang keras.
Suaranya menyambar dahsyat seperti petir, membuat keheningan kelas semakin
mencekam.
“Hanya sebutkan nama, asal SMP, alamat!
Tidak lebih! MENGERTI..!!” Bentaknya makin keras.
“Mengerti, Kak.” Jawab Adlan gemetaran.
“SALAH! Jangan katakan mengerti! Tapi
SIAP, MENGERTI!” Serunya tegas. Benar-benar cerminan orang yang terdidik ala
militer.
“SIAP, MENGERTI!” Jawab Adlan dengan
nada suara yang tegas.
“Berdiri tegak! Lalu perkanalkan diri!”
“SIAP!” Adlan berdiri tegak dari tempat
duduknya.
“Adlan Dzul Izzi, SMP Negeri Satu
Pagerbarang, Surokidul, Tegal!” Ucapnya lantang, lalu duduk lagi.
“Berikutnya!” Seru Kak Gilang.
Anak berkaca mata yang duduk di meja
sebelah kiri Adlan berdiri,
“Budi Oktariawan, SMP Negeri Satu
Bumijawa, Bumijawa, Tegal!”
Perkenalan diri ala militer itu terus
berantai. Satu persatu mereka memperkenalkan diri sesuai urutan duduk. Sampai
pada urutan kedua puluh empat,
“Aisyah Az-Zahra, SMP Negeri Dua
Semarang, Jatibarang, Brebes!” Seru seorang anak perempuan di meja shaf ketiga
paling kanan.
Adlan langsung menoleh. Ternyata benar.
Gadis itu adalah Aisyah yang tempo hari berjingkrak kegirangan mendapat peringkat
dua dalam tes seleksi, si jelita yang seharian kemarin wajahnya terus
memproyeksikan diri dalam kepalanya. Jantung Adlan berdegup agak kencang. Entah
senang, entah kaget, entah apa, ia tak mampu mendeskripsikan perasaannya kala
mengetahui Aisyah sekelas dengannya.
Setelah semuanya selesai memperkenalkan
diri, Kak Gilang membagi mereka menjadi dua kelompok besar, regu putra dan regu
putri. Ada empat belas anak laki-laki dan dua puluh enam anak perempuan. Kak
Gilang membagi keempat belas anak laki-laki tersebut menjadi dua regu sama
jumlah. Sedangkan yang perempuan menjadi empat, dua regu beranggotakan tujuh
orang, sisanya enam. Dia menggunakan
absensi kelas untuk menentukan siapa-siapa saja yang menjadi regu pertama, kedua,
dan seterusnya.
“Silahkan berkumpul dengan regu masing-masing!
Musyawarahkan nama regu, ketua, dan wakil ketuanya! Kakak beri waktu lima menit. Dimulai dari,.. Sekarang!”
Mereka langsung merapat dengan regunya
masing-masing. Ruang kelas mulai ramai dengan suara-suara ribut diskusi keenam
regu, termasuk regu Adlan. Adlan terpilih menjadi ketua regu. Sebenarnya dia sudah menolak mati-matian. Pikirnya ketua regu akan lebih repot dari yang lain.
Tapi karena semua teman satu regu memilihnya, maka dengan berat hati ia terima.
Di sudut yang lain, Aisyah ternyata terpilih menjadi ketua regu juga.
“Waktu habis. Sekarang perhatikan!
Kakak akan menjelaskan hal-hal yang harus kalian persiapkan.”
Kak Gilang lalu menjelaskan garis besar
materi, jadwal, seragam, dan aksesoris yang harus dipakai. Mereka harus memakai
perlengkapan dan aksesoris yang tidak wajar. Mulai dari tas kardus, kaos kaki berbeda warna,
topi dari bola plastik yang dibelah dua, dan barang-barang aneh yang lain.
Setelah mendapatkan instruksi dari Kak
Gilang, mereka mulai membagi tugas untuk membawa perlengkapan regu. Dengan
cepat, Adlan membagi teman-teman regunya untuk membawa barang-barang yang
ditentukan. Kelas kembali ramai oleh diskusi mereka. Sesekali waktu terdengar Jangan
aku yang membawanya, yang lain saja! Dan suara-suara penolakan lain yang
membuat para ketua regu kebingungan mengatur kelompoknya.
“Waktu habis!” Seru Kak Gilang.
@@@@
TENG,..!! TENG,..!!
Suara lonceng tanda istirahat berbunyi.
Anak-anak keluar kelas. Sebagian mereka lebih memilih menetap di kelas, ngobrol
dengan teman-teman barunya.
Selain panitia MOS dan GMB, tidak ada
siswa Smansa yang berangkat sebab kegiatan belajar mengajar efektif baru akan
dimulai hari Senin. Hal itu menyebabkan
pemandangan lebih didominasi oleh warna putih biru daripada putih abu-abu
–siswa baru diwajibkan memakai seragam putih biru selama belum resmi dilantik
oleh Kepala Sekolah, termasuk hari Jumat dan Sabtu.
Adlan beranjak ke masjid Baitul Alim
–masjid Smansawi- untuk sholat duha. Pikirnya, jika hanya berkenalan dengan
teman-teman kelas atau ngobrol dengan
mereka untuk mengakrabkan diri bisa dilakukan nanti. Tapi sholat duha? Kalau
tidak dikerjakan sekarang lalu kapan? Bisa jadi tidak ada waktu dan kesempatan
lagi setelah ini.
Adlan memang terdidik sejak kecil untuk
selalu continuously dalam mengerjakan sholat sunah ini. Selalu melekat
betul pesan Umi dalam hatinya. Saat usianya enam tahun, ketika Umi mengajarkan
cara sholat duha kepadanya untuk pertama kali, Umi bilang,
“Adlan, di dalam tubuh kita ini ada
banyak sekali sendi dan urat saraf yang kesemuanya itu Allah tundukkan untuk
kita agar kita bisa bergerak dengan leluasa. Dengan itu, kamu bisa berlarian
sesuka hati, loncat-loncatan, dan semuanya. Seandainya ada satu saraf saja yang
tidak berfungsi dengan normal, pasti tubuh kitapun akan ikut bermasalah. Bahkan
bisa jadi kita malah kena struk, seperti Mang Jojo.”
Adlan mengernyitkan alis, ngeri.
“Iih, serem, Mi. Adlan tidak mau
seperti Mang Jojo.” Katanya polos. Ia membayangkan keadaan Mang Jojo yang tempo
hari ia jenguk. Tak bisa apa-apa, tak berdaya dan hanya bisa berbaring di atas
ranjang. Satu-satunya anggota tubuh yang masih bisa digerakkan hanya matanya.
“Makanya Adlan yang rajin sholat duha.
Karena kata RasuluLlah, dua rokaat duha itu merupakan bentuk syukur kita kepada
Allah atas semua saraf dan persendian di tubuh kita yang masih berfungsi normal[1].
Maka dengan mensyukuri saraf dan persendian kita itu, Allah tidak akan
membiarkan hal-hal buruk menimpanya. Allah lah yang akan menjaganya untuk
kita.”
Di teras masjid, saat Adlan sedang
melepas sepatu, Aisyah lewat di depannya. Berjalan bersama Nisa dan dua
temannya yang lain. Mereka menuju pintu di bagian kiri masjid, pintu khusus
perempuan. Adlan terpaku saat Aisyah melontarkan senyum kepadanya. Dia hanya
diam membatu. Bibirnya seolah membeku meski hanya untuk membalas senyum Aisyah.
Jantungnya terpompa sangat cepat. Mukanya memerah. Dia cuma melontarkan
pandangan datar sebagai balas senyuman tadi.
Sementara Aisyah yang senyumnya tak direspon
merasa aneh. Mungkin Adlan lupa denganku, pikirnya. Padahal yang
terjadi adalah sebaliknya. Jangankan lupa, untuk mengusir bayangannya saja dia
butuh waktu berjam-jam sampai akhirnya lelap menolongnya. Bayangannyalah yang
paling jelas terproyeksi dalam kepala Adlan seharian kemarin.
Adlan masuk ke dalam masjid. Dia tak
perlu mengambil wudu lagi karena wudu yang diambil saat di rumah belum batal.
Ia memakai peci putih berbahan kain yang ia simpan di saku celananya. Tanpa
harus memakai sarung –karena celana panjang yang ia kenakan sudah cukup untuk
menutup auratnya- ia pun bertakbir. Allaahu akbar.
Di waktu yang hampir bersamaan, Aisyah
yang baru selesai memakai mukena putih pun memulai takbirnya. Dia berdiri tepat
di sebelah kiri Adlan. Mereka sholat bersama, ruku’ bersama, dan sujud pun
bersama, seolah gerakan mereka adalah satu kesatuan. Meski satir tirai
membatasi tubuh keduanya, namun jiwa mereka sebenarnya sedang menyatu,
menghinakan diri menghadap Dzat Yang Maha Satu.
Di rokaat kedua, Adlan teringat
kejadian semalam. Saat suara tangis Umi terisak berlatar suara rintik hujan di
luar rumah. Ia tak kuasa mencegah air matanya untuk berlinang deras. Mengalir
melalui garis tepi hidungnya dan bermuara di dagu, lalu dari muara itulah
tetesan-tetesan air matanya berjatuhan ke lantai masjid.
Di sisi kiri satir, Aisyah pun ternyata
sedang tenggelam dalam tangis yang tak kalah memilukan. Tersirat di wajahnya
sebuah pengaduan mendalam atas masalah yang sedang ia pikul. Masalah yang hanya
bisa ia adukan kepada Tuhannya, masalah yang sampai saat ini hanya bisa ia
pendam sendiri, masalah yang begitu sulit dan rumit untuk bisa ditemukan jalan
keluarnya. Ketika bersujud air matanya berkumpul, meluap, kemudian pecah ke
lantai.
Aisyah memasrahkan diri sepenuhnya kepada
Dzat yang ia persembahkan sujudnya itu. Berharap, semoga suatu saat nanti akan
ada jalan keluar yang indah untuk masalahnya. Jalan keluar yang ia yakini telah
Allah persiapkan sebagai hadiah terindah untuknya, hanya saja Dia menunggu saat yang istimewa untuk
memberikan hadiahNya yang sangat istimewa itu.
Mereka berdua terus tenggelam dalam
pengaduan, ketidak berdayaan, dan penyerahan diri secara total kepada Tuhannya.
Mengakui betapa lemah diri mereka di hadapan kekuatan Allah, betapa hina diri
mereka di hadapan kemuliaan Allah, betapa faqir diri mereka di hadapan kekayaan
Allah, dan betapa mereka seperti pengemis yang meminta-minta di depan pintu
kasih sayang Allah, menengadahkan tangan, merengek-rengek, berharap mendapatkan
pertolongan saat mereka tertimpa masalah seperti ini. Air mata mereka terus
menetes, menguntai seperti untaian permata, sampai akhirnya mereka pun
mengahiri kemesraan dalam penghambaan tersebut dengan salam.
@@@@
Masih dua puluh menit lagi lonceng
tanda masuk baru akan dibunyikan. Adlan pergi ke kantin sekolah untuk membasahi
tenggorokannya dengan segelas es teh. Sesampainya di kantin yang terletak tepat
di samping masjid, Adlan memesan es teh di tempat pelayanan.
Hanya ada lima orang pengunjung di
situ. Dia memilih tempat duduk di dekat jalan masuk kantin. Di kantin tersebut
ada sembilan meja panjang. Masing-masing meja dilengkapi dua bangku panjang
yang mengapit sebagai pendampingnya, memungkinkan dua belas orang untuk
makan bersama, duduk saling berhadapan enam-enam.
Tak lama kemudian, Aisyah dan
teman-temannya pergi ke kantin. Saat itu Adlanlah yang memulai sapaannya,
dengan senyuman. Dia sudah mampu menguasai dirinya ketika melihat Aisyah, tidak
seperti saat di teras masjid tadi.
Aisyah membalasnya dengan senyuman pula. Manis. Bahkan lebih manis dari es Teh
Poci yang sedang Ia nikmati.
Dari tempat duduknya, Adlan mengamati
Aisyah yang sedang memesan di tempat pelayanan. Dia memesan es jeruk. Usai
memesan Aisyah berjalan ke arah Adlan. Adlan segera memalingkan wajahnya.
Jantungnya berdisco.
Jangan-jangan dia mau duduk disini,
Adlan menerka. Dia pura-pura sibuk dengan gelas tehnya yang tinggal separuh.
“Hei, boleh duduk di sini?” Aisyah
menaruh es jeruknya di depan Adlan.
Adlan mengangguk. Aisyah duduk di
bangku di depan Adlan. Berhadapan.
“Masih ingat denganku?” Aisyah membuka
percakapan.
Adlan tak menyangka Aisyah sesupel itu,
bahkan dengan lawan jenis yang baru ia kenal.
“Aisyah kan? Yang kemarin loncat-loncat
kegirangan karena dapat peringkat dua?” Jawab Adlan mengakrabkan diri. Dia
berusaha untuk lebih banyak menundukkan pandangan saat itu.[2]
“Ah, tapi kamu jauh lebih hebat, Adlan
Dzul Izzi kan? Nilaimu terpaut jauh di atasku.” Lalu menyedot es jeruknya.
“Kalau tidak salah, tadi kamu bilang dari SMP dua Semarang bukan? Kenapa meneruskan sekolah di sini?”
“Papaku dipindah tugaskan ke Brebes
untuk mengurus proyek perusahaannya, lalu aku disuruh sekolah disini sama
Mama.”
“Proyek? Proyek apa kalau boleh tahu?”
“Proyek pembangunan hotel.”
“Oh, jadi Papamu arsitek?”
“Emm, lebih tepatnya dia itu wakil
direktur. Papa dipercaya atasannya untuk mengurus proyek ini sampai selesai.
Jadi, mau tidak mau sekeluarga pun ikut
pindah ke Brebes.” Jelas Aisyah.
“Oo, wakil direktur. O iya, Nisa itu
saudarimu yah?”
“Bukan. Dia tetanggaku di rumah yang
baru aku tempati. Cuma dia yang aku kenal, jadi kemana-mana kami bersama. O
iya, kamu tinggal di mana? Surokidul yah? Di mana itu?”
“Kamu benar-benar masih baru di sini, yah?” Adlan balik bertanya.
“Iya, baru dua minggu.”
“Pantas saja, desa tetangga saja tidak
tahu. Surokidul itu desa di selatan Jatibarang tempat tinggalmu, Aisyah.”
“Oh, hehe.. Ternyata tetangga. Berarti
kita pulangnya searah dong?”
“Yaa begitulah.” Adlan kemudian
menyedot habis sisa es tehnya.
Nisa dan kedua temannya telah selesai
minum. Mereka mengajak Aisyah untuk kembali ke kelas.
“Aku ke kelas dulu yah.” Aisyah
berpamit.
“Iya, silahkan.” Jawab Adlan sambil
mengaduk-aduk es batu yang tersisa di gelasnya.
Aisyah berjalan ke kelas bersama ketiga
temannya. Adlan menatap punggung mereka yang semakin menjauh, hingga akhirnya
hilang di balik bangunan kelas.
@@@@
“Kamu kok bisa langsung akrab sama dia
sih? Padahal baru ketemu kemarin kan?” Tanya Nisa.
“Emm, entahlah, aku juga bingung.
Biasanya aku tak semudah itu supel sama orang yang baru kukenal, apa lagi sama
laki-laki. Aku cuma merasa kalau dia berbeda, tidak seperti kebanyakan anak
laki-laki lainnya.” Jawab Aisyah enteng.
“Jangan-jangan kamu suka sama dia yah?”
Salma, salah satu temannya menggoda.
”Suka? Mana mungkin, Salma, orang aku juga
baru kenal tadi kok.” Tepis Aisyah.
“Ya kan bisa saja, Aisyah, cinta
pandangan pertama.” Ledek Melani, temannya yang satu lagi.
“Ih, apaan sih kamu. Jangan ngaco deh!”
Muka Aisyah memerah.
Mereka tertawa melihat Aisyah yang jadi
salah tingkah. Sambil berjalan, mereka masih
terus menggoda Aisyah, tertawa melihat Aisyah yang terpojok. Nisa hanya
tersenyum ringan melihat temannya itu tak berkutik.
Sesampainya di kelas, mereka baru
berhenti meledek, langsung sibuk dengan tema pembicaraan yang lain, mode.
Ketika sedang asyik ngobrol, tiba-tiba wajah Aisyah nampak cemas. Tangannya
merogoh ke dalam saku roknya. Ada yang
hilang. Nisa yang menyadari perubahan raut wajah temannya itu bertanya,
“Ada apa, Syah? Dompetmu hilang?”
“Tidak, Nis. Tidak ada apa-apa, dompetku
di tas kok, masih ada.” Dengan ekspresi sebiasa mungkin, mencoba menutup-nutupi
sesuatu.
@@@@
Di perjalanan menuju kelas, Adlan
melihat sapu tangan biru tergeletak di atas paving. Awalnya dia tidak peduli,
lewat begitu saja. Namun saat melihat sekilas huruf yang terbordir di salah
satu ujung sapu tangan, A.Z, ia pun curiga. Jangan janga itu milik Aisyah
az-Zahra. Dia lalu mengambilnya. Pikirnya, kalau itu milik perempuan pasti
wangi, kalau tidak, ya berarti bukan. Adlan lalu menciumnya.
“Anyir darah?”
Adlan segera membuka lipatan sapu
tangan tersebut. Ada bercak darah yang belum terlalu kering. Sepertinya memang
sengaja disembunyikan oleh pemilik sapu tangan dengan melipatnya,
menyembunyikannya di bagian dalam lipatan.
“Akan aku tanyakan ke Aisyah nanti.”
Kata Adlan dalam hati.
@@@@
Jam 14.30 Adlan baru sampai di rumah. Adlan
belum sempat menanyakan sapu tangan tersebut kepada Aisyah. Tadi saat tiba di
kelas, ternyata wali kelasnya, Pak Agus Prodo, sudah berada di sana, sedang
mengabsen satu persatu para murid barunya. Dia pun menunda untuk menanyakannya.
Mungkin nanti, setelah lonceng tanda berakhirnya kegiatan berbunyi. Namun
ketika lonceng berbunyi, Waiz, wakil ketua regunya, meminta pembagian tugas
ulang. Dia bilang ada salah satu anggota kelompoknya yang keberatan membawa
tongkat regu.
Selesai membagi ulang tugas anggota regunya,
Adlan mencari-cari Aisyah. Lagi-lagi niatnya untuk bertanya perihal sapu tangan
berdarah itu gagal lagi. Salma memberitahu kalau Aisyah sudah pulang dengan
Nisa lima belas menit yang lalu. Menilik tak ada yang perlu dikerjakan lagi ia
pun langsung pulang.
Melihat langit mendung yang sepertinya akan
segera menurunkan milyaran pasukan airnya, sesampainya di rumah, Adlan langsung
memasukkan bebek-nya ke kandang. Umi sedang istirahat siang, begitu pula Fadli,
sedangkan Abah seperti biasanya pulang agak sore. Adlan pergi ke kamarnya,
mengganti seragam putih birunya dengan pakaian santai.
Dia lebih memilih untuk membuka laptopnya dari
pada istirahat siang. Dia ingin mengasah kemampuan jari jemarinya menari di
atas keyboard Qwerty laptopnya. Ia memiliki pemahaman bahwa kemampuan mengetik
merupakan keharusan baginya demi mendukung cita-citanya sebagai penulis.
Sebagaimana nasihat yang pernah dia dengar dari guru ngajinya, Kyai Hadi,
“Para ulama pejuang islam terdahulu, meskipun
mereka piawai dalam berpidato, menyuarakan dakwah di atas mimbar melalui lisan mereka,
namun mereka justru lebih terfokus untuk menggoreskan ajaran-ajaran dakwah
mereka dengan tinta dan kertas. Mereka paham, jika dengan lisan, peluru dakwah
mereka hanya bisa menembus kepala-kepala manusia dengan jumlah yang sedikit,
belum lagi terbatas oleh jatah umur mereka. Jika mereka mati, maka lisan mereka
pun akan ikut mati. Namun dengan tulisan? Peluru dakwah mereka akan menembus jauh
lebih banyak kepala manusia, yang lebih hebatnya lagi peluru tersebut akan
terus melesat meski mereka telah tiada.”[3]
@@@@
“Terimakasih atas tumpangannya yah, Syah?”
Nisa turun dari Alphard putih milik orang tua Aisyah.
“Iya, sama-sama , Nis.” Aisyah melontarkan
senyum manisnya yang has.
“Ayo jalan, Pak Udin!” perintah Aisyah kepada
sopir pribadi keluarganya itu.
Mobil lalu berjalan melewati tiga rumah elit
untuk kemudian berhenti di depan sebuah rumah berlantai dua. Bangunannya megah.
Klakson mobil dibunyikan. Dari dalam, keluar seorang laki-laki berpakaian
security membuka pintu gerbang rumah yang nampak begitu artistik. Mobil pun
masuk dan berhenti di halaman rumah yang cukup luas. Komplek perumahan mewah
itu sebenarnya milik perusahaan di mana ayah Aisyah bekerja. Jadi tidak heran,
meski baru pindah dari kota yang jauh, Aisyah sekeluarga –beserta pembantu dan
sopir- bisa langsung berteduh di istana mewah yang dilengkapi sarana dan
prasarana serba lux itu.
“Assalamualaikum, Mah. Aisyah pulang.” Aisyah
masuk ke dalam rumah.
Seorang wanita paruh baya keluar dari ruang
belakang. Tangan kanannya menggenggam sapu, sedangkan tangan kirinya memegang
serok sampah.
“Ibu sedang pergi ke Tegal kota, Non.”
Katanya.
“Ngapain, Bi Hafsah?”
“Katanya mau cari tas sama baju, sekalian
bertemu dengan teman lama yang kabarnya mau bermitra membuka butik baru di Tegal.”
“Astaghfirullah, belanja lagi? Butik lagi?
Huh! Kapan punya waktu di rumah? Belanja, butik, salon, arisan, kumpul-kumpul
di restoran dengan teman-temannya yang tak jelas, tidak di semarang, tidak di
sini, sama saja! Kapan Mama punya waktu untuk Aisyah sih, Bi?”
“Jangan begitu, Non. Itu ibu Non Aisyah
sendiri. Nanti kualat loh.”
“Iya sih, Bi, tapi... Uuh! Sebal! Untung ada
Bi Hafsah. Kalau tidak, mungkin Aisyah sudah bunuh diri sejak dulu gara-gara
tak diperhatikan.”
“Aduh-aduh Non, kok omongannya seperti itu
sih? Pamali tau. Lebih baik Non Aisyah ganti baju saja dulu, Bibi sudah buatkan
steak sapi kesukaan Non. Pasti Non Aisyah belum makan kan?”
“Iya, belum. Makasih yah, Bi. Kita makan
bareng lagi yah! Aisyah ganti baju dulu. Bi Hafsah tunggu di meja makan!”
Aisyah lalu beranjak ke kamarnya di lantai
dua. Sementara Bi Hafsah menyiapkan hidangan di meja makan. Sepuluh menit
kemudian Aisyah turun dengan pakaian santainya. Menghampiri Bi Hafsah yang
masih sibuk menata makanan di meja makan yang berbentuk oval memanjang. Aisyah
duduk persis di samping Bi Hafsah.
“Bi, Aisyah jadi ketua regu loh.”
“Ketua regu apa, Non?” Sambil mengambilkan
nasi untuk Aisyah.
“Regu MOS, Bi.”
“MOS? Apaan itu Non?”
“Aduh, masa MOS saja tak tahu sih? MOS itu
Masa Orientasi Siswa, Bibi.” Aisyah gemas.
“Hehe, Bibi kan cuma lulusan SR, Non. Jadi
tidak tahu mos mos-an kayak gitu.” Menaruh nasi di depan Aisyah.
“Yaah, gak asik ah! Tapi tak apa, akan Aisyah
jelaskan apa itu MOS.”
Sambil menyantap makan siang, mereka berdua
saling bercerita. Ngobrol ngalor ngidul dengan penuh keakraban. Sesekali mereka
tertawa lepas saat ada cerita yang lucu.
Uhuk.. Uhuk,..!!
Tiba-tiba Aisyah batuk. Ia menutup mulutnya
dengan tangan kanan.
“Astaghfirullah, Non. Tersedak yah? Ini, minum
dulu, Non!” Dengan cemas Bi Hafsah menyodorkan air putih kepada Aisyah.
Ketika Aisyah membuka tangan, darah telah
mewarnai putih telapak tangannya.
“InnaLillahi, Non! Keluar darah lagi.
Sebentar, Bibi ambilkan obatnya dulu.” Bi Hafsah berlari ke kamar Aisyah,
mengambil obat.
Sejurus kemudian Bi Hafsah kembali dengan
membawa botol obat berwarna cokelat gelap.
“Ini obatnya, Non.” Menyerahkan botol
tersebut.
Aisyah membuka tutup botolnya. Mengeluarkan
dua pil bundar berwarna putih. Sesaat ketika hendak memasukkan pil itu ke
mulut, Aisyah batuk lagi. Darah muncrat dari mulutnya, mengenai nasi dan steak
sapi yang sedang menjadi santapannya. Bi Hafsah mengambil beberapa lembar tisu
di tengah meja makan. Mengelap mulut dan tangan Aisyah. Aisyah mengambil gelas
air putih lalu segera menelan dua pil tadi dengan bantuan beberapa teguk air.
“Non, kenapa tidak bilang sama Bapak ibu saja
biar cepat diobati? Sepertinya penyakit Non semakin parah.”
“Tidak usah, Bi, biar Aisyah tahan saja. Tidak
terlalu parah juga. Paling satu jam lagi sakit di dada Aisyah hilang. Biasanya
juga begitu kan?”
“Iya sih, Non. Tapi Bibi khawatir. Bibi takut
Non Aisyah kenapa-kenapa. Lagian Bapak sama Ibu kan juga orang tua Non, masa
mereka tidak boleh tahu keadaan Non sih?”
“Aisyah tak akan kenapa-kenapa, Bi Hafsah. Papa
sama Mama tidak perlu tahu, nanti kerjaan Papa terganggu, juga kesenangan mama
terusik. Kan kata Bi Hafsah RidhoLlah fi Ridhol walidayn[4],
Ridhonya Allah ada pada keridhoan orang tua. Kalau Aisyah cerita keadaan Aisyah
yang sebenarnya, terus malah menambah beban Mama sama Papa, apakah Allah akan
ridho sama anak yang membuat orang tuanya susah seperti Aisyah? Lagian kan ada
Bi Hafsah yang selalu ada kapanpun Aisyah butuh. Jadi, everything’s gonna be
oke Bi Hafsah.” Aisyah melontar senyum manisnya yang has.
“Artinya apaan, Non?” Tanya Bi Hafsah polos.
“Artinya, semuanya akan baik-baik saja, Bibi.”
“Ooh, epret-epretin gona bi oke artinya semua
akan baik-baik saja. Bibi baru tahu Non, hehe.” Bi Hafsah meneyeringis.
“Everything Bibi, bukan epret-epretin.” Aisyah
gemes.
“Iyalah maksudnya itu.” Bi Hafsah tak mau
kalah.
Aisyah tersenyum. Dia lalu mengambil gelas air
putih, meneguknya tiga kali.
“Bi, Aisyah ke kamar dulu, mau tidur. Nanti
kalau Bi Hafsah mau sholat asar bangunkan Aisyah yah? Kita sholat berjamaah
lagi.”
“Iya Non. Eh iya! Non Aisyah sudah sholat
zuhur?”
“Sudah, Bi. Tadi di sekolah sebelum Aisyah
pulang. Thank’s steaknya yah, Bi Hafsah. Rasanya uuwwennnak tenan.”
“Hehe, iya Non. Sama-sama.”
Aisyah kemudian beranjak ke kamarnya.
Sementara Bi Hafsah membereskan meja makan, membersihkan darah yang juga
menyiprat ke beberapa bagian meja.
@@@@
[1]Nashoih
addiniyyah, halaman 134-135.
[2]Fathul
Qorib al Mujib fi Alfaaz At Taqrib, halaman 101, di situ dijelaskan
keharaman melihat lawan jenis (yang bukan mahrom) meskipun lawan jenis itu
sudah tua dan tidak mengundang syahwat. Lihat juga di Fawaid al mukhtaroh,
Bab Dzammul harom, halaman 334.
[3]Terinspirasi
dari kalimat Ahmad Fuadi, penulis Trilogi Negeri Lima Menara, saat
mengisi sebuah seminar kepenulisan di
SMA N 1 Slawi
[4]Maktabah
Syamilah, kitab Subulussalam, juz 4, hal 164.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar