Sabtu, 15 Juli 2017

2. Satu


Jumat, 20 Mei 2009. Saat yang sangat menegangkan bagi 906 siswa SMP yang empat hari lalu mengikuti tes seleksi Smansawi kloter terakhir. Sejak pukul 05.30 selepas subuh tadi para panitia penyeleksi dibantu beberapa anggota pengurus OSIS sudah sibuk menempeli kertas-kertas hasil tes  Senin lalu. Kertas-kertas tersebut ditempel pada papan-papan yang disusun memanjang di aula sekolah. Jam 06.30 satu persatu siswa berseragam putih biru mulai berdatangan. Mereka langsung sibuk mencari-cari namanya sendiri di antara 906 nama yang tertulis di kertas-kertas pengumuman tersebut.
Satu persatu kertas mereka periksa dengan teliti. Berdesakan dan saling dorong, berharap namanya ada pada daftar dua ratus peringkat awal, karena jika nama mereka  berada di bawah peringkat 200, itu berarti mereka berada di posisi cadangan. Cadangan dimulai dari peringkat 201 sampai 906. Mereka akan menjadi pengganti apabila dari 200 siswa yang diterima ada yang mengundurkan diri atau tidak bisa melengkapi persyaratan-persyaratan yang diminta. Tapi itu hampir tidak mungkin terjadi. Sehingga bisa dikatakan, Cadangan = Tidak diterima.
Meskipun hari masih pagi, udara pun sejuk, tapi banyak diantara mereka yang berkeringat deras, bahkan sebagian anak perempuan bedaknya luntur, sebagian lagi ketiaknya basah. Ada yang seketika berteriak HOREE..!! AKU PERINGKAT TUJUH, HORE! AKU PERINGKAT TIGA PULUH, HORE! AKU DITERIMA, dan banyak HORE lain yang mengikuti. Mereka mulai menemukan namanya masing-masing. Suasana kegembiraan terlihat jelas, namun tidak sedikit juga anak-anak yang berwajah kesal, sedih, dan frustasi karena tidak diterima.
Adlan lebih memilih berangkat agak siang. Jam 08.15 dia baru sampai di Smansawi. Ia menduga keadaan sudah mulai sepi. Ketika sampai di aula sekolah, ternyata masih ada sekitar tiga puluhan siswa yang masih sibuk mencari cari nama mereka di Papan. Adlan tidak langsung nimbrung mencari nama, dia lebih memillih duduk santai terlebih dahulu di sebuah kursi panjang tepat di sebelah utara papan-papan. Ia keluarkan smartphone-nya dari saku celana. Kabel headset dicolokkan, telinga disumpal dengan headset, lalu, klik, Critical Acclaim_A7X.
Di posisi yang teramat rileks itu Adlan menonton tingkah anak-anak SMP yang sibuk hilir mudik di depannya, mengamati dengan cemas daftar-daftar nama dari satu papan ke papan lainnya. Ia jadi berpikir betapa antusiasnya anak-anak itu untuk bersekolah di sekolah sebergengsi ini.
Masih sangat lekat di ingatannya memori empat hari lalu, ketika ia bersama anak-anak SMP lain berjibaku melawan dua puluh lima soal IPS, dua puluh lima soal IPA, dua puluh lima soal matematika, dua puluh lima soal B. Indonesia, dua puluh lima soal B. Inggris, dan dua puluh lima soal psikotes hanya dalam waktu dua jam.
Suasana kala itu benar-benar menegangkan, panas, dan berkeringat meskipun ruangannya ber-AC. Bukan cuma karena kesemua soal yang mereka hadapi itu memang benar-benar telah dipilih sebagai eliminator paling tangguh, tapi juga karena guru yang bertugas mengawasi tes seleksi saat itu begitu menyeramkan dan killer. Kumisnya tebal seperti tokoh Pak Raden dalam film Si Unyil, sorot matanya tajam dan galak seperti herder, cincin akik hitam yang melingkar di jari tengah kedua tangannya menambah aura mistis yang memancar dari dalam diri lelaki berambut gersang di bagian depan kepalanya itu. Tapi di antara semua penampilan eksentriknya, yang paling mengganggu adalah parfumnya. Tak jarang ada siswa yang berubah raut wajahnya menjadi frustasi hanya gara-gara mencium aroma parfumnya yang angker.
Selain kengerian-kengerian yang telah disebutkan di atas, lelaki tersebut juga memiliki kemampuan yang luar biasa. Ia bisa mengubah atmosfer ber-AC di ruangan itu menjadi hawa jahanam hanya dengan sekali menyalak,
“Sekali lagi lirak-lirik, saya congkel matamu!”
Lima belas menit berlalu tiga lagu telah habis diputar, Adlan pun menghentikan proyeksi film horor di kepalanya. Kini Papan pengumuman benar-benar sepi, hanya menyisakan dua anak perempuan, satu berjilbab dan yang satu lagi tidak, yang tidak berjilbab rambutnya panjang sepunggung, namun demikian keduanya sama-sama memakai seragam SMP yang tertutup.
Merasa keadaan mulai kondusif Adlan pun ikut nimbrung. Dia mulai mencari namanya di daftar paling kiri, daftar dua puluh peringkat teratas.
“Yes! Perhitunganku benar. Total nilai sembilan puluh empat.”
Dia segera mengeluarkan smartphone-nya dari saku baju, mengetik pesan singkat sambil tetap berdiri di depan daftar dua puluh peringkat teratas tadi.
Mi, Adlan lolos. Alhamdulillah dapat peringkat ke..
 “Maaf, bisa geser sedikit? Kami mau melihat daftar yang ini.” Kata anak berkerudung. Tangannya menunjuk daftar 20 nama peringkat teratas di depan Adlan. Anak berambut panjang berdiri di sampingnya.
“Oh iya, silahkan!” Adlan bergeser mempersilahkan.
Saat Adlan hendak melanjutkan SMSnya, siswi berkerudung tadi berteriak,
“Aisyah, aku peringkat lima belas!!” Begitu antusias.
Temannya, Aisyah, menyambut teriakan antusias itu dengan teriakan yang lebih antusias lagi,
“Iya, Nisa. Aku peringkat dua!!!”
Keduanya lalu melompat-lompat kegirangan. Berpelukan. Mereka tak bisa menahan tawa luapan kegembiraan. Aisyah sampai berkaca-kaca matanya. Adlan yang melihat luapan kebahagiaan itu akhirnya menyimpan kembali HPnya ke dalam saku. Dia mendekati Aisyah dan Nisa lalu berkata,
“Selamat yah, Aisyah, Nisa, peringkat yang mengagumkan.” Tersenyum.
Aisyah dan Nisa menyambut hangat ucapan selamat tersebut.
“Iya, terimakasih. Kalau kamu bagaimana? Namamu ada di daftar dua ratus siswa yang diterima kan?” Tanya Aisyah sembari menyeka air matanya.
“Alhamdulillah, iya. Baiklah, sekali lagi selamat yah. Aku duluan.” Jawab Adlan sambil melangkah meninggalkan Nisa dan Aisyah.
“Hey, nama kamu siapa?” Tanya NIsa.
“Namaku tercantum bersama nama kalian di kertas yang sama.” Jawab Adlan, misterius. Ia terus berjalan ke tempat parkir.
Di atas motornya, setelah menstarter motor Adlan mengeluarkan kembali HPnya. Melanjutkan SMS yang tadi tertunda, Satu, Lalu send. Dia memasukkan kembali HPnya ke dalam saku kemudian tancap gas. Pulang.
@@@@
Jam 10.58 bebek Smash biru ditenggerkan di teras rumah. Dengan begitu riangnya Adlan berlari ke dapur, tempat yang ia yakini Umi pasti ada di sana. Begitu sampai di dapur, ternyata sepi, bahkan kompor  gas  pun tak menyala. Hari ini Umi tidak memasak? Gumamnya. Dia langsung pergi ke ruang tengah, meja makan. Ternyata Umi di situ. Ada satu hal yang membuat matanya langsung terbelalak, di atas meja telah terhidang dua puluh tusuk sate ayam favoritnya. Wajah dan sorot matanya berbinar, mata tak berkedip memandangi. Lubang hidung melebar, menghirup dalam-dalam aroma sate yang sangat menusuk sampai  ke perut. Mulutnya melongo, liurnya hampir menetes.
“Ini hadiahnya, Sang Juara.” Kata Umi memecah konsentrasi Adlan yang tertuju pada tusukan-tusukan sate itu.
“Sate ayaaamm…!!!”
Tanpa ba bi bu Adlan langsung merangsek duduk di kursi makan, membantai tusuk demi tusuk sate yang terkapar di atas piring saji warna putih. Mulutnya blepotan. Umi hanya tersenyum melihat kebuasan Adlan melahap hadiahnya.
“Pelan-pelan, Adlan! Nanti tersedak.” Umi mengingatkan.
“Iya, Mi, tenang saja!” Jawabnya dengan mulut yang penuh dengan lumatan daging.
“Tadi Abah sudah Umi kabari kalau kamu dapat peringkat pertama. Abah bilang mau membelikanmu sesuatu sepulangnya dari kantor nanti.” Umi memberi tahu.
“Dibelikan sesuatu? Apa, Mi?” Tanya Adlan. Mulutnya masih penuh.
“Entahlah. Tunggu saja nanti. Terus Abah juga bilang kalau hari ini pulang sore, jadi kamu berangkat jumatannya sendirian.”
“Hhe’em.. iya, Mi.” Mulutnya terus mengunyah.
“Kalau  satenya sudah habis, mandi, terus siap-siap ke masjid. Umi mau istirahat dulu di kamar.”
“Siap Ibu Ratu!” Menghormat ala tentara Inggris.
Semenjak kelahiran Adlan kehidupan keluarga Dewi semakin dan semakin membaik. Tidak hanya membawa kebahagiaan untuk umi dan abahnya, namun juga membawa keberuntungan berturut-turut bagi keluarga kecil itu.
Lima tahun setelah kelahiran Adlan sang Abah diangkat menjadi PNS setelah sekian lama mengabdi sebagai honorer, gajih bulanannya pun naik seiring dengan kenaikan pangkatnya. Dua tahun berikutnya ia mendapat beasiswa S2 dan mampu menyelesaikan magister ilmu politiknya tepat waktu. Lalu di umur Adlan yang ke sembilan tahun, semakin lengkaplah kebahagiaan keluarga itu dengan kehadiran penghuni baru, adik Adlan yang bernama Fadli.
Adlan tumbuh menjadi anak yang cerdas, atau lebih tepatnya jenius. Otaknya seperti alat rekam, apapun yang dia lihat, dengar, cium, atau rasa akan melekat kuat di ingatannya. Saat umurnya tujuh tahun dia dibawa silaturahmi ke Kyai Hadi, beliau berpesan kepada Abah dan Umi,
“Anak kalian memiliki cahaya yang terang di dalam dadanya, jagalah dia dari kegelapan maksiat agar cahayanya tidak redup.”
Semenjak kelas satu SD Adlan selalu meraih juara pertama setiap kali pembagian raport. Ia benar-benar mengagumkan, selalu menunjukkan kepada siapapun guru yang pernah mengajarnya bahwa dia adalah anak yang cemerlang. Mereka terkagum dengan kecepatan daya tangkap otaknya, juga kemampuannya mengolah informasi yang baru didapat sehingga bisa langsung dikombinasikan dengan informasi-informasi lain yang sudah terlebih dulu ada di dalam kepalanya.
Kemampuan Adlan yang sedemikian wow itu bahkan tak jarang membuat guru pengajarnya mati kutu gara-gara pertanyaan kritisnya. Salah satunya terjadi saat ia duduk di kelas tiga SD, ketika guru agamanya bercerita tentang Nabi Ibrahim a.s yang menghancurkan patung-patung raja Namrud dengan sebuah kapak.
“Pak, kok Nabi Ibrahim bilang kalau yang menghancurkan patung-patung itu adalah patung yang paling besar? Bukankah itu bohong? Lalu kenapa Nabi Ibrahim berbohong? Padahal Nabi Ibrahim kan seorang rasul? Bukankah salah satu sifat wajib bagi rasul adalah shiddiq yang artinya jujur?”
Satu kelas menjadi hening mendengar pertanyaan berbobot yang begitu saja keluar dengan derasnya dari mulut Adlan. Bahkan gurunya pun tercekat, dua detik mulutnya sempat menganga, memperlihatkan kerak-kerak gigi bagian dalamnya yang kuning. Sang guru tak mampu menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang pasti, namun demi menjaga harga diri di depan murid-murid yang saat itu menatapnya dengan tatapan super penasaran –sebagian dengan mata belekan,- akhirnya ia mengarang sendiri jawabannya.
“Ya karena... terkadang bohong itu diperbolehkan saat keadaannya genting.” Katanya penuh mantap.
Anak-anak satu kelas manggut-manggut oooh kecuali Adlan, otaknya masih belum mau menerima jawaban sesimpel itu.
“Berarti kalau Adlan memecahkan spion motor bapak lalu dipaksa mengaku, Adlan boleh berbohong yah Pak?” ekspresinya polos.
“Oh, kalau itu jelas tidak boleh.”
“Kenapa tidak boleh Pak? Katanya dalam keadaan genting boleh berbohong?”
Gurunya semakin bingung, makin ia menjawab makin ia mati kutu dengan pertanyaan Adlan berikutnya. Senjata makan tuan. Karena tidak menemukan jawaban lain akhirnya ia pun berkata,
“Karena itu motor Bapak.”
Semenjak kejadian tanya jawab itu, hampir setiap hari ada saja guru yang mengeluh karena spion motornya pecah. Mulai dari guru matematika, guru bahasa Jawa, guru Penjas, dan guru-guru yang lain termasuk kepala sekolah. Hanya guru agama saja yang tak pernah mengeluhkan hal itu.

@@@@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar