Sabtu, 15 Juli 2017

3. Hadiah Spesial


“Aisyah, aku peringkat lima belas!!”
“Iya, Nisa, aku peringkat dua!!!”
…..
“Allaahu akbar Allaahu akbar…”
Suara azan kedua sholat jumat memecah lamunan Adlan. Ia duduk di shaf kedua, tepat di bawah kipas angin. Sudah sekitar sepuluh menit dia menonton bayangan kejadian di aula Smansawi tadi pagi. Entah kenapa tiba-tiba saja bayangan itu datang, merangsek masuk ke dalam kepala Adlan tanpa permisi.
Aisyah, gadis berambut panjang sepunggung itu ternyata telah menarik perhatian Adlan. Wajah oval Aisyah benar-benar mendominasi otaknya hari itu. Begitu jelas, lebih jelas dari semua bayangan kejadian selama  seminggu. Berkali-kali ia coba mengusirnya sejak lima menit terakhir setelah  niat i’tikaf, tapi sia-sia, wajahnya muncul lagi dan lagi. Hidung mancungnya, belah dagunya, kulitnya yang putih bersih seperti gadis Jepang. Matanya cokelat indah, lesung pipit di kedua pipinya begitu memesona, dan, gigi gingsulnya menambah rasa manis bagi setiap pasang  mata yang  memandangnya saat tersenyum.
Khotib sudah memulai khotbahnya sejak lima menit lalu. Orang yang duduk di samping Adlan merasa aneh melihatnya dari tadi senyum-senyum sendiri, padahal khotib sedang membicarakan azab neraka. Hingga iqomat dikumandangkan Adlan masih duduk melamun, tersenyum-senyum. Ia baru tersadar ketika orang di sampingnya menepuk pundaknya. Menyadari orang-orang sudah berdiri semua, bersiap untuk takbirotul ihrom, dan hanya dia seorang yang masih duduk, spontan ia pun berdiri.
“Allaahu akbar..”
Suara imam memulai kepemimpinannya dalam sholat jumat hari itu. Adlan bersama jamaah lain mengikuti. Adlan tidak bisa khusyu. Seperti beberapa menit sebelumnya, bayangan Aisyah muncul lagi seolah tertempel lekat dengan Alteco  di dalam otaknya. Tak bisa dilepaskan.
Sebubarnya dari masjid Adlan tidak langsung pulang. Usai mendirikan dua rokaat ba’diyah ia merebahkan badannya di lantai masjid. Pandangan matanya terlontar ke atas. Kipas angin mulai berderap pelan. Ta’mir masjid mematikan semua kipas karena hanya tersisa beberapa jamaah saja di sana. Ada yang masih  sholat sunah, ada yang  rebahan di lantai –salah satunya Adlan-, dan beberapa malah asik ngobrol kesana-kemari. Padahal di beberapa tiang dan dinding masjid tertulis jelas dengan huruf kapital,
BERBICARA DI DALAM MASJID BISA MENGHABISKAN PAHALA KEBAIKAN SEBAGAIMANA API MELAHAP KAYU-KAYU BAKAR
(AL HADITS)[1]
Aisyah, nama yang indah seperti yang menyandangnya.
Adlan melamun sambil tersenyum.
Ah! Kenapa dengan otakku ini? Tak seperti biasanya liar tak terkendali. Apa jangan-jangan ini pengaruh dua puluh tusuk sate yang aku makan tadi? Aku overdosis? Tapi masa ada overdosis gara-gara makan sate? Atau mungkin aku mulai gila? Jangan-jangan ada salah satu saraf otakku yang konslet gara-gara kemarin aku paksa untuk berpikir keras selama dua jam non stop?
Adlan mencoba menepis bayangan Aisyah begitu keras. Tapi semakin keras tepisannya malah semakin jelas bayangannya.
Ada apa dengan Adlan? Apakah benar dia overdosis sate? Atau hipotesis tentang sarafnya yang konslet itulah yang benar? Bukan, bukan karena itu semua ataupun karena alasan-alasan yang lain. Orang normal pasti paham apa yang sedang menimpa Adlan, hal terindah yang juga terkadang sangat menyakitkan, perasaan over bahagia yang membuat udara di sekitar seolah berubah warna. Ya, Adlan sedang terjangkit virus yang cukup membahayakan, terutama bagi jiwa dan perasaannya. Itulah virus merah jambu. Dia jatuh cinta.
Adlan memutuskan untuk  beranjak pulang, berharap bayangan Aisyah akan segera hilang dengan tidur siang. Jarak antara masjid dan rumahnya hanya  300 meter kurang lebihnya, ia pulang jalan kaki. Selain untuk menghemat bensin motornya, juga karena setiap langkah kaki yang ia hentakkan, baik saat berangkat maupun pulang dari masjid, kelak akan menjadi poin-poin pahala yang sangat besar di akhirat. Di samping itu, menurut apa yang ia dengar dari Kyai Hadi, guru ngajinya, setiap tempat yang ia lewati saat berangkat dan pulang dari masjid akan menjadi saksi atas amal kebaikan yang dia kerjakan[2]. Karena itulah Adlan memilih jalan yang berbeda dengan yang ditempuhnya saat berangkat, agar saksi atas semua amal baiknya hari itu semakin banyak.
Betapa bangganya kelak saat batu-batuan, tanah, jalanan, pepohonan, tembok-tembok perumahan, semut-semut, dan semua yang dilewatinya itu menjadi saksi atas amal baiknya di masa yang setiap orang tak mampu lagi bersaksi atas dirinya sendiri,  semua mulut terkunci rapat, mengharapkan kesaksian-kesaksian dari yang lain untuk memberatkan timbangan amal kebaikannya.
Beruntung hari itu langit sedang mendung. Alam memanjakannya. Awan-awan hitam itu melindunginya dari  sengat matahari siang yang tak bersahabat. Adlan tak perlu lagi menutupi kepala dan pundaknya dengan sajadah hijau yang ia bawa seperti yang dilakukannya dua jumat lalu.
Sesampainya di rumah, Adlan langsung menuju ke kamar, tempat di mana kasur dan bantal gulingnya telah setia menunggu. Ia melepas baju takwa dan peci putihnya lalu ia gantung di kastok belakang pintu kamarnya, sedangkan sajadahnya ia taruh di atas meja  belajar. Dengan kaos dalam dan sarung yang masih melekat di badan Adlan melemparkan diri ke kasur, berbaring nyaman. Ia menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Dua setengah menit matanya mulai terpejam. Ia menyetop lintasan-lintasan liar di kepalanya. Setelah kurang lebih setengah jam ia bertempur melawan bayangan Aisyah yang lagi-lagi menggempur isi  kepalanya tanpa henti, akhirnya bayangan itu pun kalah, melarikan diri, pergi bersama perginya kesadaran Adlan. Ia tertidur lelap.
@@@@
“Adlan! Sudah jam setengah lima. Sholat asar dulu!” Teriak Umi dari dapur, sedang memasak tumis kangkung untuk makan malam.
Adlan bangun dari tidurnya, mengucek matanya yang masih terpicing satu. Ia melihat jam dinding yang tertempel di tembok kamarnya. Jam empat lewat dua puluh lima. Ia beranjak ke kamar mandi. Jalannya sempoyongan ngantuk saat melewati ruang tengah. Begitu sampai di ruang belakang, ternyata Abah sudah pulang, sedang makan dengan sate ayam sebagai pendamping nasi. Fadli juga sedang makan, duduk di kursi sebelah kiri Abah. Dia terlihat begitu lahap melibas makanannya.
“Abah, sudah pulang?” Adlan mencium tangan Abah.
“Iya, Adlan. Tadi sampai rumah jam empat. Oh iya, Abah belikan sesuatu buat kamu.” Kata Abah. Menyendok nasi, siap diluncurkan ke mulut.
“ Fadli juga dibelikan kan, Bah?” Celetuk Fadli merasa iri. Mulutnya penuh. Matanya membesar, memelas. Wajah lucunya benar-benar menggemaskan.
“Iya, Fadli juga Abah belikan sesuatu.” Jawab Abah menenangkan.
“Dibelikan apa, bah?” Tanya Adlan makin penasaran.
“Kamu sholat asar saja dulu sama Fadli, dia juga belum sholat, baru pulang main. Kalau kalian sudah selesai baru Abah kasih tahu.”
Jawaban Abah membuat level penasaran Adlan dan Fadli semakin tinggi. Adlan lalu pergi ke kamar mandi untuk berwudu. Fadli membuntutinya.
“Fadli, habiskan dulu makanannya!” Seru Abah kepada anak bungsunya yang tiba-tiba loncat dari kursi makan, meninggalkan tiga tusuk sate dan nasi yang tinggal beberapa suap lagi.
“Fadli sudah kenyang, Bah.” Jawabnya singkat, alih-alih ingin cepat-cepat melihat apa yang dibelikan Abah untuknya.
Di kamar mandi, bukannya cepat-cepat berwudu, Fadli malah memulai perang air dengan kakaknya. Adlan yang sedang membasuh muka tiba-tiba disemprot dengan shower,
“Serangan monster gurita..!!” Teriak Fadli.
Adlan menghentikan ritual wudunya. Mengambil canting di sampingnya,
“Semburan naga aiirr..!!” Dengan sigap menyirami adiknya itu dengan air yang ada di kolam.
Sepuluh menit kemudian Adlan dan Fadli keluar dari kamar mandi. Tidak hanya anggota wudu mereka yang basah, namun sekujur tubuh mereka pun kuyup. Air  menetes deras dari ujung-ujung baju yang mereka kenakan. Mereka tertawa riang seolah telah memenangkan sebuah pertempuran besar. Keduanya berlarian ke ruang sholat yang terletak di ruang tengah. Lantai pun basah akibat ulah dua kakak beradik itu.
“Adlan! Fadli! Kalian main air lagi yah?” Teriak Umi yang masih sibuk di dapur.
“Dasar anak-anak. Berkali-kali dilarang malah tambah semangat main airnya. Huh!” Umi menggerutu kesal.
Setelah mengganti pakaian yang basah, Adlan dan Fadli menunaikan sholat asar berjamaah. Seusai  sholat mereka menyempatkan membaca beberapa wirid dan doa.
“Fadli, jangan lupa doa birrul walidainnya!” Adlan mengingatkan.
“Iya, kak.” Fadli mengangkat kedua tangannya, menengadah.
“Bismillaahirrohmaanirrohiim, Robbighfirli wa liwaalidayya warham humaa kamaa robbayaani shoghiro, amin.”[3] Lalu mengusapkan kedua telapak tangannya ke muka.
Usai menata pakaian sholat mereka menuju ke tempat makan. Abah sudah tidak di situ, kata Umi sedang ke tokonya Ustadz Kholis, membeli makanan ikan. Akhirnya mereka memutuskan untuk menonton TV dulu sambil menunggu Abah datang. Acara televisi yang langsung mereka sepakati bersama, Naruto Shippuden.
Setelah dua puluh menit Adlan dan Fadli menonton Naruto di ruang keluarga, Abah datang. Tangan kanannya memegang kantong plastik warna ungu ukuran sedang. Ada tulisannya, Wijaya Komputer Tegal. Sementara tangan kirinya menenteng kantong plastik biru bertulis ADINDA TOYS. Dari dua nama tersebut Adlan sudah bisa menyimpulkan isi  dari kedua kantong plastik itu.
“Ini untuk Adlan,” memberikan kantong plastik yang di tangan kanan. Adlan menerimanya.
“Dan ini untuk Fadli.” Memberikan yang di tangan kiri.
Fadli langsung menyambar. Abah lalu duduk di sofa, di tengah-tengah antara Adlan dan Fadli. Dengan buasnya Fadli langsung membuka isi kantong plastik itu,
“Mobil remot kontrol!” Teriaknya kegirangan.
Seketika itu Fadli memeluk Abah, bilang terimakasih, Abah, lalu membuka kotak wadahnya.
“Terimakasih yah, bah.” Kata Adlan, tersenyum senang. Tersirat di wajahnya rasa terimakasih yang sangat dalam.
“Iya, sama-sama. Tidak mau dicoba sekarang laptopnya?”
“Tanggung maghrib, Bah. Nanti Adlan malah keterusan.” Jawabnya.
“Maafkan Abah yah, padahal Abah sudah menjanjikannya sejak kamu masuk SMP, tapi Abah baru bisa membelikanmu sekarang.”
Adlan memeluk Abah, bilang kepadanya,
“Tak apa, Bah. Ini lebih dari cukup.” Air matanya lalu mengalir.
Adlan sudah cukup dewasa –meski kekanakanakannya lebih kental, apalagi saat bersama Fadli- untuk memahami keadaan ekonomi keluarga. Dia tahu, meski Abah bekerja sebagai PNS dengan gaji hampir lima juta rupiah perbulan, namun kebutuhan keluarganya juga lumayan besar. Biaya listrik, biaya air, biaya bensin untuk dua motor –terlebih jarak antara rumah dengan kantor tempat Abah ditugaskan terpaut jauh, 60 Km-, biaya sekolahnya dan Fadli, biaya pangan, dan lain lain. Dan yang paling besar adalah untuk melunasi hutang.
Ya, Abah pernah berhutang kepada bank dengan nominal yang cukup besar. Abah melakukannya ketika sudah tak punya uang lagi untuk biaya operasi usus buntu Umi plus perawatannya. Itu terjadi saat Adlan kelas satu SMP. Pikirnya, pasti untuk membeli laptop, Abah harus rela mengurangi jatah gajinya lagi untuk mengangsur.
Begitu besar pengorbanan dan kasih sayang Abah dan Umi yang terus menerus tercurah ikhlas untuknya. Dia berpikir, kelak dia harus membalas semuanya itu. Namun sejenak dia tersadar, sebesar apapun pengorbanan dan balas budi yang ia lakukan untuk Abah dan Umi, itu semua tak akan pernah bisa membalas apa yang telah Abah dan Umi berikan padanya, walau hanya seujung kuku.[4]
@@@@





















[1]Nashoihuddiniyyah,  imam AbduLlah al Haddad, halaman 217, juga di Fawaidul Mukhtaroh, al Habib Ali Hasan Baharun, halaman 147.
[2]Dalam kitab Musytamil ‘ala Arba’ Rosail halaman 5 diterangkan bahwa setiap tempat baik itu tanah, lantai, atau segala sesuatu yang dijadikan tempat sujud (secara globalnya digunakan untuk beribadah) akan menjadi saksi baginya di hari kiamat. Sedangkan segala sesuatu yang menyampaikan seseorang pada perbuatan yang bernilai ibadah adalah ibadah. Termasuk berjalan ke tempat ibadah, itu juga ibadah, dan semua benda yang dilewatinya dalam perjalanan itu akan bersaksi untuknya di hari kiamat.
[3]BismiLlahirrahmanirrahim, wahai Tuhanku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku, dan sayangilah mereka berdua sebagaimana mereka telah menyayangiku saat aku masih kecil.
[4]Maktabah Syamilah, Kitab Sunan Ibnu Majjah, juz 3, halaman 392. Al kisah ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw mengadukan ayahnya yang telah mencuri uang miliknya. Si ayah pun dipanggil. Ketika ditanya, sang Ayah pun mengakuinya. Dia terpaksa mengambil uang anaknya itu untuk menafkahi keluarganya. Lalu malaikat Jibril dating kepada Rasulullah, menyuruh beliau untuk mengatakan kepada Sang Ayah agar dia mengungkapkan semua yang ia pendam di dalam hatinya selama ini. Maka Si Ayah pun berkata kepada anaknya, “dulu ketika kamu masih bayi, saat kamu menangis, aku rela meninggalkan kesibukanku untuk menenangkanmu. Ketika kamu demam, aku rela begadang untuk menjagamu, mencari pinjaman ke sana dan ke mari untuk mengobatimu. Saat kamu kedinginan, aku relakan selimutku untuk melindungi tubuhmu, aku melakukan semuanya demi kebahagiaanmu. Dan kini setelah Kamu besar, kamu berbuat seperti ini kepadaku. Apabila Kamu memang tidak bisa berlaku baik kepadaku sebagai orang tuamu, maka paling tidak berbuat baiklah kepadaku karena aku  ini tetanggamu.” Mendengar penuturan itu RasuluLlah pun menangis. Beliau lalu berkata kepada si Anak, anta wa maaluka li abiyka, dirimu dan juga hartamu adalah milik ayahmu. Hadis ini menjelaskan bahwa seberapa besar pun harta dan pengorban yang dilakukan oleh seorang anak untuk orang tuanya, itu masih belum sebanding dengan apa yang telah diberikan orang tuanya kepadanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar