Kamis, 20 Juli 2017

8. Semoga Allah Menakdirkan yang Terbaik


Lonceng tanda masuk berbunyi. Satu persatu siswa masuk ruang kelasnya dengan tertib. Satu dua anak masih asik ngobrol di kursi-kursi panjang  di depan kelas, beberapa yang lain baru berjalan masuk melewati gerbang sekolah dengan tas gendong di punggung.
“Aisyah, bagaimana lukamu?” Tanya Anisa yang duduk semeja dengannya
“Alhamdulillah sudah mulai kering. Bahkan kata dokter kulitku, bekas lukanya pun nanti bisa dengan mudah dihilangkan.”
“Alhamdulillah kalau begitu.”
“Emm, ngomong-ngomong Adlan bagaimana keadaannya yah?” Sambung Anisa.
“Tadi pagi aku menelponnya, katanya hari ini belum bisa berangkat, masih belum bisa mengendarai motor katanya. Setiap kali ia paksakan menyetir, luka di lengannya lagi-lagi terbuka, darahnya keluar.”
“Kasihan dia. Memang seberapa parah lukanya?”
“Entahlah. Tapi katanya sih lima jahitan.”
“lima jahitan?”
Aisyah mengangguk.
“O iya, ngomong-ngomong kamu dapat nomer Adlan dari mana, Syah?”
“Hehe, mau tau aja.”
“Hmm, gitu yah? Mulai rahasia-rahasiaan segala, kalau begitu nanti siang aku batal menemani kamu cari kerudung.”
“Yah! Jangan begitu dong, Nis, kamu kan tahu aku tak punya pengalaman apa-apa tentang kerudung.”
“Kalau begitu jawab dulu pertanyaanku.” Anisa tersenyum menang.

Aisyah menghela nafas, huft.
“Saat berkemas pulang dari Suniarsih, aku bertemu Adlan di barak kesehatan, dia sedang mengganti perban di lengannya. Aku ngobrol sebentar dengannya, terus, aku minta deh nomernya.”
“Ooh, begitu.” Anisa mengangguk.
“Eh! Itu Pak Prodo datang.”
Anak-anak langsung duduk rapi di meja masing-masing. Jam pelajaran pertama, jam kesenian. Saat itu Pak Prodo tidak langsung memberikan materi seni musik, mapel yang diampunya. Beliau lebih banyak bercerita, berbicara banyak hal, terutama pengalamannya saat masih muda. Anak-anak serius memperhatikan.
Satu jam berlalu bel ganti pelajaran pun berbunyi. Pak Prodo menutup jam pelajarannya. Anak-anak keluar berduyun-duyun ke ruangan berikutnya, R 2.06. Guru jam kedua telah duduk menunggu. Jenggotnya lebat, pandangan matanya tajam. Di keningnya ada tanda hitam, seperti bekas yang disebabkan karena sering sujud, atau lebih tepatnya karena sering sujud di atas benda keras. Guru muda itu memperkenalkan diri. Namanya Pak Agung Sujayanto, pengampu materi matematika.
Materi awal, Aljabar, diuraikan dengan sangat gamblang. Caranya menyampaikan kalimat begitu menyihir anak-anak X.9. Semuanya memperhatikan penjelasan yang mudah ditalar itu. Sesekali Pak Agung menyelingi penjelasan matematikanya dengan pengetahuan agama. Ulasannya begitu masuk akal. Sebagian anak bahkan mengangguk-anggukkan kepala, setuju dengan statemen-statemen logisnya. Anak-anak lebih terkagum dengan ulasan-ulasan agama Pak Agung dari pada materi utamanya, Aljabar.
Bel istirahat berbunyi.
“Sampai disini pertemuan kali ini, insyaAllah besok kita mulai masuk ke pembahasan Aritmetika. Bapak harap kalian membaca materinya terlebih dahulu di halaman tujuh puluh delapan sampai sembilan puluh tiga. Sebelum Bapak tutup, apa ada yang mau bertanya?”
Nana, siswa kurus berkacamata minus yang duduk di bangku paling belakang mengangkat tangannya dengan ketus.
“Ya, silahkan.” Kata Pak Agung.
“Saya mau bertanya Pak, boleh apa tidak?”
“Boleh, kan sudah Bapak persilahkan barusan.”
“Oh, iya Pak, terimakasih banyak.”
Pak Agung mempersilahkan kembali. Nana lalu senyum-senyum sendiri, tak segera melontarkan pertanyaannya. Pak Agung masih menunggu. Nana masih saja senyum-senyum.
“Ayo cepat, katanya mau tanya?” Pak Agung agak jengkel.
“Sudah pak.” Jawab Nana enteng.
“Sudah apa?”
“Ya sudah bertanya dong, Pak.”
“Bertanya apanya! Orang dari tadi kamu senyum-senyum sendiri kok.” Pak Agung makin gemas.
“Loh, itu tadi kan pertanyaan saya, Pak.”
“Pertanyaan apa?”
“Boleh apa tidak? Itulah pertanyaan saya, Pak.” Senyuman menjengkelkan Nana mengembang.
Anak-anak yang paham tertawa seketika. Kelas menjadi ramai dengan gelak tawa. Pak Agung yang melihat keriangan anak-anak pun akhirnya ikut tertawa, ikut merasa lucu meskipun hatinya jengkel. Sebagai orang dengan pemikiran yang lebih dewasa, Pak Agung jelas paham dengan model-model keisengan anak didik yang seperti itu. Beliau lalu menutup pertemuan dengan ucapan salam. Para siswa berbondong-bondong keluar kelas, tapi ada juga yang masih berkutat di dalam kelas, sibuk mencatat.
Suasana Smansawi waktu istirahat seperti ini sangat ramai. Anak-anak sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang berjalan santai di tepi lapangan, ada yang hanya duduk-duduk di kelas, ngobrol, ada juga yang asik dengan laptopnya, berselancar di dunia maya dengan free hotspot di aula sekolah. Dan yang nampak paling mendominasi keramaian tentunya kantin sekolah. Anak-anak berjejalan memesan makanan dan minuman di sana. Meja-meja panjang kantin tak menyisakan tempat untuk para pengunjung baru. Mereka yang tak mendapat tempat duduk membawa jajan dan minumannya ke tempat lain. Ada yang ke teras masjid, memakannya sambil membaca buku yang dipinjam dari perpustakaan masjid. Ada juga yang beramai-ramai ke taman penyekat lapangan, mereka melahap makanannya di bawah pohon ukuran tanggung. Di sana suasananya teduh.
“Ayo ke masjid, Nis.” Ajak Aisyah yang baru selesai mencatat contoh-contoh soal aljabar di white board. Masih tersisa sepuluh anak di ruangan tersebut, dua di antaranya Aisyah dan Anisa.
“Kamu duluan saja, Syah, aku belum selesai.” Anisa masih sibuk menulis.
Aisyah beranjak ke masjid membawa tas gendong birunya, meninggalkan Anisa bersama delapan anak lainnya yang masih sibuk mencatat. Lima menit kemudian Anisa selesai. Ia memasukkan buku dan pulpennya ke dalam tas. Saat hendak beranjak ke masjid, sekilas ia melihat sesuatu di laci meja. HP Aisyah tertinggal. Ia pun mengambilnya. Tak sengaja jarinya menekan tombol call. Layar HP menyala, menampilkan log panggilan keluar. Nama Adlan berada di urutan teratas. Anisa menyalin nomornya di secarik kertas. Setelah itu ia segera menyusul Aisyah ke masjid.
Sesampainya di masjid, Anisa melihat beberapa siswi di sana. Ada yang sedang asik tenggelam dalam sholat duha, ada yang tersibukkan dengan melafakan kalam-kalam Ilahi yang termaktub dalam mushaf-mushaf nan suci, dan ada pula yang sedang membaca buku-buku agama yang bebas dipinjam dari perpus masjid. Dua siswi melipat mukena mereka untuk dimasukkan ke tempatnya. Dari balik satir, sesekali terdengar gelak tawa anak laki-laki. Sepertinya mereka sedang asik ngobrol. Padahal setahunya, di beberapa tembok masjid bagian putra telah dipasang peringatan, Dilarang Berbicara Masalah Duniawi di Dalam Masjid, sebagaimana yang tertempel di bagian putri. Tapi Anisa husnuzon, mungkin mereka sedang bercerita tentang Abu Nawas atau Nashirudin, dua tokoh sufi yang hikmah-hikmahnya selalu penuh dengan parodi.
Anisa mengambil mukena di lemari pojok ruangan. Di lemari tersebut ada puluhan mukena yang disediakan oleh sekolah untuk para siswi yang ingin menunaikan sholat. Namun demikian, banyak juga yang membawa mukenanya sendiri dari rumah. Biasanya Anisa juga membawa sendiri mukenanya, namun hari itu ia lupa karena tergesa-gesa saat berangkat. Sejurus setelah mengenakan mukena, Anisa segera tenggelam mengarungi lautan kekhusyuan dalam bahtera sholat duha.
Aisyah baru selesai sholat duha. Ia melihat Anisa yang baru mengangkat dua tangannya, takbirotul ihrom. Sembari menunggu temannya itu, Aisyah mengambil salah satu buku koleksi perpustakaan masjid. Fiqih Muslimah, buku karangan Ustadz Segaf Baharun M.H.I itu menjadi sasaran jamahan tangannya. Ia duduk bersender di tembok dekat pintu masuk. Halaman demi halaman mulai ia sapu dengan kedua matanya. Aisyah pun semakin dalam menjelajahi permasalahan-permasalahan fiqih seputar kewanitaan yang diulas secara menarik oleh penulis di dalam buku tersebut.
“Asik sekali bacanya, Aisyah?”
“Eh, kamu sudah selesai, Nis.” Aisyah menutup begitu saja buku yang ia pegang.
Anisa duduk bersandar di samping Aisyah.
“Nih, HP kamu tertinggal di laci meja.” Menyodorkan HP ke Aisyah.
“Ya Allah, terimakasih banyak Anisa, tadi aku lupa memasukkannya ke tas. Kalau saja tidak kamu ambil mungkin sudah diambil anak kelas lain.” Menerima HP tersebut, ekspresi sangat berterimakasih.
“Iya, sama-sama. Makanya jangan teledor kalau naruh HP, sudah tahu di sini sistemnya moving class, pindah ruangan setiap ganti pelajaran, sekali barang tertinggal di kelas, ya sudah, kemungkinan besar diambil anak kelas berikutnya.”
“Iya, iya, aku salah, aku tak akan mengulanginya lagi.”
Keduanya lalu mulai asik dengan perbincangan ringan, membahas permasalahan-permasalahan seputar dunia perempuan, utamanya fashion, lebih spesifik lagi kerudung dan macam-macam style-nya.
“Ngomong-ngomong, kenapa kamu tiba-tiba mau pakai kerudung, Syah?”
“Emm, kalau itu sih rahasia, hehe.”
“Ya sudah, nanti siang aku batal menemanimu cari kerudung.” Anisa tersenyum, menang.
“Pasti begitu.” Aisyah cemberut, sebal.
“Ya sudah, tinggal ceritakan saja apa repotnya? Toh aku juga temanmu kan?”
Aisyah pun mengalah, Huh, helaan nafas sebalnya terdengar.
“Jadi begini, semalam aku sms-an sama Adlan. Dia bilang aku berbeda dengan anak-anak orang kaya yang lain. Sementara kebanyakan mereka tak memperhatikan kewajiban agama, bahkan ada yang dengan sengaja meninggalkan sholat tanpa alasan yang dibenarkan syariat, tapi aku tidak. Awalnya aku juga tak tahu kenapa Adlan berkesimpulan seperti itu. Setelah ku tanyakan sebabnya, ternyata saat MOS dia sering melihatku pergi ke masjid saat istirahat, juga saat zuhur sebelum pulang. Selain itu dia juga bilang kalau,..” Aisyah berhenti, malu untuk melanjutkan kalimatnya.
“Kalau apa?”
“Emm, dia bilang kalau aku cantik.” Mukanya memerah seketika. Wajahnya merunduk, malu. Senyum kecil tersungging dari bibirnya.
“Terus dia bilang apa lagi?” Anisa nampak antusias ingin mendengar kelanjutan cerita Aisyah.
“Terus, dia bilang, andai aku mau memakai kerudung, disamping ketaatanku, pasti kecantikanku pun akan semakin sempurna.” Muka Aisyah semakin memerah.
“Iiiihiiy, Jangan-jangan kalian pacaran yah?”
“Pacaran? Ngawur kamu, Nis. Orang sealim dia mana mau pacaran?”
“Tapi kamu suka sama dia kan? Hayo ngaku.” Anisa tersenyum, mencoba memojokkan Aisyah.
Aisyah terdiam. Merah mukanya semakin menjadi-jadi. Ia hanya tersenyum malu menanggapi pertanyaan itu.
“Waah, ada yang sedang jatuh cinta nih, ciee-ciee,..” Anisa mencolek-colek Aisyah, menggodanya.
“Ssst! Jangan keras-keras, Nis, aku malu.” Ia mencubit paha Anisa.
“AWW! Sakit, Aisyah!”
“Makanya jangan menggodaku terus.” Muka Aisyah ditekuk.
“Iya-iya aku berhenti. Hehe, nampaknya ini bisa jadi berita terhangat di kalangan anak-anak kelas nih.”
“Jangan begitu lah, Nis. Please, jangan ceritakan hal ini sama siapa-siapa yah? Please.” Muka Aisyah memelas.
“Emm, tergantung.” Mengelus-elus dagu dengan ujung-ujung jemarinya.
“Tergantung apa?”
“Mungkin kamu bisa menutup mulutku dengan bakso urat yang di depan Smansa. Bagaimana?” Tersenyum menang.
“Iih, kamu ini!” Aisyah gregetan.
“Hehe, pilihan ada di tanganmu, kawan.” Menepuk pundak Aisyah, manggut-manggut.
“Huh! Baiklah, demi tertutupnya rahasia suci ini, selain untuk kerudung, aku juga harus merelakan uang sakuku lenyap untuk mentraktirmu.” Ekspresi Aisyah benar-benar alay. Matanya menyipit, gurat wajahnya serius, tangan mengepal, Ganbatte! Berakting bak pemain drama. Mereka berdua lalu tertawa, merasa lucu dengan apa yang Aisyah lakukan.
“Ssstt, masjid!” Tegur salah satu siswi di tempat itu.
“Iya-iya, maaf.” Aisyah dan Anisa merunduk-runduk, malu.
“Astaghfirullahal ‘azim, yang kita bicarakan dari tadi masalah duniawi bukan yah?” Ekspresi Anisa bingung.
“Menurutku, sebagian duniawi sebagian bukan.”
“Yang bukan duniawi yang mana?”
“Yang tentang kerudung, itu tentang syariat bukan?”
“Iya sih, tapi selebihnya kan duniawi. Mudah-mudahan tidak terlalu banyak kebaikan kita yang hilang yah?”
“Amin, semoga saja demikian. Dari pada kita tak sadar berbicara masalah duniawi lagi, lebih baik kita ke kelas yuk?” Ajak Aisyah.
“Yuk,”
Mereka pun beranjak ke ruang pelajaran ketiga. Keduanya berjalan bergandengan tangan, begitu akrab. Langkah dua pasang kaki Anisa dan Aisyah kompak menapak, melewati lantai demi lantai menuju ruang E 2.01, ruang bahasa Inggrisnya Bu Meiza Yulia.
@@@@
Alphard putih berjalan semakin pelan, masuk ke gerbang perumahan elit. Di depan salah satu rumah berlantai dua Alphard itu menurunkan seorang gadis berseragam putih abu-abu. Ia memakai kerudung putih berenda cokelat.
“Terimakasih atas tumpangannya yah, Syah. Nanti kalau kamu kesulitan memakainya telpon saja aku.”
“Iya, Nis. Terimakasih juga sudah mau menemani beli kerudung.” Senyum Aisyah terlontar sebelum akhirnya  pintu mobil ditutup.
Alphard lalu berjalan pelan ke timur, melewati tiga rumah elit untuk kemudian berhenti di depan rumah Aisyah. Klakson dibunyikan. Satpam keluar dari pos jaganya dan membukakan gerbang. Mobil masuk ke pelataran rumah. Aisyah keluar dari pintu belakang mobil. Selain menggendong tas biru, ia juga menenteng tas plastik berisi belanjaannya, beberapa kerudung dengan berbagai model.
“Assalamualaikum, Aisyah pulang.”
“Wa’alaikum salam.” Jawab seorang wanita paruh baya berbusana dan berdandanan lux. Ia duduk di sofa panjang ruang depan, menikmati secangkir teh.
“Mama? Sejak kapan di rumah?”
“Pertanyaan kamu kok begitu sih sayang, ini kan juga rumah Mama.”
“Eh, maksud Aisyah, tumben jam segini Mama di rumah, biasanya kan lagi di butik.”
“Hari ini Mama ingin di rumah saja, ingin ngobrol sama anak Mama yang cantik ini. Sini duduk samping Mama, sayang.”
Aisyah mencium tangan Mamanya lalu duduk tepat di samping kanannya.
“Habis belanja apa kamu?” Melihat tas plastik yang dibawa Aisyah.
“Kerudung, Mah.”
“Kerudung? Memangnya kamu mau berkerudung?”
“Iya, Mah. Tak apa-apa kan?”
“Kamu sudah yakin? Banyak loh wanita bekerudung tapi moralnya tidak baik, cuma menjadikan kerudung sebagai kedok. Mama tidak ingin nantinya kamu terkena persepsi seperti itu, Sayang.”
“Seharusnya Mama jangan beranggapan seperti itu, tidak baik. Aisyah yakin, dengan memakai kerudung Aisyah bisa lebih menjaga moral. Dan lebih dari itu, memakai kerudung bukan hanya masalah moral, Mah, tapi juga masalah ketaatan kita terhadap syariat.”
“Kalau Mama lebih suka kamu tampakkan saja rambut indahmu, seperti kakakmu, Nadia. Semalam dia mengabari Mama kalau dia akan mengikuti kontes kecantikan mewakili kampusnya di Sydney.”
“Apa? Kontes kecantikan? Mama tahu budaya luar kan? Pasti busana yang akan Kak Nadia pakai itu busana yang terbuka, Mah!”
“Justru itu yang membuat Mama bangga, dia bisa menunjukkan kapabilitasnya sebagai perempuan Indonesia. Kecantikan alaminya bisa bersaing dengan kecantikan perempuan-perempuan Australia.” Nada suaranya makin tinggi.
“Tapi itu melanggar syariat, Mah!”
“Diam kamu! Tak usah menasehati Mama soal agama! Pasti Bi Hafsah yang mengajari kamu seperti ini, kan? Kalau bukan karena Papamu, sudah Mama pecat dia sejak lima tahun lalu. Gara-gara dia kamu jadi sering menentang keinginan Mama!”
“Jangan salahkan Bi Hafsah, Mah! Salahkan diri Mama sendiri! Bi Hafsah selalu ada saat Aisyah butuh, sedangkan Mama? Mama di mana saat Aisyah butuh? Saat Aisyah kesepian? Mama lebih memilih butik dan teman-teman Mama dari pada Aisyah, anak Mama sendiri. Sejak Aisyah SD, Bi Hafsah lah yang lebih Aisyah rasakan kasih sayangnya dari pada Mama. Mama terlalu sibuk dangan dunia Mama, butik, mall, teman-teman arisan,..”
PLAKK…!!! Sebuah tamparan keras melayang, menyapa pipi kiri Aisyah.
“Jangan kurang ajar kamu, Aisyah!”
Aisyah meninggalkan mamanya begitu saja, naik ke lantai dua dengan membawa serta belanjaannya. Air matanya meleleh. Luka di pelipisnya terbuka lagi.
“Aisyah, Mama belum selesai!”
Aisyah tak menghiraukan teriakan Mamanya. Ia membanting pintu kamar dan menguncinya rapat-rapat. Ia melemparkan badannya ke atas ranjang, menangis sesunggukan memeluk bantal. Darah yang keluar dari luka di pelipisnya menetes, menambah corak sprei dengan warna merah.
@@@@
Suara pintu kamar terbuka. Umi membawakan makan siang Adlan ke kamar. Adlan sedang sibuk dengan Ms Word di laptopnya sampai-sampai tak sadar dengan kedatangan Umi.
“Nampaknya serius sekali, ngetik apa sih?”
“Eh, Umi, ngetik artikel, Mi, mau Adlan post di FB dan Blog.”
“Artikel? Tentang apa?” Menaruh makanan di samping Adlan.
“Tentang moral pemuda bangsa yang semakin hari semakin merosot.”
Umi duduk di ranjang, menghadap Adlan yang masih menatap fokus ke laptopnya.
                “Em, menurut kamu sendiri apa yang menyebabkan kemerosotan itu?” Tanya Umi.
Adlan berhenti mengetik. Mengubah posisi duduk, menghadap ke arah Umi. Umi menatap serius, tatapannya lembut.
“Menurut Adlan, ada banyak faktor yang menyebabkan degradasi moral ini.” Adlan memperbaiki posisi duduk.
“Globalisasi yang tak tersaring sempurna, media masa yang banyak menayangkan program-program tak mendidik, hal-hal negatif yang bisa diakses di internet secara bebas dan mudah, narkoba yang semakin menjamur akibat kong-kalikong para oknum yang seharusnya menegakkan hukum,..”Adlan menghela nafas.
“Untuk yang terakhir ini Adlan sempat kaget ketika membaca salah satu berita utama di surat kabar langganan Abah. Seorang bandar narkoba masih bisa mengontrol jual beli barang terlarang tersebut meski dia telah meringkuk di dalam buih. Tidak mungkin hal ini bisa dilakukan kalau tidak ada campur tangan oknum penegak hukum.” Ia menggeleng-gelengkan kepala.
“Hal-hal seperti itu sebenarnya sudah cukup miris untuk mengukur seberapa parahnya keadaan bangsa kita sekarang ini. Namun demikian, tidak bisa dipungkiri kalau masih banyak hal-hal negatif lain yang juga memiliki andil besar dalam perusakan moral bangsa. Yang lebih parahnya lagi, para pemuda yang jelas-jelas menjadi sasaran utama perusakan moral tersebut seakan tutup mata, bahkan mereka dengan bangga menyambut budaya-budaya negatif bangsa barat dengan tangan terbuka. Salah satunya kebebasan. Mereka menggembar-gemborkan kebebasan atas nama HAM. Mereka menuntut hak asasi mereka dipenuhi dan dihormati tanpa menilik kewajiban asasi mereka telah ditunaikan atau belum. Bukankah ini keliru? Maka yang terjadi adalah hilangnya rasa hormat anak kepada orang tua, murid kepada guru, juga yang muda kepada yang tua. Dengan demikian, para orang tua dan guru seolah telah kehilangan separuh alat didik mereka yang mutakhir.”
Umi menatap penasaran, pandangannya penuh antusias.
“Saat seorang anak terlalu nakal dan tidak bisa disetir dengan omongan atau nasihat, maka alat didik yang paling ampuh saat itu adalah rotan, penggaris, dan benda-benda keras lain yang bisa digunakan untuk memukul. Tapi ketika alat-alat itu digunakan, anak-anak akan meneriakkan HAM, juga para murid, mereka akan berlari dan berlindung di balik benteng HAM. Jika sudah demikian, mereka akan semakin tenggelam dengan kenakalan dan kebebasan liar mereka di bawah perlindungan dan jaminan HAM.”
Umi manggut-manggut.
“Kamu punya bukti tentang analisis ini?” Tanya Umi.
“Salah satu diantaranya adalah berita yang pernah muncul di kolom kriminalitas koran Central Java News. Seorang guru ngaji di daerah kudus dipenjara satu tahun setengah gara-gara terbukti memukul anak didiknya dengan rotan. Jika kita membayangkan efek dari penegakan HAM yang keliru ini, tentu tak akan ada lagi guru ngaji yang berani mengayunkan rotan, guru-guru di sekolahan tak berani menyabetkan penggaris, dan para orang tua hanya bisa menahan tangan saat anak-anak mereka terlalu liar. Dari sini Adlan semakin paham apa yang dimaksud dalam hadis Nabi, “rahimaLlahu imroan ‘allaqo fi baitihi sauthon yu addibu bihi ahlahu,[1] semoga Allah memberikan rahmatNya kepada orang yang menggantungkan pecut di dalam rumahnya untuk mendidik keluarganya,” maka salah jika ada orang yang mengatakan islam itu agama yang keras dengan membolehkan seorang suami memukul istrinya, orang tua memukul anaknya, dan guru memukul muridnya. Padahal sebaliknya, islam itu agama yang lembut, agama yang tidak membolehkan seorang anak  durhaka kepada orang tua, murid kurang ajar kepada guru, dan istri membangkang kepada suami.”
“Analisis kamu bagus, Adlan. Benar jika bangsa kita sekarang dikatakan sangat memprihatinkan, kerusakan-kerusakan yang kamu paparkan tadi juga memang sudah menjamur. Namun jika hanya sebatas analisis tanpa memberi penyelesaian masalahnya, percuma. Kamu harus memikirkan juga jalan keluarnya.” Umi menanggapi.
“Adlan belum berpikir sampai sejauh itu, Mi.” Ungkap Adlan jujur.
“Begini, Adlan. Kamu tentu tahu keadaan Indonesia zaman dulu. Di masa-masa akhir Belanda bercokol di bumi pertiwi, sangat banyak bermunculan tokoh-tokoh pemuda. Di sana-sini orang rela menyumbang darah dan nyawa demi terlepasnya tanah air dari cengkraman kuku-kuku tajam kaum imperialis. Rasa nasionalis begitu kental, persatuan begitu kuat, rasa senasib sepenanggungan pun menjadi ruh yang sangat melekat rekat di dalam jiwa setiap orang. Tujuan mereka hanya satu, cita-cita mereka hanya satu, MERDEKA.” Umi menyipitkan matanya, serius.
“Demi meraih tujuan itu mereka bersatu padu mengumpulkan kekuatan untuk melawan penjajah, baik dalam sektor diplomasi maupun serangan lapangan. Kamu pikir mereka bisa bersatu padu dengan sendirinya? Apakah api jihad yang berkobar dahsyat di dalam dada mereka tersulut begitu saja tanpa ada yang menyalakan?”
Adlan terdiam, alisnya mengernyit, berpikir.
“Ada dalang penggerak di balik itu semua.” Tukasnya.
“Benar sekali. Dan dalang-dalang penggerak rakyat saat itu adalah para ulama. Ada yang bergerak dalam sektor diplomasi seperti al Habib Jindan dari jakarta, Syeh Ahmad Dahlan, Kyai Hasyim Asy’ari, dan lainnya. Ada pula yang memimpin langsung peperangan di medan tempur seperti Imam Bondjol, Pangeran Diponegoro, dan yang lainnya. Mereka berdiri di barisan-barisan paling depan sebagai penyulut api jihad. Kalimat-kalimat mereka merasuk ke setiap sendi-sendi jiwa rakyat Indonesia, memperkuat tekad mereka dalam perjuangan suci merebut kemerdekaan. Sekarang coba kamu pikirkan, mana yang lebih kuat rasa nasionalismenya, bangsa Indonesia sekarang atau bangsa Indonesia di zaman perjuangan?”
“Jelas bangsa Indonesia di zaman perjuangan lah, Mi”
“Dengan demikian, manakah yang lebih mulia, moral pemuda sekarang atau moral pemuda di masa perjuangan?”
“Moral pemuda di zaman perjuangan jelas lebih mulia, kemerdekaan Indonesialah saksi kesungguhan dan keikhlasan perjuangan suci yang telah mereka berikan sebagai hadiah terindah bagi anak cucu bangsa.”
Umi tersenyum.
“Ketahuilah Adlan, itu semua karena mereka dekat dengan ulama. Mereka sangat patuh dengan apa yang dikatakan ulama, sedangkan para ulamanya sendiri tidaklah memberi anjuran kepada orang-orang kecuali yang membangun moral dan akhlak. Itulah misi mereka, misi yang sama dengan yang dibawa oleh RasuluLlah, “innamaa bu’itstu li utammima makaarimal akhlaaq,”[2] sesungguhnya aku diutus tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak. Dari sini kita bisa membandingkan, moral bangsa zaman dulu termasuk para pemudanya yang berada di bawah naungan para ulama itu jauh lebih mulia dari pada kebanyakan orang zaman sekarang yang malah lari dari naungan para ulama.”
Adlan mengangguk-anggukkan kepala.
“Adlan setuju dengan pemikiran Umi. Mungkin ini akan menjadi paragraf tambahan untuk artikel  Adlan, tapi,..” tangannya memegang dagu.
“Tapi kenapa?”
“Ulama dulu dengan yang sekarang kan berbeda.”
“Berbeda dalam segi apa?”
“Ulama dulu bersatu padu, menyatukan tenaga dan pikiran untuk tujuan yang sama, rakyat pun mengikuti dan patuh kepada mereka karena memiliki tujuan yang sama pula. Tapi sekarang? Dari kalangan ulamanya sendiri, di antara mereka sudah ada yang mulai terjun ke dunia politik. Memang tujuan mereka baik, untuk mengimbangi derasnya pemikiran-pemikiran yang tidak sesuai dengan syariat dalam kubu pemerintahan saat pembuatan kebijakan. Namun di sisi lain dampak buruknya juga tidak bisa dianggap remeh, yaitu perpecahan umat. Contoh saja, jika ulama A mencalonkan diri sebagai wakil rakyat di bawah naungan partai X, dan di lain pihak, ulama B juga mencalonkan diri sebagai wakil rakyat di bawah naungan partai Y, bukankah ini akan menimbulkan perpecahan para pengikut dan pendukung kedua ulama tersebut? Bahkan mungkin akan terjadi saling hina di antara mereka.  Jika sudah demikian, maka pengaruh dan nama baik kedua ulama tersebut akan turun di mata masyarakat, kata-kata mereka pun bukan tidak mungkin akan dianggap sebagai angin lalu saja.”
“Memang benar demikian. Keikutsertaan para ulama dalam kancah perpolitikan mau tidak mau pasti akan menimbulkan perpecahan. Dan sebenarnya, ini hanyalah salah satu dari banyak upaya halus yang dilakukan oleh pihak tertentu untuk menjauhkan masyarakat Indonesia dari para ulama, dengan menghilangkan pengaruh mereka di mata masyarakat. Upaya halus yang lain adalah dengan meracuni pemikiran bangsa melalui media-media masa. Mereka membuat acara-acara yang dikemas dengan sangat menarik agar masyarakat lebih memilih untuk menonton televisi dari pada mengikuti pengajian-pengajian agama di mushola, masjid, atau majelis ta’lim.”
Adlan terdiam, alisnya mengernyit. Ia mempertajam analisisnya.
“jika pihak yang ada di belakang upaya-upaya ini berasal dari bangsa Indonesia sendiri, jelas tidak mungkin. Sebejat-bejatnya orang Indonesia, dia tidak mungkin menginginkan kehancuran bangsanya sendiri. Hipotesis yang paling memungkinkan adalah, ini semua dimotori oleh pihak luar, mungkin bangsa-bangsa barat. Bukankah mereka sedang gencar-gencarnya melaksanakan berbagai skenario international yang tidak lain bertujuan untuk mendominasi kekuasaan dunia? Dan semua kerusakan-kerusakan tadi mungkin termasuk dari skenario-skenario barat tersebut. Ketika bangsa Indonesia dekat dengan ulama, maka mereka akan menjadi kekuatan yang sangat menakutkan bagi siapa saja yang berani mengusiknya. Sebagaimana yang terjadi pada masa perjuangan. Sangking menakutkannya bangsa Indonesia di bawah komando para ulama tersebut, senapan, meriam, dan mortir-mortir aktif sampai lari tunggang langgang menghadapi bambu runcing. Tapi dengan hilangnya pengaruh ulama dan semakin jauhnya bangsa Indonesia dengan mereka, tentu bambu runcing atau bahkan senjata-senjata modern yang mutakhir sekalipun tak akan lagi menjadi momok yang menakutkan bagi bangsa-bangsa yang ingin menyerang Indonesia.”
“Lalu bagaimana pendapatmu tentang tentara Indonesia? Bukankah mereka juga macan yang disiapkan oleh bangsa untuk menjaga keamanan dan keutuhan tanah air?”
“Menurut Adlan, tentara Indonesia memang macan, namun jika kita menilik dan membandingkan persenjataan, kemajuan teknologi, serta kemampuan individu yang dimiliki oleh militer Indonesia dengan yang dimiliki oleh militer Amerika, Inggris, Prancis, dan negara-negara adidaya yang lain, maka TNI sama seperti halnya macan yang berhadapan dengan Tiranosaurus Rex yang kelaparan. Mereka bisa dengan mudah mencabik-cabik tentara Indonesia lalu menelannya.”
Umi tersenyum melihat analisis-analisis logis yang diutarakan Adlan.
“Berarti kesimpulannya, dekat jauhnya bangsa Indonesia dengan ulama, selain sebagai barometer moral bangsa, juga menjadi tolok ukur kuat lemahnya pertahanan negara.”
“Adlan setuju, Mi.” Tersenyum. Umi pun ikut tersenyum.
“Sudah, makanannya dimakan dulu, sampai dingin tuh nasinya. Umi mau ke rumah Mbah Putri , katanya beliau lagi tidak enak badan. Kamu mau ikut?”
“Adlan di rumah saja, Mi, mau istirahat biar lukanya cepat pulih. Adlan sudah tidak sabar ingin berangkat sekolah besok.”
“Ya sudah, jaga diri baik-baik di rumah.”
Umi pun beranjak meninggalkan Adlan. Adlan menutup laptopnya. Ketika hendak menyantap makan siang, tiba-tiba smartphone-nya yang ia taruh di samping kanan laptop bersin. Satu pesan masuk dari nomor tak dikenal.

Assalamualaikum, Adlan. Semoga lenganmu cepat pulih sepenuhnya. Sebelumnya aku minta maaf telah mengganggu waktu istirahatmu, ada hal yang sangat ingin aku sampaikan. Semenjak pertama kali aku melihatmu di aula sekolah, tepatnya saat pengumuman hasil seleksi, entah kenapa aku tertarik padamu. Awalnya aku berusaha untuk membuang jauh-jauh perasaan itu, namun hatiku memberontak. Bayang wajahmu selalu hadir hampir di setiap helaan nafasku, baik saat tertidur maupun terjaga. Saat melihat ketaatanmu menjalankan ibadah, aku semakin tertarik padamu. Kamu berbeda dengan yang lain. Aku yakin Kamulah sosok yang benar-benar aku butuhkan. Aku ingin sekali dekat denganmu, mendampingi setiap langkahmu, dan menjadi makmummu dalam bahtera kehidupan jika Allah menakdirkannya. Aku sadar ini terlalu dini untuk diungkapkan mengingat usia kita yang masih terlalu muda. Namun rasa takut akan kehilanganmu memaksaku untuk melakukan hal ini. Adlan, aku mencintaimu. Aku akan menunggu kesiapan dan kesediaanmu, sampai kapanpun  itu.
Maaf karena sudah terlalu lancang, Anisa.

Adlan kaget. Anisa yang dia pikir tak ada rasa sama sekali dengannya ternyata menyukainya, bahkan dia rela menunggunya sampai siap dan bersedia menikah. Matanya masih memandang datar layar ponselnya. Ia bingung, jawaban apa yang harus diberikan? Otaknya berputar keras mencari jawaban yang tepat agar tak menyinggung perasaan Anisa. Akhirnya Adlan pun memutuskan balasannya,
Semoga Allah menakdirkan yang terbaik…
@@@@




[1]Maktabah Syamilah, kitab At taysiyr bi syarhi al jaami’ as shoghir, juz 2, halaman 61.
[2]Maktabah Syamilah, kitab Fathul bari, juz 6, halaman 575

Tidak ada komentar:

Posting Komentar