Lonceng tanda masuk berbunyi. Satu persatu
siswa masuk ruang kelasnya dengan tertib. Satu dua anak masih asik ngobrol di
kursi-kursi panjang di depan kelas,
beberapa yang lain baru berjalan masuk melewati gerbang sekolah dengan tas
gendong di punggung.
“Aisyah, bagaimana lukamu?” Tanya Anisa yang
duduk semeja dengannya
“Alhamdulillah sudah mulai kering. Bahkan kata
dokter kulitku, bekas lukanya pun nanti bisa dengan mudah dihilangkan.”
“Alhamdulillah kalau begitu.”
“Emm, ngomong-ngomong Adlan bagaimana
keadaannya yah?” Sambung Anisa.
“Tadi pagi aku menelponnya, katanya hari ini
belum bisa berangkat, masih belum bisa mengendarai motor katanya. Setiap kali
ia paksakan menyetir, luka di lengannya lagi-lagi terbuka, darahnya keluar.”
“Kasihan dia. Memang seberapa parah lukanya?”
“Entahlah. Tapi katanya sih lima jahitan.”
“lima jahitan?”
Aisyah mengangguk.
“O iya, ngomong-ngomong kamu dapat nomer Adlan
dari mana, Syah?”
“Hehe, mau tau aja.”
“Hmm, gitu yah? Mulai rahasia-rahasiaan
segala, kalau begitu nanti siang aku batal menemani kamu cari kerudung.”
“Yah! Jangan begitu dong, Nis, kamu kan tahu
aku tak punya pengalaman apa-apa tentang kerudung.”
“Kalau begitu jawab dulu pertanyaanku.” Anisa
tersenyum menang.
Aisyah menghela nafas, huft.
“Saat berkemas pulang dari Suniarsih, aku bertemu
Adlan di barak kesehatan, dia sedang mengganti perban di lengannya. Aku ngobrol
sebentar dengannya, terus, aku minta deh nomernya.”
“Ooh, begitu.” Anisa mengangguk.
“Eh! Itu Pak Prodo datang.”
Anak-anak langsung duduk rapi di meja
masing-masing. Jam pelajaran pertama, jam kesenian. Saat itu Pak Prodo tidak
langsung memberikan materi seni musik, mapel yang diampunya. Beliau lebih
banyak bercerita, berbicara banyak hal, terutama pengalamannya saat masih muda.
Anak-anak serius memperhatikan.
Satu jam berlalu bel ganti pelajaran pun
berbunyi. Pak Prodo menutup jam pelajarannya. Anak-anak keluar berduyun-duyun
ke ruangan berikutnya, R 2.06. Guru jam kedua telah duduk menunggu. Jenggotnya
lebat, pandangan matanya tajam. Di keningnya ada tanda hitam, seperti bekas yang
disebabkan karena sering sujud, atau lebih tepatnya karena sering sujud di atas
benda keras. Guru muda itu memperkenalkan diri. Namanya Pak Agung Sujayanto,
pengampu materi matematika.
Materi awal, Aljabar, diuraikan dengan sangat
gamblang. Caranya menyampaikan kalimat begitu menyihir anak-anak X.9. Semuanya
memperhatikan penjelasan yang mudah ditalar itu. Sesekali Pak Agung menyelingi
penjelasan matematikanya dengan pengetahuan agama. Ulasannya begitu masuk akal.
Sebagian anak bahkan mengangguk-anggukkan kepala, setuju dengan
statemen-statemen logisnya. Anak-anak lebih terkagum dengan ulasan-ulasan agama
Pak Agung dari pada materi utamanya, Aljabar.
Bel istirahat berbunyi.
“Sampai disini pertemuan kali ini, insyaAllah
besok kita mulai masuk ke pembahasan Aritmetika. Bapak harap kalian membaca
materinya terlebih dahulu di halaman tujuh puluh delapan sampai sembilan puluh
tiga. Sebelum Bapak tutup, apa ada yang mau bertanya?”
Nana, siswa kurus berkacamata minus yang duduk
di bangku paling belakang mengangkat tangannya dengan ketus.
“Ya, silahkan.” Kata Pak Agung.
“Saya mau bertanya Pak, boleh apa tidak?”
“Boleh, kan sudah Bapak persilahkan barusan.”
“Oh, iya Pak, terimakasih banyak.”
Pak Agung mempersilahkan kembali. Nana lalu
senyum-senyum sendiri, tak segera melontarkan pertanyaannya. Pak Agung masih menunggu.
Nana masih saja senyum-senyum.
“Ayo cepat, katanya mau tanya?” Pak Agung agak
jengkel.
“Sudah pak.” Jawab Nana enteng.
“Sudah apa?”
“Ya sudah bertanya dong, Pak.”
“Bertanya apanya! Orang dari tadi kamu senyum-senyum
sendiri kok.” Pak Agung makin gemas.
“Loh, itu tadi kan pertanyaan saya, Pak.”
“Pertanyaan apa?”
“Boleh apa tidak? Itulah pertanyaan saya,
Pak.” Senyuman menjengkelkan Nana mengembang.
Anak-anak yang paham tertawa seketika. Kelas
menjadi ramai dengan gelak tawa. Pak Agung yang melihat keriangan anak-anak pun
akhirnya ikut tertawa, ikut merasa lucu meskipun hatinya jengkel. Sebagai orang
dengan pemikiran yang lebih dewasa, Pak Agung jelas paham dengan model-model
keisengan anak didik yang seperti itu. Beliau lalu menutup pertemuan dengan
ucapan salam. Para siswa berbondong-bondong keluar kelas, tapi ada juga yang
masih berkutat di dalam kelas, sibuk mencatat.
Suasana Smansawi waktu istirahat seperti ini
sangat ramai. Anak-anak sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang
berjalan santai di tepi lapangan, ada yang hanya duduk-duduk di kelas, ngobrol,
ada juga yang asik dengan laptopnya, berselancar di dunia maya dengan free
hotspot di aula sekolah. Dan yang nampak paling mendominasi keramaian
tentunya kantin sekolah. Anak-anak berjejalan memesan makanan dan minuman di
sana. Meja-meja panjang kantin tak menyisakan tempat untuk para pengunjung
baru. Mereka yang tak mendapat tempat duduk membawa jajan dan minumannya ke
tempat lain. Ada yang ke teras masjid, memakannya sambil membaca buku yang
dipinjam dari perpustakaan masjid. Ada juga yang beramai-ramai ke taman
penyekat lapangan, mereka melahap makanannya di bawah pohon ukuran tanggung. Di
sana suasananya teduh.
“Ayo ke masjid, Nis.” Ajak Aisyah yang baru
selesai mencatat contoh-contoh soal aljabar di white board. Masih
tersisa sepuluh anak di ruangan tersebut, dua di antaranya Aisyah dan Anisa.
“Kamu duluan saja, Syah, aku belum selesai.”
Anisa masih sibuk menulis.
Aisyah beranjak ke masjid membawa tas gendong
birunya, meninggalkan Anisa bersama delapan anak lainnya yang masih sibuk
mencatat. Lima menit kemudian Anisa selesai. Ia memasukkan buku dan pulpennya
ke dalam tas. Saat hendak beranjak ke masjid, sekilas ia melihat sesuatu di
laci meja. HP Aisyah tertinggal. Ia pun mengambilnya. Tak sengaja jarinya menekan
tombol call. Layar HP menyala, menampilkan log panggilan keluar. Nama Adlan
berada di urutan teratas. Anisa menyalin nomornya di secarik kertas. Setelah
itu ia segera menyusul Aisyah ke masjid.
Sesampainya di masjid, Anisa melihat beberapa
siswi di sana. Ada yang sedang asik tenggelam dalam sholat duha, ada yang
tersibukkan dengan melafakan kalam-kalam Ilahi yang termaktub dalam
mushaf-mushaf nan suci, dan ada pula yang sedang membaca buku-buku agama yang
bebas dipinjam dari perpus masjid. Dua siswi melipat mukena mereka untuk
dimasukkan ke tempatnya. Dari balik satir, sesekali terdengar gelak tawa anak
laki-laki. Sepertinya mereka sedang asik ngobrol. Padahal setahunya, di
beberapa tembok masjid bagian putra telah dipasang peringatan, Dilarang
Berbicara Masalah Duniawi di Dalam Masjid, sebagaimana yang tertempel di
bagian putri. Tapi Anisa husnuzon, mungkin mereka sedang bercerita tentang Abu
Nawas atau Nashirudin, dua tokoh sufi yang hikmah-hikmahnya selalu penuh dengan
parodi.
Anisa mengambil mukena di lemari pojok
ruangan. Di lemari tersebut ada puluhan mukena yang disediakan oleh sekolah
untuk para siswi yang ingin menunaikan sholat. Namun demikian, banyak juga yang
membawa mukenanya sendiri dari rumah. Biasanya Anisa juga membawa sendiri
mukenanya, namun hari itu ia lupa karena tergesa-gesa saat berangkat. Sejurus
setelah mengenakan mukena, Anisa segera tenggelam mengarungi lautan kekhusyuan
dalam bahtera sholat duha.
Aisyah baru selesai sholat duha. Ia melihat
Anisa yang baru mengangkat dua tangannya, takbirotul ihrom. Sembari menunggu
temannya itu, Aisyah mengambil salah satu buku koleksi perpustakaan masjid.
Fiqih Muslimah, buku karangan Ustadz Segaf Baharun M.H.I itu menjadi sasaran
jamahan tangannya. Ia duduk bersender di tembok dekat pintu masuk. Halaman demi
halaman mulai ia sapu dengan kedua matanya. Aisyah pun semakin dalam
menjelajahi permasalahan-permasalahan fiqih seputar kewanitaan yang diulas
secara menarik oleh penulis di dalam buku tersebut.
“Asik sekali bacanya, Aisyah?”
“Eh, kamu sudah selesai, Nis.” Aisyah menutup
begitu saja buku yang ia pegang.
Anisa duduk bersandar di samping Aisyah.
“Nih, HP kamu tertinggal di laci meja.”
Menyodorkan HP ke Aisyah.
“Ya Allah, terimakasih banyak Anisa, tadi aku lupa
memasukkannya ke tas. Kalau saja tidak kamu ambil mungkin sudah diambil anak
kelas lain.” Menerima HP tersebut, ekspresi sangat berterimakasih.
“Iya, sama-sama. Makanya jangan teledor kalau naruh
HP, sudah tahu di sini sistemnya moving class, pindah ruangan setiap ganti
pelajaran, sekali barang tertinggal di kelas, ya sudah, kemungkinan besar
diambil anak kelas berikutnya.”
“Iya, iya, aku salah, aku tak akan
mengulanginya lagi.”
Keduanya lalu mulai asik dengan perbincangan
ringan, membahas permasalahan-permasalahan seputar dunia perempuan, utamanya
fashion, lebih spesifik lagi kerudung dan macam-macam style-nya.
“Ngomong-ngomong, kenapa kamu tiba-tiba mau pakai
kerudung, Syah?”
“Emm, kalau itu sih rahasia, hehe.”
“Ya sudah, nanti siang aku batal menemanimu
cari kerudung.” Anisa tersenyum, menang.
“Pasti begitu.” Aisyah cemberut, sebal.
“Ya sudah, tinggal ceritakan saja apa
repotnya? Toh aku juga temanmu kan?”
Aisyah pun mengalah, Huh, helaan nafas
sebalnya terdengar.
“Jadi begini, semalam aku sms-an sama Adlan.
Dia bilang aku berbeda dengan anak-anak orang kaya yang lain. Sementara
kebanyakan mereka tak memperhatikan kewajiban agama, bahkan ada yang dengan
sengaja meninggalkan sholat tanpa alasan yang dibenarkan syariat, tapi aku tidak.
Awalnya aku juga tak tahu kenapa Adlan berkesimpulan seperti itu. Setelah ku
tanyakan sebabnya, ternyata saat MOS dia sering melihatku pergi ke masjid saat
istirahat, juga saat zuhur sebelum pulang. Selain itu dia juga bilang kalau,..”
Aisyah berhenti, malu untuk melanjutkan kalimatnya.
“Kalau apa?”
“Emm, dia bilang kalau aku cantik.” Mukanya
memerah seketika. Wajahnya merunduk, malu. Senyum kecil tersungging dari
bibirnya.
“Terus dia bilang apa lagi?” Anisa nampak
antusias ingin mendengar kelanjutan cerita Aisyah.
“Terus, dia bilang, andai aku mau memakai kerudung,
disamping ketaatanku, pasti kecantikanku pun akan semakin sempurna.” Muka
Aisyah semakin memerah.
“Iiiihiiy, Jangan-jangan kalian pacaran yah?”
“Pacaran? Ngawur kamu, Nis. Orang sealim dia
mana mau pacaran?”
“Tapi kamu suka sama dia kan? Hayo ngaku.”
Anisa tersenyum, mencoba memojokkan Aisyah.
Aisyah terdiam. Merah mukanya semakin
menjadi-jadi. Ia hanya tersenyum malu menanggapi pertanyaan itu.
“Waah, ada yang sedang jatuh cinta nih,
ciee-ciee,..” Anisa mencolek-colek Aisyah, menggodanya.
“Ssst! Jangan keras-keras, Nis, aku malu.” Ia
mencubit paha Anisa.
“AWW! Sakit, Aisyah!”
“Makanya jangan menggodaku terus.” Muka Aisyah
ditekuk.
“Iya-iya aku berhenti. Hehe, nampaknya ini
bisa jadi berita terhangat di kalangan anak-anak kelas nih.”
“Jangan begitu lah, Nis. Please, jangan
ceritakan hal ini sama siapa-siapa yah? Please.” Muka Aisyah memelas.
“Emm, tergantung.” Mengelus-elus dagu dengan
ujung-ujung jemarinya.
“Tergantung apa?”
“Mungkin kamu bisa menutup mulutku dengan
bakso urat yang di depan Smansa. Bagaimana?” Tersenyum menang.
“Iih, kamu ini!” Aisyah gregetan.
“Hehe, pilihan ada di tanganmu, kawan.”
Menepuk pundak Aisyah, manggut-manggut.
“Huh! Baiklah, demi tertutupnya rahasia suci
ini, selain untuk kerudung, aku juga harus merelakan uang sakuku lenyap untuk
mentraktirmu.” Ekspresi Aisyah benar-benar alay. Matanya menyipit, gurat
wajahnya serius, tangan mengepal, Ganbatte! Berakting bak pemain drama.
Mereka berdua lalu tertawa, merasa lucu dengan apa yang Aisyah lakukan.
“Ssstt, masjid!” Tegur salah satu siswi di
tempat itu.
“Iya-iya, maaf.” Aisyah dan Anisa
merunduk-runduk, malu.
“Astaghfirullahal ‘azim, yang kita bicarakan
dari tadi masalah duniawi bukan yah?” Ekspresi Anisa bingung.
“Menurutku, sebagian duniawi sebagian bukan.”
“Yang bukan duniawi yang mana?”
“Yang tentang kerudung, itu tentang syariat
bukan?”
“Iya sih, tapi selebihnya kan duniawi.
Mudah-mudahan tidak terlalu banyak kebaikan kita yang hilang yah?”
“Amin, semoga saja demikian. Dari pada kita
tak sadar berbicara masalah duniawi lagi, lebih baik kita ke kelas yuk?” Ajak
Aisyah.
“Yuk,”
Mereka pun beranjak ke ruang pelajaran ketiga.
Keduanya berjalan bergandengan tangan, begitu akrab. Langkah dua pasang kaki
Anisa dan Aisyah kompak menapak, melewati lantai demi lantai menuju ruang E
2.01, ruang bahasa Inggrisnya Bu Meiza Yulia.
@@@@
Alphard putih berjalan semakin pelan, masuk ke
gerbang perumahan elit. Di depan salah satu rumah berlantai dua Alphard itu
menurunkan seorang gadis berseragam putih abu-abu. Ia memakai kerudung putih
berenda cokelat.
“Terimakasih atas tumpangannya yah, Syah.
Nanti kalau kamu kesulitan memakainya telpon saja aku.”
“Iya, Nis. Terimakasih juga sudah mau menemani
beli kerudung.” Senyum Aisyah terlontar sebelum akhirnya pintu mobil ditutup.
Alphard lalu berjalan pelan ke timur, melewati
tiga rumah elit untuk kemudian berhenti di depan rumah Aisyah. Klakson
dibunyikan. Satpam keluar dari pos jaganya dan membukakan gerbang. Mobil masuk
ke pelataran rumah. Aisyah keluar dari pintu belakang mobil. Selain menggendong
tas biru, ia juga menenteng tas plastik berisi belanjaannya, beberapa kerudung
dengan berbagai model.
“Assalamualaikum, Aisyah pulang.”
“Wa’alaikum salam.” Jawab seorang wanita paruh
baya berbusana dan berdandanan lux. Ia duduk di sofa panjang ruang
depan, menikmati secangkir teh.
“Mama? Sejak kapan di rumah?”
“Pertanyaan kamu kok begitu sih sayang, ini
kan juga rumah Mama.”
“Eh, maksud Aisyah, tumben jam segini Mama di
rumah, biasanya kan lagi di butik.”
“Hari ini Mama ingin di rumah saja, ingin
ngobrol sama anak Mama yang cantik ini. Sini duduk samping Mama, sayang.”
Aisyah mencium tangan Mamanya lalu duduk tepat
di samping kanannya.
“Habis belanja apa kamu?” Melihat tas plastik
yang dibawa Aisyah.
“Kerudung, Mah.”
“Kerudung? Memangnya kamu mau berkerudung?”
“Iya, Mah. Tak apa-apa kan?”
“Kamu sudah yakin? Banyak loh wanita
bekerudung tapi moralnya tidak baik, cuma menjadikan kerudung sebagai kedok.
Mama tidak ingin nantinya kamu terkena persepsi seperti itu, Sayang.”
“Seharusnya Mama jangan beranggapan seperti itu,
tidak baik. Aisyah yakin, dengan memakai kerudung Aisyah bisa lebih menjaga
moral. Dan lebih dari itu, memakai kerudung bukan hanya masalah moral, Mah,
tapi juga masalah ketaatan kita terhadap syariat.”
“Kalau Mama lebih suka kamu tampakkan saja
rambut indahmu, seperti kakakmu, Nadia. Semalam dia mengabari Mama kalau dia
akan mengikuti kontes kecantikan mewakili kampusnya di Sydney.”
“Apa? Kontes kecantikan? Mama tahu budaya luar
kan? Pasti busana yang akan Kak Nadia pakai itu busana yang terbuka, Mah!”
“Justru itu yang membuat Mama bangga, dia bisa
menunjukkan kapabilitasnya sebagai perempuan Indonesia. Kecantikan alaminya
bisa bersaing dengan kecantikan perempuan-perempuan Australia.” Nada suaranya
makin tinggi.
“Tapi itu melanggar syariat, Mah!”
“Diam kamu! Tak usah menasehati Mama soal
agama! Pasti Bi Hafsah yang mengajari kamu seperti ini, kan? Kalau bukan karena
Papamu, sudah Mama pecat dia sejak lima tahun lalu. Gara-gara dia kamu jadi
sering menentang keinginan Mama!”
“Jangan salahkan Bi Hafsah, Mah! Salahkan diri
Mama sendiri! Bi Hafsah selalu ada saat Aisyah butuh, sedangkan Mama? Mama di
mana saat Aisyah butuh? Saat Aisyah kesepian? Mama lebih memilih butik dan
teman-teman Mama dari pada Aisyah, anak Mama sendiri. Sejak Aisyah SD, Bi
Hafsah lah yang lebih Aisyah rasakan kasih sayangnya dari pada Mama. Mama
terlalu sibuk dangan dunia Mama, butik, mall, teman-teman arisan,..”
PLAKK…!!! Sebuah tamparan keras melayang,
menyapa pipi kiri Aisyah.
“Jangan kurang ajar kamu, Aisyah!”
Aisyah meninggalkan mamanya begitu saja, naik
ke lantai dua dengan membawa serta belanjaannya. Air matanya meleleh. Luka di
pelipisnya terbuka lagi.
“Aisyah, Mama belum selesai!”
Aisyah tak menghiraukan teriakan Mamanya. Ia
membanting pintu kamar dan menguncinya rapat-rapat. Ia melemparkan badannya ke
atas ranjang, menangis sesunggukan memeluk bantal. Darah yang keluar dari luka
di pelipisnya menetes, menambah corak sprei dengan warna merah.
@@@@
Suara pintu kamar terbuka. Umi membawakan
makan siang Adlan ke kamar. Adlan sedang sibuk dengan Ms Word di laptopnya
sampai-sampai tak sadar dengan kedatangan Umi.
“Nampaknya serius sekali, ngetik apa sih?”
“Eh, Umi, ngetik artikel, Mi, mau Adlan post
di FB dan Blog.”
“Artikel? Tentang apa?” Menaruh makanan di
samping Adlan.
“Tentang moral pemuda bangsa yang semakin hari
semakin merosot.”
Umi duduk di ranjang, menghadap Adlan yang
masih menatap fokus ke laptopnya.
“Em, menurut
kamu sendiri apa yang menyebabkan kemerosotan itu?” Tanya Umi.
Adlan berhenti mengetik. Mengubah posisi
duduk, menghadap ke arah Umi. Umi menatap serius, tatapannya lembut.
“Menurut Adlan, ada banyak faktor yang
menyebabkan degradasi moral ini.” Adlan memperbaiki posisi duduk.
“Globalisasi yang tak tersaring sempurna,
media masa yang banyak menayangkan program-program tak mendidik, hal-hal
negatif yang bisa diakses di internet secara bebas dan mudah, narkoba yang
semakin menjamur akibat kong-kalikong para oknum yang seharusnya menegakkan
hukum,..”Adlan menghela nafas.
“Untuk yang terakhir ini Adlan sempat kaget
ketika membaca salah satu berita utama di surat kabar langganan Abah. Seorang
bandar narkoba masih bisa mengontrol jual beli barang terlarang tersebut meski
dia telah meringkuk di dalam buih. Tidak mungkin hal ini bisa dilakukan kalau
tidak ada campur tangan oknum penegak hukum.” Ia menggeleng-gelengkan kepala.
“Hal-hal seperti itu sebenarnya sudah cukup
miris untuk mengukur seberapa parahnya keadaan bangsa kita sekarang ini. Namun
demikian, tidak bisa dipungkiri kalau masih banyak hal-hal negatif lain yang
juga memiliki andil besar dalam perusakan moral bangsa. Yang lebih parahnya
lagi, para pemuda yang jelas-jelas menjadi sasaran utama perusakan moral
tersebut seakan tutup mata, bahkan mereka dengan bangga menyambut budaya-budaya
negatif bangsa barat dengan tangan terbuka. Salah satunya kebebasan. Mereka
menggembar-gemborkan kebebasan atas nama HAM. Mereka menuntut hak asasi mereka
dipenuhi dan dihormati tanpa menilik kewajiban asasi mereka telah ditunaikan
atau belum. Bukankah ini keliru? Maka yang terjadi adalah hilangnya rasa hormat
anak kepada orang tua, murid kepada guru, juga yang muda kepada yang tua.
Dengan demikian, para orang tua dan guru seolah telah kehilangan separuh alat
didik mereka yang mutakhir.”
Umi menatap penasaran, pandangannya penuh
antusias.
“Saat seorang anak terlalu nakal dan tidak
bisa disetir dengan omongan atau nasihat, maka alat didik yang paling ampuh
saat itu adalah rotan, penggaris, dan benda-benda keras lain yang bisa
digunakan untuk memukul. Tapi ketika alat-alat itu digunakan, anak-anak akan
meneriakkan HAM, juga para murid, mereka akan berlari dan berlindung di balik
benteng HAM. Jika sudah demikian, mereka akan semakin tenggelam dengan
kenakalan dan kebebasan liar mereka di bawah perlindungan dan jaminan HAM.”
Umi manggut-manggut.
“Kamu punya bukti tentang analisis ini?” Tanya
Umi.
“Salah satu diantaranya adalah berita yang
pernah muncul di kolom kriminalitas koran Central Java News. Seorang guru ngaji
di daerah kudus dipenjara satu tahun setengah gara-gara terbukti memukul anak didiknya
dengan rotan. Jika kita membayangkan efek dari penegakan HAM yang keliru ini,
tentu tak akan ada lagi guru ngaji yang berani mengayunkan rotan, guru-guru di
sekolahan tak berani menyabetkan penggaris, dan para orang tua hanya bisa
menahan tangan saat anak-anak mereka terlalu liar. Dari sini Adlan semakin
paham apa yang dimaksud dalam hadis Nabi, “rahimaLlahu imroan ‘allaqo fi
baitihi sauthon yu addibu bihi ahlahu,[1]
semoga Allah memberikan rahmatNya kepada orang yang menggantungkan pecut di
dalam rumahnya untuk mendidik keluarganya,” maka salah jika ada orang yang
mengatakan islam itu agama yang keras dengan membolehkan seorang suami memukul
istrinya, orang tua memukul anaknya, dan guru memukul muridnya. Padahal
sebaliknya, islam itu agama yang lembut, agama yang tidak membolehkan seorang
anak durhaka kepada orang tua, murid
kurang ajar kepada guru, dan istri membangkang kepada suami.”
“Analisis kamu bagus, Adlan. Benar jika bangsa
kita sekarang dikatakan sangat memprihatinkan, kerusakan-kerusakan yang kamu paparkan
tadi juga memang sudah menjamur. Namun jika hanya sebatas analisis tanpa
memberi penyelesaian masalahnya, percuma. Kamu harus memikirkan juga jalan
keluarnya.” Umi menanggapi.
“Adlan belum berpikir sampai sejauh itu, Mi.”
Ungkap Adlan jujur.
“Begini, Adlan. Kamu tentu tahu keadaan
Indonesia zaman dulu. Di masa-masa akhir Belanda bercokol di bumi pertiwi,
sangat banyak bermunculan tokoh-tokoh pemuda. Di sana-sini orang rela
menyumbang darah dan nyawa demi terlepasnya tanah air dari cengkraman kuku-kuku
tajam kaum imperialis. Rasa nasionalis begitu kental, persatuan begitu kuat,
rasa senasib sepenanggungan pun menjadi ruh yang sangat melekat rekat di dalam
jiwa setiap orang. Tujuan mereka hanya satu, cita-cita mereka hanya satu,
MERDEKA.” Umi menyipitkan matanya, serius.
“Demi meraih tujuan itu mereka bersatu padu
mengumpulkan kekuatan untuk melawan penjajah, baik dalam sektor diplomasi
maupun serangan lapangan. Kamu pikir mereka bisa bersatu padu dengan
sendirinya? Apakah api jihad yang berkobar dahsyat di dalam dada mereka
tersulut begitu saja tanpa ada yang menyalakan?”
Adlan terdiam, alisnya mengernyit, berpikir.
“Ada dalang penggerak di balik itu semua.”
Tukasnya.
“Benar sekali. Dan dalang-dalang penggerak
rakyat saat itu adalah para ulama. Ada yang bergerak dalam sektor diplomasi
seperti al Habib Jindan dari jakarta, Syeh Ahmad Dahlan, Kyai Hasyim Asy’ari,
dan lainnya. Ada pula yang memimpin langsung peperangan di medan tempur seperti
Imam Bondjol, Pangeran Diponegoro, dan yang lainnya. Mereka berdiri di
barisan-barisan paling depan sebagai penyulut api jihad. Kalimat-kalimat mereka
merasuk ke setiap sendi-sendi jiwa rakyat Indonesia, memperkuat tekad mereka
dalam perjuangan suci merebut kemerdekaan. Sekarang coba kamu pikirkan, mana
yang lebih kuat rasa nasionalismenya, bangsa Indonesia sekarang atau bangsa
Indonesia di zaman perjuangan?”
“Jelas
bangsa Indonesia di zaman perjuangan lah, Mi”
“Dengan demikian, manakah yang lebih mulia,
moral pemuda sekarang atau moral pemuda di masa perjuangan?”
“Moral pemuda di zaman perjuangan jelas lebih
mulia, kemerdekaan Indonesialah saksi kesungguhan dan keikhlasan perjuangan
suci yang telah mereka berikan sebagai hadiah terindah bagi anak cucu bangsa.”
Umi tersenyum.
“Ketahuilah Adlan, itu semua karena mereka
dekat dengan ulama. Mereka sangat patuh dengan apa yang dikatakan ulama,
sedangkan para ulamanya sendiri tidaklah memberi anjuran kepada orang-orang
kecuali yang membangun moral dan akhlak. Itulah misi mereka, misi yang sama
dengan yang dibawa oleh RasuluLlah, “innamaa bu’itstu li utammima makaarimal
akhlaaq,”[2]
sesungguhnya aku diutus tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak. Dari
sini kita bisa membandingkan, moral bangsa zaman dulu termasuk para pemudanya
yang berada di bawah naungan para ulama itu jauh lebih mulia dari pada
kebanyakan orang zaman sekarang yang malah lari dari naungan para ulama.”
Adlan mengangguk-anggukkan kepala.
“Adlan setuju dengan pemikiran Umi. Mungkin
ini akan menjadi paragraf tambahan untuk artikel Adlan, tapi,..” tangannya memegang dagu.
“Tapi kenapa?”
“Ulama dulu dengan yang sekarang kan berbeda.”
“Berbeda dalam segi apa?”
“Ulama dulu bersatu padu, menyatukan tenaga
dan pikiran untuk tujuan yang sama, rakyat pun mengikuti dan patuh kepada
mereka karena memiliki tujuan yang sama pula. Tapi sekarang? Dari kalangan
ulamanya sendiri, di antara mereka sudah ada yang mulai terjun ke dunia
politik. Memang tujuan mereka baik, untuk mengimbangi derasnya
pemikiran-pemikiran yang tidak sesuai dengan syariat dalam kubu pemerintahan
saat pembuatan kebijakan. Namun di sisi lain dampak buruknya juga tidak bisa
dianggap remeh, yaitu perpecahan umat. Contoh saja, jika ulama A mencalonkan
diri sebagai wakil rakyat di bawah naungan partai X, dan di lain pihak, ulama B
juga mencalonkan diri sebagai wakil rakyat di bawah naungan partai Y, bukankah
ini akan menimbulkan perpecahan para pengikut dan pendukung kedua ulama tersebut?
Bahkan mungkin akan terjadi saling hina di antara mereka. Jika sudah demikian, maka pengaruh
dan nama baik kedua ulama tersebut akan turun di mata masyarakat, kata-kata
mereka pun bukan tidak mungkin akan dianggap sebagai angin lalu saja.”
“Memang benar demikian. Keikutsertaan para
ulama dalam kancah perpolitikan mau tidak mau pasti akan menimbulkan
perpecahan. Dan sebenarnya, ini hanyalah salah satu dari banyak upaya halus
yang dilakukan oleh pihak tertentu untuk menjauhkan masyarakat Indonesia dari
para ulama, dengan menghilangkan pengaruh mereka di mata masyarakat. Upaya
halus yang lain adalah dengan meracuni pemikiran bangsa melalui media-media
masa. Mereka membuat acara-acara yang dikemas dengan sangat menarik agar
masyarakat lebih memilih untuk menonton televisi dari pada mengikuti
pengajian-pengajian agama di mushola, masjid, atau majelis ta’lim.”
Adlan terdiam, alisnya mengernyit. Ia
mempertajam analisisnya.
“jika pihak yang ada di belakang upaya-upaya
ini berasal dari bangsa Indonesia sendiri, jelas tidak mungkin.
Sebejat-bejatnya orang Indonesia, dia tidak mungkin menginginkan kehancuran
bangsanya sendiri. Hipotesis yang paling memungkinkan adalah, ini semua
dimotori oleh pihak luar, mungkin bangsa-bangsa barat. Bukankah mereka sedang
gencar-gencarnya melaksanakan berbagai skenario international yang tidak lain
bertujuan untuk mendominasi kekuasaan dunia? Dan semua kerusakan-kerusakan tadi
mungkin termasuk dari skenario-skenario barat tersebut. Ketika bangsa Indonesia
dekat dengan ulama, maka mereka akan menjadi kekuatan yang sangat menakutkan
bagi siapa saja yang berani mengusiknya. Sebagaimana yang terjadi pada masa
perjuangan. Sangking menakutkannya bangsa Indonesia di bawah komando para ulama
tersebut, senapan, meriam, dan mortir-mortir aktif sampai lari tunggang
langgang menghadapi bambu runcing. Tapi dengan hilangnya pengaruh ulama dan
semakin jauhnya bangsa Indonesia dengan mereka, tentu bambu runcing atau bahkan
senjata-senjata modern yang mutakhir sekalipun tak akan lagi menjadi momok yang
menakutkan bagi bangsa-bangsa yang ingin menyerang Indonesia.”
“Lalu bagaimana pendapatmu tentang tentara
Indonesia? Bukankah mereka juga macan yang disiapkan oleh bangsa untuk menjaga
keamanan dan keutuhan tanah air?”
“Menurut Adlan, tentara Indonesia memang
macan, namun jika kita menilik dan membandingkan persenjataan, kemajuan
teknologi, serta kemampuan individu yang dimiliki oleh militer Indonesia dengan
yang dimiliki oleh militer Amerika, Inggris, Prancis, dan negara-negara adidaya
yang lain, maka TNI sama seperti halnya macan yang berhadapan dengan
Tiranosaurus Rex yang kelaparan. Mereka bisa dengan mudah mencabik-cabik
tentara Indonesia lalu menelannya.”
Umi tersenyum melihat analisis-analisis logis
yang diutarakan Adlan.
“Berarti kesimpulannya, dekat jauhnya bangsa
Indonesia dengan ulama, selain sebagai barometer moral bangsa, juga menjadi
tolok ukur kuat lemahnya pertahanan negara.”
“Adlan setuju, Mi.” Tersenyum. Umi pun ikut
tersenyum.
“Sudah, makanannya dimakan dulu, sampai dingin
tuh nasinya. Umi mau ke rumah Mbah Putri , katanya beliau lagi tidak enak
badan. Kamu mau ikut?”
“Adlan di rumah saja, Mi, mau istirahat biar
lukanya cepat pulih. Adlan sudah tidak sabar ingin berangkat sekolah besok.”
“Ya sudah, jaga diri baik-baik di rumah.”
Umi pun beranjak meninggalkan Adlan. Adlan
menutup laptopnya. Ketika hendak menyantap makan siang, tiba-tiba smartphone-nya
yang ia taruh di samping kanan laptop bersin. Satu pesan masuk dari nomor tak
dikenal.
Assalamualaikum,
Adlan. Semoga lenganmu cepat pulih sepenuhnya. Sebelumnya aku minta maaf telah
mengganggu waktu istirahatmu, ada hal yang sangat ingin aku sampaikan. Semenjak
pertama kali aku melihatmu di aula sekolah, tepatnya saat pengumuman hasil
seleksi, entah kenapa aku tertarik padamu. Awalnya aku berusaha untuk membuang
jauh-jauh perasaan itu, namun hatiku memberontak. Bayang wajahmu selalu hadir
hampir di setiap helaan nafasku, baik saat tertidur maupun terjaga. Saat
melihat ketaatanmu menjalankan ibadah, aku semakin tertarik padamu. Kamu berbeda
dengan yang lain. Aku yakin Kamulah sosok yang benar-benar aku butuhkan. Aku ingin
sekali dekat denganmu, mendampingi setiap langkahmu, dan menjadi makmummu dalam
bahtera kehidupan jika Allah menakdirkannya. Aku sadar ini terlalu dini untuk diungkapkan
mengingat usia kita yang masih terlalu muda. Namun rasa takut akan kehilanganmu
memaksaku untuk melakukan hal ini. Adlan, aku mencintaimu. Aku akan menunggu
kesiapan dan kesediaanmu, sampai kapanpun
itu.
Maaf
karena sudah terlalu lancang, Anisa.
Adlan
kaget. Anisa yang dia pikir tak ada rasa sama sekali dengannya ternyata
menyukainya, bahkan dia rela menunggunya sampai siap dan bersedia menikah.
Matanya masih memandang datar layar ponselnya. Ia bingung, jawaban apa yang
harus diberikan? Otaknya berputar keras mencari jawaban yang tepat agar tak
menyinggung perasaan Anisa. Akhirnya Adlan pun memutuskan balasannya,
Semoga
Allah menakdirkan yang terbaik…
@@@@

Tidak ada komentar:
Posting Komentar