”SIAAP GRAK!”
Seru pemimpin upacara. Semuanya berdiri tegak,
pandangan lurus ke depan, tangan setengah mengepal, dua telapak kaki membentuk
sudut 90° dengan tumit sebagai pusat sudutnya.
Pagi itu, Senin, 23 Mei 2009, Smansawi
mengadakan upacara bendera sekaligus pembukaan acara MOS. Udara Slawi masih
sangat sejuk, belum banyak terkontaminasi asap kendaraan bermotor. Terlebih
keadaan di lapangan Smansawi, udaranya terasa sangat menyegarkan dan agak
dingin karena keberadaan puluhan pohon hijau nan rindang yang tertanam di
tepi-tepi lapangan. Ditambah lagi dua pohon berukuran tanggung –tinggi 7 meter-
yang tertanam di dua taman panjang yang menyekat lapangan menjadi dua bagian.
Angin pagi berhembus lembut menggoyangkan dedaunan hijau, membuatnya seperti
menari melambai-lambai, menyapa para peserta MOS yang berdiri bershaf-shaf
sesuai kelas. Antara satu kelas dengan kelas yang lain terpisah jarak dua
lengan, disekat oleh ketua kelas yang bertindak sebagai komandan kompi, penginstruksi komando kepada barisan kelasnya
masing-masing.
Sementara itu dewan guru berdiri rapi membentuk
barisan tersendiri, terpisah dari barisan-barisan siswa. Kepala Sekolah yang
bertindak sebagai pembina upacara berdiri di atas mimbar. Mimbar upacara yang
terbuat dari kayu itu terletak lima langkah di kanan tiang bendera. Tepat tujuh
langkah di depan mimbar, Kak Gilang berdiri tegak di tengah lapangan sebagai
pemimpin upacara.
Setelah pengibaran merah putih, Kepala
Sekolah, Ibu Sri Rejeki Ningsih, memberikan beberapa patah kata sebagai
nasihat. Beliau mengingatkan para siswa untuk menghadapi tahun ajaran baru ini
dengan semangat yang lebih membara dari tahun ajaran lalu. Di akhir sambutan,
Ibu Sri Rejeki Ningsih membuka acara MOS secara resmi. Beliau mengetuk mikrofon
sebanyak tiga kali sebagai ganti dari pemukulan gong. Semua bertepuk tangan.
Lapangan yang tadinya hening, khidmat mendengar kalimat-kalimat Bu Sri Rejeki
Ningsih, kini ramai membahana, riuh bergemuruh oleh suara tepukan tangan yang
silih bergantian. Satu dua siswa bersiul keras, membuat kondisi lapangan
semakin meriah.
Adlan berada di shaf keempat, barisan sebelah
timur lapangan. Tepat di shaf terdepan barisannya, Aisyah sedang berdiri tegak.
Posisi yang sangat strategis bagi Adlan untuk memandangi Aisyah tanpa ketahuan.
Lima menit sudah mata Adlan belum sekalipun berkedip, terbius oleh pesona wajah
Aisyah yang semakin menawan terkena terpaan sinar matahari pagi.
Astaghfirullah, apa-apaan mataku ini!
Terbuai memandangi perempuan yang tak halal untukku!
Adlan tersadar. Dia langsung menundukkan
kepala, memejamkan matanya rapat-rapat, lalu menarik nafas dalam-dalam untuk
kemudian ia hembuskan kembali. Hatinya terus beristighfar. Ia segera teringat
dengan pesan Umi,
“Adlan, sebagai seorang laki-laki kamu harus
pintar menjaga pandangan. Tundukkanlah pandanganmu terhadap hal-hal yang tidak
halal bagimu. Matamu ini hanyalah sebuah titipan, jangan kamu salah gunakan.
Sama seperti ketika kamu dititipi baju oleh orang, lalu kamu kotori baju
tersebut, apakah orang itu akan senang?”
“Pasti marah lah, Mi.” Jawabnya saat itu, polos.
“Jika orang itu saja marah gara-gara baju titipannya
kamu kotori, apalagi Allah? Tentu Dia akan jauh lebih marah ketika mata
titipanNya kamu kotori dengan melihat perkara-perkara yang dilarangNya.”
Adlan begitu menyesal. Dia merunduk,
mengucapkan istighfar tanpa henti, sampai akhirnya salah satu pengurus OSIS
yang bertugas mengawasi barisan belakang para siswa baru menegurnya,
“Hei, posisi siap! Pandangan ke depan!”
Suaranya tertahan.
”Iya, Kak. Maaf.” Adlan memperbaiki posisi
siapnya, mengangkat pandangan lurus ke depan. Kini dia melarang keras matanya
untuk menyerong 45° ke kanan, tempat Aisyah berdiri.
@@@@
Acara MOS hari pertama sangat padat. Kegiatan
pertama, setiap siswa baru harus berkeliling sekolah, mencari minimal empat
puluh guru dan staf TU (Tata Usaha) untuk dimintai tanda tangan. Kemudian di
sesi kedua mereka harus mencari minimal sepuluh dari lima puluh kakak kelas
yang telah ditentukan panitia untuk dimintai data dirinya secara lengkap.
Beberapa kakak kelas memang agak usil. Ketika mereka dimintai data diri oleh
siswa baru, mereka tidak mau memberikannya sampai syarat-syarat yang mereka
berikan dilaksanakan terlebih dahulu. Ada yang minta dipijit, ada yang menyuruh
lompat kodok dari ujung lapangan ke ujung lapangan yang lain, ada yang minta
dirayu dengan kalimat-kalimat gombal, dan masih banyak sayarat-syarat aneh yang
lain.
Begitu pula Adlan. Dia pun tak luput dari
keusilan-keusilan tersebut. Ketika meminta data diri seorang kakak kelas, dia
diberi syarat untuk marah-marah sama tiang bendera.
Harus dengan ekspresi marah yang
totalitas, kalau tidak, Kakak tidak akan memberikan data diri, ancam Si
Kakak Kelas.
Mau tak mau Adlan pun harus melakukannya. Ia
pergi ke tempat dimana tiang bendera terpancang,
“Hai tiang jelek! Kamu ini apa-apaan sih!
Berdiri di tengah lapangan, mengganggu orang lewat! Sudah kurus, pucat, jelek
lagi. Ngrusak pemandangan ngerti! Mending cantik kayak Julie Estle!”
Orang-orang tertawa melihat ekspresi marah
Adlan yang full totallity. Akhirnya kakak kelas itu pun memberikan data
dirinya.
Adlan benar-benar capek, disuruh inilah,
disuruh itulah, terlebih posisinya sebagai ketua regu, benar-benar menuntut
dirinya untuk bekerja dan berpikir lebih dari teman-temannya yang lain. Namun
sedikit banyaknya hal itu justru membantu pematangan jiwa kepemimpinannya.
Kemampuan otaknya yang sangat cepat dalam memahami sesuatu termasuk
karakteristik setiap individu yang ia hadapi membuatnya bisa bersikap lebih cepat
dan tepat. Tak ayal teman-teman yang berada dibawah panji kepemimpinannya
sangat kompak dan patuh terhadap komandonya.
Di setiap keputusannya, Adlan selalu melihat
kemampuan perindividu teman-temannya, dia membagikan tugas sesuai dengan
kemampuan yang mereka miliki. Lebih dari itu, dia mampu mengkombinasikan keenam
temannya yang memiliki karakteristik dan keahlian yang berbeda-beda, sehingga
mereka bekerja sebagai satu kesatuan yang utuh dan saling bersinergi. Karena
itulah dari sembilan perlombaan antar regu yang diadakan oleh panitia MOS, baik
yang berkaitan dengan kekompakan regu atau kemampuan per individual, kelompoknya
berhasil menjadi juara pertama di tujuh perlombaan, sedang dua yang lain mereka
harus mencukupkan diri dengan posisi kedua dan ketiga.
Bagi Adlan, berposisi sebagai ketua regu cukup
membuat kemampuan alaminya sebagai seorang characteristic reader semakin
terasah. Selain membaca karakter keenam temannya untuk mengompakkan regu, Adlan
juga berlatih –secara tidak sengaja- membaca karakteristik anak-anak lain yang
menjadi rivalnya dalam sembilan perlombaan tersebut, sehingga dia bisa melihat
kelemahan musuh-musuhnya untuk dihadapkan dengan kelebihan-kelebihan regunya.
Di sore hari ketiga MOS upacara penutupan
dilaksanakan. Bu Ani yang berdiri sebagai Wakil Kepala Sekolah menutup acara
MOS, dan sekaligus secara resmi membuka acara GMB. Dalam upacara tersebut,
Adlan dan keenam temannya maju ke tengah lapangan untuk mendapatkan penghargaan
sebagai kelompok MOS terbaik tahun itu. Mereka bersorak riang, menerima
sejumlah uang dan sebuah piagam penghargaan, lalu kembali ke barisan semula
diiringi liuk riuh tepuk tangan regu-regu yang lain.
@@@@
Seusai sholat isya, Adlan langsung beranjak ke
kamar. Dia rebahkan badannya yang serasa
remuk itu di atas ranjang. Capek sekali. Tiga hari mengikuti MOS ala Smansawi
ternyata tidak seperti yang ia duga sebelumnya, benar-benar menguras tenaga dan
pikiran. Belum lagi besok sampai tiga hari ke depan, GMB yang akan diadakan di
Bumi Perkemahan Martoloyo desa Suniarsih telah menunggu untuk lebih melumat
tubuh dan otaknya. Ya, lebih melumat dari pada MOS, karena dia tidak akan punya
waktu untuk beristirahat nyaman di atas ranjang kamarnya tiap malam seperti
saat MOS. Tenda parasit akan menggantikan dinding rumahnya saat ia tertidur di
malam hari, tikar tipis akan menggantikan kasur empuknya saat berbaring, kelima
temannya akan menggantikan bantal gulingnya yang nyaman, dan puncaknya, suara
peluit komando yang memekik telinga akan menggantikan suara lembut Umi saat
membangunkannya untuk tahajud setiap jam setengah empat pagi.
Adlan harus mempersiapkan tubuhnya untuk itu
semua. Anggota regunya telah berkurang satu. Waiz Al Qorni, wakil ketua regunya
sekarang terkapar sakit. Tubuhnya tak kuat lagi mengikuti kegiatan orientasi
yang tinggal tiga hari itu, begitulah kabar yang Adlan dapat dari Waiz lewat
SMS yang barusan masuk.
Saat memejamkan mata, seperti biasa, bayangan
Aisyah menerobos masuk ke kepala Adlan tanpa permisi. Adlan teringat sapu
tangan berdarah yang belum sempat ia tanyakan kepada Aisyah. Sapu tangan itu
masih tersimpan di laci meja belajarnya. Matanya terbuka lagi.
Aku tidak yakin kalau sapu tangan itu
milik Aisyah. Mana mungkin gadis seceria dia menyimpan penyakit dalam yang
parah? Tapi inisial itu? Bagaimana kalau A.Z itu benar-benar Aisyah az-Zahra?
Lalu penyakit apa yang dia derita sampai-sampai dia membutuhkan sapu tangan
untuk menutupi darah-darah itu? Padahal kan lazimnya sapu tangan, orang selalu
membawanya setiap saat. Berarti kemungkinan yang paling logis adalah darahnya
sering keluar. Ah! Seandainya saja kegiatan MOS tak sepadat itu, tentu sudah
aku tanyakan sejak hari Senin lalu. Risaunya dalam hati.
Adlan nampak begitu peduli dengan keadaan
Aisyah, sampai-sampai rasa penat yang meliputi badannya terlupakan sesaat kala
ia berpikir tentang kesehatan Aisyah. Matanya belum terpejam, masih memandangi
langit-langit kamar yang terbuat dari anyaman bambu bermotif khas Jawa klasik.
Hanya suara kipas angin yang terdengar jelas. Lamat-lamat suara Umi membaca al
Quran di ruang sholat begitu lirih, jarak antara kamar Adlan dan ruang sholat yang
agak jauhlah penyebabnya. Ditambah pintu kamarnya yang tertutup rapat, hanya
dua ventilasi udara di atas pintu yang bersedia mempersilahkan suara bacaan al
Quran Umi merambat masuk ke kamar Adlan.
Suasana di luar rumah pun begitu tenang.
Langit sangat bersih dari gelayutan awan. Trilyunan bintang gemintang terlihat
begitu jelas, menemani kesendirian Si Bulan sabit. Sesekali angin semilir
menimbulkan suara gesekan lembut antara dedaunan pohon di pekarangan samping
rumah. Semua keadaan itu seolah teracik sempurna, menambah kelezatan mata Adlan
saat tertutup. Berbagai lintasan di kepalanya pun terhenti, termasuk
lintasan-lintasan wajah Aisyah. Dan terakhir, bumbu capek yang sangat
mengundang selera tidur itu membuatnya semakin jauh menerobos kelezatan alam
bawah sadar.
@@@@
“Adlan, ayo tangkap aku!” Aisyah berlari riang
diantara pepohonan jati besar, menembus semak belukar yang semakin lebat.
“Aisyah, tunggu! Jangan pergi ke tengah hutan!
Berbahaya!” seru Adlan sambil terus mengejar Aisyah. Dia mengerahkan semua
tenaganya untuk berlari, namun rasanya derap kaki Aisyah terlalu cepat. Ia
semakin tertinggal jauh di belakang. Aisyah lalu menghilang diantara semak-semak
yang lebat. Adlan kebingungan mencari-cari Aisyah. Kesana kemari ia sibak semua
belukar yang menghalangi. Sesaat kemudian suara Aisyah kembali terdengar,
“Adlan! Tolong aku!”
Adlan segera berlari menuju sumber suara. Rasa
takutnya begitu besar. Dia takut sesuatu yang buruk terjadi pada Aisyah. Dia
terus berlari menyibaki belukar di depannya, tak peduli dengan duri-duri yang
menyobek beberapa bagian tangannya sampai berdarah-darah. Ia pun akhirnya
keluar dari semak belukar. Di depan matanya kini terlihat Aisyah yang sedang
terkatung-katung di bibir tebing. Aisyah terus berteriak meminta tolong,
“Adlan, tolong aku!”
Tanpa pikir panjang Adlan langsung berlari
demi meraih tangan Aisyah. Sejurus sebelum dia meraih tangan Aisyah, terdengar
teriakan lain dari sisi tebing yang satunya. Adlan mengenal suara itu, sangat
akrab di telinganya. Ketika Adlan menoleh, ia melihat Umi yang juga sedang terkatung
di bibir tebing.
“Adlan, tolong Umi!”
Adlan benar-benar bingung. Dilema yang ia
hadapi terlalu sulit. Siapa yang harus ia tolong duluan? Aisyah yang sudah di
depan mata, ataukah Umi yang keadaannya sudah sangat miris karena hanya tersisa
satu tangan saja yang masih mencengkram bibir tebing? Adlan berpikir cepat. Dia
memutuskan untuk menolong Aisyah terlebih dahulu. Ia tarik tangan Aisyah sekuat
tenaganya.
“Adlan, cepat tolong Umi!”
teriakan Umi semakin kencang, keadaannya
semakin genting, hanya ujung-ujung jemarinya yang masih bertahan mencengkram
bibir tebing. Adlan mengerahkan semua
tenaganya. Setelah bersusah payah Aisyah pun bisa diangkat, separuh badannya
sudah berada di zona aman. Adlan menyuruh Aisyah untuk berpegangan terlebih
dahulu di sebuah batu. Adlan segera berlari ke arah Umi, berlari sangat
kencang. Ketika ia hendak meraih tangan Umi, jemari Umi terlepas dari bibir
tebing, Umi terjatuh. Adlan melihat tubuh Umi melayang-layang semakin tak
terlihat ditelan gelapnya jurang.
“Adlaaan!!!”
Teriakan Umi masih terdengar, menggaung-gaung
dari dalam jurang. Adlan shock. Matanya terbelalak memandangi jurang gelap itu.
Mulutnya menganga kaget, jantungnya berdegup sangat kencang, tangannya masih
terjulur ingin meraih, namun apa mau dikata, jemari Umi terlebih dahulu
terlepas dari bibir tebing. Air matanya perlahan meleleh. Tiba-tiba suara Umi
terdengar kembali,
“Adlan! Adlaan! Bangun Adlan! Sudah hampir
subuh, tahajud dulu!”
Adlan tebangun dari tidurnya. Bajunya basah
kuyup karena keringat, padahal kipas angin masih menyala kencang. Jantungnya
berdegup sangat cepat. Nafasnya tersengal-sengal. Rentetan mimpi yang barusan
ia alami sangat jelas, seperti kenyataan saja. Bahkan air matanya pun ternyata
benar-benar meleleh keluar. Ia mengusapnya.
“Alhamdulillah, cuma mimpi.” Mengusap keringat
di dahinya.
Ia melihat jam kamarnya. Empat kurang lima
belas menit, dua puluh menit lagi Mang Komar baru akan mengumandangkan azan
subuh. Adlan beranjak ke kamar mandi. Dia mengambil air wudhu agar batinnya
lebih tenang. Dia mengganti bajunya yang basah keringat dengan baju takwa.
Di ruang sholat, Abah dan Umi sudah sedari
tadi larut dalam dzikir dan sholat malam. Adlan yang baru masuk ke ruang sholat
kemudian melakukan takbirotul ihrom, sholat tahajud. Perasaannya masih belum
tenang. Bayangan mimpi menakutkan tadi masih menghantui kepalanya. Ia mencoba
merobek-robek bayangan tersebut dengan pisau kekhusyuannya, lalu menghapusnya
dengan kalimat-kalimat indah yang mengagungkan Tuhan semesta Alam, kalimat
tasbih, takbir, dan dzikir-dzikir lain dalam sholatnya.
Subuh masih sepuluh menit lagi, Adlan
menyempatkan sholat witir tiga rokaat sebagai penutup tahajudnya. Tak berselang
lama setelah salam sholat witirnya, suara azan Mang Komar terdengar, mengalun
lembut menembus kabut tipis dan hawa dingin subuh di luar rumah. Suaranya
merayap di atas genting-genting perumahan penduduk, memecah keheningan atmosfer
pagi. Adlan membangunkan Fadli yang masih pulas memeluk bantal gulingnya.
Setelah berkali-kali dibangunkan tak kunjung bangun, Adlan pun menggendongnya
ke kamar mandi. Fadli baru terbangun ketika Adlan mengusapkan air ke wajah
mungilnya itu. Matanya masih terpicing satu. Dia lalu mengambil wudu dengan
pengawasan Adlan.
Usai berwudu, Fadli dan Adlan beranjak ke
ruang sholat. Abah dan Umi sudah dalam posisi berdiri, siap memulai sholat.
Setelah dua kakak beradik itu bergabung dalam shaf, sholat subuh berjamaah pun
dimulai. Abah yang bertindak sebagai imam bacaan fatihahnya begitu fasih, setiap
huruf keluar dari makhorij-nya[1]
secara tepat. Juga mad, idhghom, izhar, dan hukum-hukum bacaan yang lainnya
terbaca sempurna.
Sholat terus berjalan dengan penuh kekhusyuan.
Semuanya benar-benar meresapi prosesi penghambaan diri yang penuh kekhidmatan
itu, hanya Fadli seorang yang masih terkantuk-kantuk. Ia menjaga kesadarannya
agar tidak jatuh tertidur ditengah sholat seperti yang dialaminya tempo hari.
Begitu salam, ia langsung ambruk, tertidur di pangkuan Adlan. Adlan
mendudukannya kembali.
“Baca doa dulu, baru dilanjutkan tidurnya.” Perintahnya.
Dengan penuh kantuk, Fadli pun melafalkan doa
andalannya,
“BismiLlahirrahmanirrahim, Robbighfirli wa
liwaalidayya warhamhuma kamaa robbayaani shoghiro, amin.” Lalu langsung ambruk
lagi ke pangkuan Adlan, tertidur pulas. Adlan mengelus rambut adiknya itu
dengan penuh kasih sayang.
Abah memimpin bacaan wirid, mulai dari aurod
ba’da sholat al maktubah,[2]
doa fajar, wirdul lathif lil imam al haddad, dan ditutup dengan hizbun nawawi.[3]Usai
wirid harian itu selesai dibaca, mereka saling bersalaman satu sama lain.
Abah lalu bersiap pergi ke kantor, sedangkan
Umi keluar membeli ponggol[4]
dan gorengan untuk sarapan pagi. Sementara itu, Adlan masih di dalam ruang
sholat dengan Fadli di pangkuannya. Ia masih memegang kitab wirid saku dalil al
muslim, berniat untuk meneruskan wiridnya dengan membaca hizib as-saiyfi.
Pikirnya, GMB di alam terbuka yang akan ia
ikuti sebentar lagi itu tidak mungkin selamanya aman. Binatang buas, binatang
beracun, jurang, dan kawasan berbahaya lainnya, semuanya ada di sana. Belum lagi
gangguan dari preman-preman desa setempat dan hal-hal halus yang biasanya
kental di area perhutanan seperti itu. Sebab itulah dia mempersiapkan penjagaan
diri yang kuat dengan membaca hizib[5]
tersebut, hizib yang ia dapatkan ijazahnya dari Kyai Hadi. Saat memberikan
ijazah hizib sayfi, Kyai Hadi berpesan agar tidak membacanya kecuali kalau
benar-benar dibutuhkan. Konon, barang siapa yang membaca hizib sayfi sampai
tuntas, dengan izin Allah dia akan mendapatkan penjagaan yang sangat kuat dari
segala marabahaya. Allah akan mengirim untuknya ribuan bahkan jutaan malaikat
sebagai penjaga.
Hal seperti itu memang bukanlah sesuatu yang
zahir yang bisa dilihat secara kasat mata, namun pengalamanlah yang menjadi
bukti atas benar tidaknya anggapan itu. Berkali-kali Adlan merasakan manfaat
hizib tersebut. Seperti saat kelas dua SMP, ketika dia sedang hiking
bersama teman-teman dan gurunya di salah satu gunung di Bumi Jawa, seekor
harimau loreng tiba-tiba muncul di hadapannya. Adlan terjatuh kaget, sementara
yang lainnya langsung kabur menyelamatkan diri. Ia benar-benar ketakutan. Ia
berpikir kalau saat itu adalah hari terakhirnya melihat dunia. Harimau lalu
mendekat. Bunyi nafasnya terdengar jelas, menggelegarkan suara yang
menyeramkan. Ketika harimau itu hendak menerkam, tiba-tiba saja hewan buas itu
lari ketakutan tanpa sebab yang jelas. Adlan menduga kalau hizib sayfi yang ia
baca sebelumnyalah penyebabnya.
Di saat yang lain, ketika Adlan pulang les
malam-malam melewati jalanan Dukuhwaru
yang gelap dan sepi, tiba-tiba ada tiga sepeda motor yang memepetnya
dari belakang, depan, dan samping, menggiringnya untuk menepi. Mau tak mau
Adlan pun menepikan motornya. Masing-masing sepeda motor yang memepetnya itu
dinaiki oleh dua orang dengan masker menutupi wajah sebatas hidung. Hanya mata
mereka yang terlihat jelas. Mereka memaksa Adlan untuk menyerahkan Smash-nya.
Adlan menolak. Salah satu begal itu lalu mengeluarkan pisau lipat dari belakang
celananya. Ketika dia menghujamkan pisau tersebut ke tubuh Adlan, entah kenapa
pisaunya malah terpelanting ke atas. Muka orang itu seketika berubah menjadi
pucat pasi, lebih pasi dari muka Adlan yang ketakutan. Orang itu kemudian lari
tunggang langgang meninggalkan motornya. Kelima kawannya pun ikut lari
ketakutan tanpa sebab yang jelas. Pikirnya, itu mungkin penjagaan yang Allah
berikan karena hizib sayfi yang ia baca dua hari sebelumnya.
Dan masih ada beberapa kejadian aneh yang
Adlan alami karena membaca hizib tersebut. Sepertinya Allah ingin menunjukkan
kekuasaanNya kepada Adlan dengan menghadapkannya kepada bahaya-bahaya yang
seharusnya mengantarkannya pada gerbang kematian, namun malah kemudian
diselamatkan dengan cara-cara yang luar biasa dan mengagumkan, cara-cara yang
tidak masuk akal.
Mungkin itulah salah satu dari berbagai sebab
yang menjadikan keberanian Adlan tumbuh semakin besar, tak takut dengan bahaya
apapun. Dengan seringnya dihadapkan pada marabahaya, lalu entah bagaimana
caranya dia bisa selamat, maka dia pun semakin yakin dengan penjagaan Allah.
Dia sangat percaya bahwa tak ada satu marabahaya pun yang bisa menyentuhnya
selama Allah tidak berkehendak. Ia sadar sepenuhnya akan nasihat yang pernah ia
dengar dari Kyai Hadi,
“Adlan, bertakwalah kepada Allah, takutlah hanya kepadaNya. Jangan
sekali-kali kamu takut pada marabahaya, karena marabahaya itu mahluk, sama
seperti kita. Buatlah marabahaya itu yang justru takut kepada kita dengan
ketakwaan dan rasa takut kita kepada Tuhan Pencipta marabahaya.”
@@@@
[1]Tempat
tempat di dalam mulut yang berfungsi sebagai sumber keluarnya huruf hija’iyah.
[2]Wirid
yang biasa dibaca setelah sholat lima waktu.
[3]Beberapa
kumpulan wirid yang biasa di baca oleh thoriqoh ‘Alawiyyin, lihat kitab dalil
al muslim milik al habib Hasan bin Ahmad Baaharun.
[4]Nasi
pincuk khas beberapa daerah di Tegal yang hanya tersedia di pagi hari.
Dijajakkan dalam keadaan masih hangat, dengan irisan tempe dan urap sebagai
pendampingnya.
[5]Hizib
merupakan rangkaian bacaan doa yang panjang. Selain dikemas dengan sastra Arab
yang tinggi, Biasanya hizib juga terdiri dari beberapa kutipan ayat al Quran
dan hadits nabi. Tergolong sebagai wirid yang keras, harus ada ijazah dari
seorang Mursyid (guru spiritual) jika ingin mengamalkannya.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar