“I know i can! Be wanna wanna be!”
Suara yel-yel terus diteriakkan. Sepuluh menit
sudah truk bak terbuka yang Adlan naiki bertolak dari Smansawi ke Suniarsih.
Itu adalah truk ketiga dari enam truk yang disewa panitia untuk mengangkut
semua peserta dan peralatan kemah.
Hari masih pagi, matahari hanya satu jengkal
terangkat di horizon timur. Baris pepohonan hijau di tepi jalan nampak begitu
rapi, menambah kesan kesejukan pagi itu. Jalanan tak seramai keadaan di dalam
bak truk yang semakin gaduh dengan ditabuhnya beberapa ember plastik sebagai
iringan yel-yel. Adlan berdiri di bagian paling depan, bagian atas kepala truk
tepat di hadapannya. Dia berpegangan pada sebuah besi yang menjadi kerangka
bak. Pandangannya terarah ke depan. Terpaan kencang angin jalanan membuat rambut
hitamnya tersibak-sibak ke belakang. Slayer hitam yang ia ikatkan di leher
berkelebat hebat melebihi kelebatan merah putih yang Senin lalu dierek ke
puncak tiang.
Memandangi suasana pagi dari atas truk yang
melaju 60 Km/jam lebih Adlan suka dari pada ikut-ikutan berkoar yel-yel dengan
teman-temannya. Sesekali ia melihat orang-orang di tepi jalan dengan
kesibukannya masing-masing. Ibu-ibu menggendong bakul berisi tempe mentah. Sekelompok
petani dengan topi yang terbuat dari anyaman bambu berjalan kaki menuju sawah
yang akan mereka garap. Para pedagang makanan pagi menjajakkan dagangannya di lapak
terbuka di pinggir jalan, ada yang menjual ponggol, serabi,[1]
apem,[2]
gorengan, ketupat sayur, dan bermacam-macam makanan khas lainnya.
Truk telah sampai di daerah Yomani. Jalanan
mulai menanjak, gas truk pun diinjak lebih dalam, membuat anak-anak yang berada
di dalam bak truk harus mengencangkan pegangannya. Koaran yel-yel terdengar
semakin melemah. Adlan masih sibuk memandangi suasana pagi. Kini pemandangan nampak
lebih hijau dari sebelumnya. Sawah-sawah terhampar luas di kanan kiri jalan.
Berpetak-petak padi yang masih hijau menari ke kanan dan ke kiri terhempas
hembusan angin. Matahari di ufuk timur menambah keelokan langit yang berhias
awan-awan tipis. Mulut Adlan tergerak, melafalkan ungkapan takjubnya, subhanaLllah.
Ia benar-benar terkagum melihat mahakarya Sang Pencipta. Kini mulutnya mulai
sibuk dengan lafaz sholawat. Hatinya terus mentadaburi alam sekitar. Raut
wajahnya seolah mengatakan, pelukis terhebat di bumi pun tak akan bisa
menandingi mahakarya Allah ini, walau hanya seujung kuku.
Truk terus berjalan melintasi jalanan
menanjak. Hanya gerung mesinnya yang terdengar dari dalam bak. Menderu-deru.
Anak-anak mulai bosan dengan yel-yelnya. Di antara mereka ada yang muntah-muntah,
mabuk kendaraan. Jalanan yang berkelok-kelok, naik turun, dan terkadang
terhempas lubang jalanan membuat mereka hanya bisa bersandar di dinding bak,
lemas. Selain kehilangan banyak asupan perut, mereka juga mengalami pusing dan masuk
angin parah.
Dari dua puluh lima anak, hanya tersisa lima
belas yang masih kuat berdiri tegak tak tertumbangkan oleh mabuk kendaraan,
salah satunya Adlan. Posisinya masih sama seperti saat truk pertama kali
bertolak. Lidahnya pun masih sibuk komat-kamit membaca sholawat, shollaLlah
‘ala Muhammad.
Truk memasuki kawasan Bojong. Terlihat
kesibukan pasar Bojong yang begitu padat. Penjual sayur-mayur, penjual ikan,
penjual buah-buahan, dan lainnya, semuanya menawar-nawarkan barang dagangannya
kepada setiap orang yang berlalu-lalang di pasar.
“Ikan, ikan, ikannya masih segar, Bu, silahkan
dipilih.” Promosi seorang penjual ikan saat seorang ibu-ibu berpakaian daster
orange melihat-lihat ikannya.
Kepadatan pasar tersebut tak ayal membuat
setiap kendaraan yang melintas harus menurunkan kecepatannya sampai pada batas
minimum, berjalan merayap, tak terkecuali truk yang Adlan naiki. Sesekali waktu
bahkan harus berhenti, mempersilahkan angkutan kol bak terbuka –angkutan umum
daerah tersebut- yang berputar arah, melintangi jalanan utama pasar.
Sepuluh menit kemudian truk pun berhasil
meloloskan diri dari keramaian pasar. Udara dingin khas pegunungan mulai
menyapa kulit. Langit yang sedari tadi cerah sekarang tertutup mendung kelabu.
Udara pun menjadi berkabut tipis, lembab.
Hamparan hijau perkebunan kol kini menjadi
suguhan lezat untuk mata Adlan. Di belahan bumi utara terlihat bagian Tegal
yang lebih rendah dari tempatnya berdiri sekarang. Adlan bisa melihat luas kota
dan kabupaten Tegal dengan jelas. Sedangkan di arah timur setinggi sepenggalahan
tombak, matahari nampak malu-malu mengintip dari balik awan kelabu.
Kini truk sampai di pertigaan Guci-Moga. Truk
mengambil lajur kiri, arah Suniarsih. Jalanannya lebih rusak dari sebelumnya, lubang-lubang
besar menganga hampir di sepanjang jalan. Truk terus bergoncang dahsyat.
Gerimis kecil perlahan membasahi jalanan. Sesekali ban belakang truk slip,
lepas cengkraman dengan aspal jalanan karena kondisinya yang basah. Pepohonan
di kanan kiri jalan semakin lebat. Hawa dingin semakin menyelimuti tubuh para
peserta GMB yang sebagiannya masih meringkuk lemas di dalam bak. Sejurus
kemudian truk tiba di gerbang bumi perkemahan bertulis Bumi Perkemahan
Martoloyo. Truk memasuki gerbang. Tepat setelah truk sempurna berhenti,
tiba-tiba hujan turun begitu deras, mengagetkan para peserta. Mereka turun dari
truk, berdesak-desakan, lari tunggang langgang ke aula Buper (Bumi Perkemahan),
satu-satunya bangunan di area tersebut yang memiliki atap untuk berteduh.
Sementara yang lain berlarian, Adlan berjalan
santai. Dugaannya benar, sesampainya di Suniarsih pasti akan turun hujan. Saat
truk masih di Yomani, ia melihat awan Cummolonimbus bergerak dari arah
laut di utara Tegal menuju ke selatan. Pikirnya, pasti awan itu akan terhenti
di daerah pegunungan, tak lama setelah itu pasti hujan akan turun di sana, dan
bukan tidak mungkin kalau Suniarsih menjadi salah satu sasaran guyuran hujan
tersebut. Maka, sebelum terkena serangan milyaran tentara air dari langit itu
Adlan telah mempersiapkan jas hujan sebagai tameng pelindung baginya dan bagi
ransel yang berisi pakean-pakean dan bekal pribadinya.
Sejak awal gerimis tadi, sebenarnya Adlan
sudah mengeluarkan jas hujannya dari dalam ransel. Sepatu dan kaos kakinya ia lepas,
dibungkus dengan kresek. Celana hitamnya juga ia lipat sampai sebatas lutut.
Begitu hujan turun, ia tak repot-repot lagi mempersiapkan segala sesuatunya.
Rasa panik pun tak mampu menguasainya. Dengan sigap dan tenang ia memakai jas
hujan saat semua lari terbirit-birit menghindari serangan langit itu. Ia
berjalan santai ke aula Buper. Setelah benar-benar aman dari guyuran hujan, ia
baru melepas jas hujannya. Sementara yang lain basah kuyup –termasuk tas ransel
yang mereka bawa- Adlan dan ranselnya tak sedikit pun tersentuh kuyup air
hujan.
Sembilan puluh enam orang berteduh di bawah
naungan aula tersebut, berlindung dari derasnya guyuran hujan gunung. Masih ada
tiga truk lagi yang belum sampai di Buper, termasuk truk yang ditumpangi
Aisyah.
Suara gemuruh guntur terus menggelegar. Angin
yang berhembus begitu kencang membuat guyuran hujan terkadang masuk membasahi
aula beserta orang-orang yang bernaung di sana. Perasaan Adlan tidak tenang. Ia
khawatir dengan keadaan Aisyah. Tak lama kemudian truk keempat datang. Begitu
pintu bak dibuka, para peserta turun dengan tertib, tidak panik seperti
rombongan sebelumnya. Mereka telah mengenakan jas hujan. Adlan melihat Aisyah
di antara peserta yang turun dari truk itu. Adlan lega Aisyah baik-baik saja.
Jas hujan warna hijau yang Aisyah kenakan nampaknya tak hanya melindunginya
dari terpaan hujan yang sangat deras, namun juga melindungi hati Adlan dari
hujaman-hujaman anak panah kekhawatiran.
@@@@
Setelah sholat asar di mushola terdekat, Adlan
kembali ke tendanya. Kelima temannya, Fajrul, Budi, Adit, Rizki, dan Dinar
masih tertidur pulas setelah bersusah payah mendirikan tenda dua jam lalu.
Tenda mulai didirikan semenjak hujan reda.
Dengan kerjasama tim yang kompak, Adlan dan kelima temannya hanya membutuhkan
waktu dua puluh menit untuk merangkai kerangka tenda yang terbuat dari bambu,
menalinya, mematok pasak, sampai tenda berdiri sempurna. Sebagai langkah akhir,
di dalam tenda dihamparkan tikar berlapis terpal sebagai alas. Selesai. Mereka
menjadi kelompok tercepat dalam mendirikan tenda. Sambil menunggu instruksi
berikutnya dari kakak kelas panitia GMB, mereka ngobrol di dalam tenda,
bercerita pengalaman menarik masing-masing saat
SMP, terutama yang berkaitan dengan camping. Hawa dingin gunung
membuat satu persatu dari mereka terkantuk, untuk kemudian rasa capek yang
menghinggap bisa dengan mudah mengeksekusi kesadaran mereka. Di ronde terakhir
hanya tersisa Adlan dan Rizki, namun akhirnya Rizki pun tumbang, menyerah
dengan rasa kantuk.
Tak lama kemudian suara azan asar terdengar
dari arah pemukiman di utara Buper. Demi menjalankan perintah RasuluLlah yang
termaktub dalam hadis, assholatu ‘ala waqtiha,[3]sholatlah
tepat pada waktunya (waktu awalnya sebagai afdholul awqot sholat
maktubah),[4]
Adlan meminta izin kepada Kak Gilang untuk menunaikan sholat terlebih dahulu.
Sekembalinya dari mushola, Adlan melihat dua
kelompok yang masih belum berhasil menegakkan tenda. Salah satunya kelompok
yang dikomandoi Aisyah. Sejenak terbesit niatnya untuk membantu, namun ia
urungkan.
Tidak ada anak laki-laki lain yang
bisa kuajak untuk membantu mereka, aku akan grogi dan malu jika berada di
antara kelompok putri sendirian, gumamnya.
Akhirnya ia pun melanjutkan langkah menuju ke
tendanya, membangunkan kelima temannya untuk sholat asar, lalu bersiap untuk
mandi di kamar mandi buper.
@@@@
Langit barat mulai tersapu kuas merah
lembayung senja. Kini keadaan langit tak semendung tadi, meski masih menyisakan
beberapa kumpulan awan tipis yang bergelombang. Hujan deras menyisakan
genangan-genangan air di beberapa bagian Buper, termasuk lapangan utamanya.
Rerumputan basah menjadi lantai hijau yang menutupi seluruh permukaan Buper.
Udaranya sangat lembab. Tetesan-tetesan air bergelantungan di pucuk-pucuk daun
seperti mutiara kaca. Tenda-tenda parasut basah di bagian luar. Beberapa kakak
kelas terlihat sibuk menentukan arah kiblat di lapangan utama Buper. Sementara
itu sebagian besar peserta dan panitia sibuk mempersiapkan diri untuk mengikuti
sholat maghrib berjamaah yang akan diadakan di lapangan utama.
Antrian wudu terlihat begitu panjang. Beberapa
di antara mereka sudah ada yang duduk di lapangan, beralaskan tikar dan
sajadah, menunggu azan maghrib. Lampu-lampu utama mulai dinyalakan guna
menerangi Buper. Suara diesel sebagai sumber utama listrik Buper terdengar berisik,
bersaing dengan keramaian peserta yang
saling bercakap-cakap.
“Cek. Cek. Satu, dua, dicoba.” suara sound
system menggelegar berat, memenuhi udara Buper dan sekitarnya. Tak lama
kemudian azan maghrib dikumandangkan. Empat salon besar yang mengarah ke komplek
perkemahan melenguhkan lafaz-lafaz azan. Para peserta dan panitia berbaur
menjadi satu di dalam barisan-barisan lurus beralas terpal, tikar, dan sajadah
menghadap kiblat. Shaf putri berada di belakang shaf putra.
Sholat maghrib dimulai. Pak Somari, salah satu
guru agama islam di Smansawi yang ikut mendampingi acara GMB berdiri di tempat
pengimaman. Suaranya yang tersambung dengan sound system mengalun pelan
merambati shaf demi shaf. Serak suara tuanya terdengar begitu adem saat membaca
Fatihah.
Adlan yang berada di shaf ketiga sangat
menghayati sholatnya. Matanya ia pejamkan. Ketika ruku, ia merasakan alam
sekitar seolah ikut merunduk takluk di hadapan Sang Pencipta. Saat sujud, bau
basah rerumputan tercium begitu segar menembus sajadahnya, menambah rasa khusyu
dan ketenangan jiwa.
Keheningan alam sekitar membuat suara Pak
Somari yang terpancar melalui empat pengeras suara terdengar jernih, tak ada
latar belakang suara apapun –selain suara diesel yang terdengar lemah di
kejauhan sana. Semilir lembut angin gunung membelai wajah para jamaah sholat.
Mereka semakin tenggelam dalam nikmat penghambaan yang begitu agung. Kelezatan
hidangan langit di awal petang itu seolah memberikan ruh baru bagi dahaga
jiwa-jiwa yang kering kerontang. Ayat demi ayat, tasbih demi tasbih, dan doa
demi doa terus teruntai indah melalui lisan-lisan para hamba yang lemah untuk
dipersembahkan kepada Tuhannya.
Tak terasa sholat maghrib telah tiba di
penghujung rukun. Salam pun terucap sebagai penutup ritual suci penuh makna
tersebut. Adlan sangat bersyukur bisa diberi kesempatan merasakan betapa lezatnya menghadap Tuhan semesta alam
di alamnya langsung. Rangkaian wirid kemudian mewarnai kegiatan berikutnya.
Setelah jeda beberapa menit untuk sholat
ba’diyah maghrib, acara dilanjutkan dengan santapan rohani oleh Pak Somari.
Sholat isya berjamaah kemudian menutup rangkaian kegiatan keagamaan petang itu.
Para peserta diinstruksikan untuk kembali ke tenda masing-masing guna
mempersiapkan diri mengikuti firecamp.
@@@@
Di tengah-tengah lapangan telah tertumpuk
gunungan kayu bakar yang dibawa dari Smansawi. Lebih dari dua ratus orang yang
terdiri dari peserta, panitia, dan guru pendamping duduk mengelilingi gunungan
tersebut. Setelah serangkaian upacara penyalaan api, kini tiba saatnya bagi sepuluh
komandan kompi untuk menyalakan api unggun.
Dari penjuru yang berbeda-beda mereka melangkah tegap secara bersamaan,
mendekati gunungan kayu. Setelah benar-benar dekat, masing-masing komandan
kompi meletakkan obor yang mereka bawa
pada gunungan kayu. Tak butuh waktu lama, kayu-kayu yang telah disirami bensin
sebelumnya itu langsung menjalarkan api ke semua bagian gunungan. Api
berkobar-kobar sangat hebat. Kesepuluh komandan kompi seketika menjauh dari kobaran
raksasa itu.
Para peserta yang duduk di belakang garis
batas api unggun mulai merasakan kehangatan, menyusup di sela-sela pakaian yang
mereka kenakan. Dingin yang sedari tadi mendekap erat tubuh mereka –karena
panitia melarang peserta memakai jaket- perlahan melepas dekapannya.
“Api kita sudah menyala, api kita sudah
menyala, api,.. api,.. api,..”
Salah seorang kakak kelas memimpin nyanyian
api unggun dengan sebuah megaphone. Para peserta mengikutinya dengan
serempak diiringi irama tepukan tangan. Kehangatan api unggun tak hanya
menghangatkan tubuh mereka, namun juga memberi kenyamanan bagi suasana hati.
Kak Ali Husen kini memimpin acara. Dengan
cerdas ia membawa para peserta larut dalam sebuah outdoor game ringan
yang ia buat. Gelak tawa dan saling teriak pun meramaikan lapangan utama. Kini Kak
Ali Husen memberikan komando agar setiap regu mempersiapkan diri untuk
menampilkan sebuah pentas seni, entah itu menyanyi, menari, puisi, atau yang
lainnya.
Sembari persiapan, seksi konsumsi membagikan
nasi bungkus dan segelas air mineral kepada semua peserta sebagai makan malam. Mereka langsung
menyantapnya, setiap orang benar-benar menikmati suguhan sederhana itu –nasi,
sambal goreng tempe, sambal terasi, dan bihun. Suasana hangat api unggun dan
indahnya kebersamaan membuat kelezatan makanan yang mereka santap semakin
terasa. Ditambah lagi rasa lapar
semikronis yang disebabkan hawa dingin, sempurnalah sudah menu sesederhana itu
menjadi selevel masakan restoran berbintang.
Seperempat jam berselang satu persatu regu
maju menampilkan kebolehannya. Tepuk tangan yang begitu ramai terus terdengar
secara periodik, membahana memenuhi atmosfer alam perkemahan tersebut.
Rangkaian acara api unggun berlangsung sampai jam sepuluh malam. Seusai acara,
peserta diminta untuk langsung beristirahat di tenda masing-masing.
@@@@
“Nis, Nisa, bangun Nis! Temani aku ke toilet! Aku
takut keluar sendirian.” Aisyah menepuk-nepuk lengan Anisa.
Anisa tetap meringkuk nyaman dalam dekapan
selimutnya. Berkali-kali Aisyah membangunkan Anisa namun tetap saja gagal.
Kelima temannya yang lain pun lebih memilih untuk meneruskan tidur dalam suhu
sedingin itu. Perut Aisyah semakin melilit. Nampaknya sambal yang menjadi salah
satu menu makan malam tadi mulai bereaksi pada perutnya. Ia tak biasa dengan
menu makanan pedas seperti itu. Akhirnya ia pun memberanikan diri keluar tenda,
pergi ke toilet di bagian pojok timur Buper.
Aisyah melihat jam tangannya. Jam satu pagi.
Ia menyusuri komplek tenda putri, menembus udara pagi yang dingin dan berkabut.
Hanya ada beberapa kakak kelas laki-laki di dekat api unggun yang masih menyala
dengan nyala yang jauh lebih kecil dari semula. Mereka nampaknya sedang
membakar jagung. Aisyah terus berjalan menuju toilet Buper. Sesampainya di
toilet ternyata airnya kosong, kerannya pun mati. Tiga toilet di sampingnya
juga bernasib sama. Aisyah segera menyambangi kakak-kakak kelasnya di pinggir
api unggun.
“Kak, apa ada toilet lain selain toilet
Buper?” Tanya Aisyah.
“Memangnya kenapa, Dik?” Respon salah satu
kakak kelas.
“Kolamnya kosong, kerannya juga mati.”
“Astaga! Sepertinya seksi peralatan belum
merefill tandon air. Kamu pergi saja keluar Buper. Dari gerbang Buper kamu ambil
kiri. Setelah kurang lebih dua ratus meter ada pertigaan, kamu ambil kanan.
Seratus meter dari situ ada musholla, di situ ada toiletnya. Kamu berani ke
sana sendirian apa mau Kakak temani?”
Aisyah diam sejenak. Mana yang harus ia
korbankan, rasa malu atau rasa takutnya?
“Aku bisa ke sana sendiri, Kak. Terimakasih.”
Aisyah lebih memilih mengorbankan rasa takutnya dari pada harus ditemani
laki-laki untuk buang air besar. Ia pun beranjak meninggalkan kelima kakak
kelasnya yang masih sibuk dengan jagung bakarnya.
Aisyah keluar dari gerbang Buper. Sesuai
dengan yang diberitahukan kakak kelasnya tadi, ia ambil jalan ke kiri.
Pepohonan begitu rindang berjejer di pinggir jalan. Hanya satu dua lampu lima
wat yang dipasang seadanya oleh warga sekitar agar jalanan tak sepenuhnya
gelap. Udara sangat dingin. Aisyah mengeratkan dekapannya dalam-dalam. Setiap nafas
yang ia hembuskan menjadi kepulan asap yang amat jelas terlihat di bawah
terpaan lampu.
Hanya ada dua rumah yang Aisyah lihat di dua
ratus meter pertama. Di pertigaan, perumahan penduduk tak selangka tadi. Namun
demikian tak ada satu orang pun yang keluar rumah. Benar-benar sepi. Setelah
berjalan kurang lebih dua puluh lima meter dari pertigaan, Aisyah melihat
warung yang masih buka. Ada tiga pemuda yang sedang asyik bermain remi. Di
hadapan mereka tersuguh dua botol minuman keras. Begitu melihat Aisyah melintas
mereka langsung saja menggodanya,
“Hai cantik, mau ke mana pagi-pagi buta
seperti ini? Mending gabung sama kita-kita di sini.”
Mereka lalu tertawa terbahak-bahak. Aisyah
mempercepat langkahnya meninggalkan tiga pemuda mabuk itu.
Setelah beberapa meter akhirnya ia pun sampai
di mushola yang dituju. Ia melihat ada sepasang sepatu hitam di teras depan
mushola. Aisyah menyempatkan diri melihat sekilas pandang ke dalam mushola.
Seorang berjaket silver dengan sarung warna biru sedang berdiri menghadap kiblat.
Aisyah segera melanjutkan langkahnya ke toilet, perutnya sudah tak bisa lagi
diajak kompromi.
Lima belas menit kemudian Aisyah keluar. Alhamdulillah,
lega, gumamnya pelan. Ia segera pulang ke perkemahan lewat jalan yang sama.
Saat melewati warung, ketiga pemuda tadi sudah tidak lagi di situ. Mungkin
sudah bosan dengan reminya lalu pulang ke rumah masing-masing, pikir
Aisyah. Saat Aisyah sampai di pertigaan, ia merasa seperti ada yang
mengikutinya.
“Astaghfirullah, ini pasti cuma perasaanku
saja. Mana ada hantu yang iseng bangun jam satu pagi? Kurang kerjaan.” Aisyah
berusaha menguatkan keberanian dalam dirinya.
Tiba-tiba Aisyah didekap kencang dari
belakang. Mulutnya dibekap. Teriakannya hanya terdengar dari jarak dua meter
saja. Tiga pemuda mabuk yang Aisyah kira sudah pulang ke rumah masing-masing
tadi ternyata mengikutinya. Kini mereka hendak berniat jahat padanya. Mulut
Aisyah disumpal dan diikat kencang dengan kain. Benar-benar tertutup rapat.
Aisyah terus meronta sekuat tenaga, namun kekuatan seorang gadis seperti dirinya
sungguh tak sebanding dengan kekuatan tiga orang pemuda sekaligus. Aisyah lalu
direbahkan paksa di atas jalan yang basah. Seorang merobek paksa rok yang ia
kenakan, sementara dua yang lain terus memegangi tangan Aisyah kuat-kuat.
Aisyah masih belum menyerah. Kakinya menendang
bagian vital pemuda yang telah bersiap merenggut kehormatannya itu. Pemuda itu
meraung kesakitan. Aisyah lalu mendapatkan sebuah tamparan yang sangat keras
sebagai balasannya. Pelipis kiri Aisyah pecah. Darah segar pun keluar.
Kesadarannya seakan mau hilang, namun tetap ia pertahankan agar bisa terus
melawan. Lelaki itu mencoba melepas satu-satunya penutup bagian paling vital
yang masih tersisa di tubuh Aisyah.
DZUGG!!!
Tiba-tiba sebuah bogem mentah mendarat sangat
keras di pelipis kanan laki-laki itu. Seketika ia pun terjerembab tak sadarkan
diri.
“Preman mental tempe! Sama perempuan saja
kroyokan!” Hardik Adlan.
Satu orang melangkah maju. Pukulan ia
layangkan ke wajah Adlan. Dengan sigap Adlan merunduk lalu memukul perut pemuda
itu dengan sangat keras. Pemuda itu merunduk-runduk kesakitan. Tanpa jeda,
tendangan berputar Adlan langsung dilayangkan, melayang sangat keras tepat
mengenai wajah bagian kiri preman kampung itu, membuatnya jatuh terguling
sampai tak sadarkan diri.
Orang terakhir kemudian melepaskan Aisyah. Ia
mengambil botol minuman keras yang tadi ia taruh begitu saja di pinggir jalan.
Ia benturkan botol itu ke sebuah pohon sampai pecah, membentuk ujung-ujung
beling yang tajam. Ia menghampiri Adlan, menyabet-nyabetkan botol pecah itu
secara membabi buta. Adlan kesulitan menghindari serangannya. Lengan kiri Adlan
terkena salah satu sabetan. Darah segar merembes dari jaket silvernya.
“Adlan!” Aisyah berteriak histeris, khawatir
melihat keadaan Adlan.
Adlan berusaha sebisa mungkin membuat dirinya
tenang. Ia meningkatkan konsentrasinya. Sejurus kemudian ia melompat setinggi
kepala. Kaki kirinya ia layangkan tepat mengenai botol yang tergenggam erat
hingga terpental ke atas. Dalam lompatan itu juga kaki kanan Adlan yang telah
mengambil ancang-ancang lebih panjang diayunkan tepat menghantam dagu sang
lawan. Adlan mendarat dengan kedua kakinya. Lawannya terjatuh tepat ketika
botol pecah itu menyentuh tanah. Kecepatan gerak, ketepatan serangan, dan
reflek sigap yang Adlan miliki membuatnya tak terlalu sulit menumbangkan ketiga
lawannya dalam waktu yang relatif singkat.
Adlan melihat Aisyah masih terduduk menutupi
auratnya. Roknya benar-benar telah koyak, sedikit saja berdiri maka auratnya
akan tersingkap. Adlan memberikan sarung birunya yang sejak tadi terselempang
di pundak. Ia memalingkan pandangan saat memberikan sarung tersebut. Aisyah
menerimanya. Ia tutupkan sarung itu rapat-rapat membungkus auratnya.
“Ayo cepat kita ke Buper!” Ajak Adlan.
“Tunggu dulu!” Sergah Aisyah menahan langkah
Adlan.
Ia menyobek bagian bawah roknya yang koyak,
lalu mendekati Adlan dengan membawa sobekan tersebut.
“Apa yang mau kamu lakukan?” Adlan kaget
melihat Aisyah mendekatinya.
“Tenang, aku tak akan berbuat macam-macam
kok.” Jelas Aisyah.
Ia meraih tangan kiri Adlan, mengikat
lengannya yang robek dengan sobekan rok tadi. Adlan memperhatikan wajah Aisyah,
sayup-sayup diterpa cahaya lampu lima wat. Darah di lengan kiri Adlan pun
berhenti keluar.
“Terimakasih.” Ucap Adlan lirih.
“Tidak, aku yang berterimakasih.” Sergah
Aisyah.
Pandangan mereka lalu bertemu dalam jarak yang
begitu dekat. Sejenak mereka saling tatap. Kemudian wajah mereka saling
mendekat, semakin dan semakin dekat.
“Astaghfirullah! Ayo cepat kita ke Buper!”
Adlan segera mengusir godaan setan itu. Godaan
berat yang datang dari seorang perempuan dengan paras wajah perfect, di
waktu, tempat, dan kesempatan yang juga perfect. Adlan bersyukur karena
bisa tersadar sebelum kesucian bibirnya ternodai dengan ciuman kotor penuh nafsu
yang jelas-jelas diharamkan oleh Allah. Ia tak mungkin bisa menolaknya jika
tanpa pertolongan dari Allah SWT.
Adlan lalu berjalan cepat di depan. Aisyah
mengikutinya di belakang. Mereka hanya saling diam. Tak satu pun kalimat keluar
dari mulut keduanya. Jalanan begitu sepi, hanya suara langkah mereka yang
terdengar berderap-derap.
“Sejak kapan kamu bisa bela diri?” Tanya
Aisyah mengusir kesenyapan.
“Aku sudah sabuk hitam sejak kelas sembilan.
Kamu memangnya mau apa pagi-pagi buta begini keluyuran di luar Buper?” Adlan
menekan nada suaranya, agak jengkel dengan apa yang Aisyah lakukan, keluyuran.
“Perutku sakit, toilet Buper tidak ada airnya,
kakak kelas menunjukkanku mushola di luar Buper yang ada toiletnya, lalu akupun
pergi ke sana.”
“Kenapa tidak minta ditemani kakak kelas?”
Mempercepat langkah.
“Aku malu, mau buang air besar masa minta
diantar anak laki-laki?”
Adlan diam seribu bahasa. Dia tak menemukan
alasan lagi untuk meneruskan rasa marahnya kepada Aisyah. Tapi hatinya masih
jengkel, bukan kepada Aisyah, melainkan kepada kakak kelas yang membiarkan
Aisyah keluar Buper sendirian.
Mereka terus berjalan menyusuri jalanan sepi
berkabut. Hanya tinggal beberapa meter lagi sampai di gerbang Buper.
“Adlan, maaf yah?”
“Maaf kenapa?”
“Gara-gara aku kamu terluka.”
Adlan terdiam. Sejenak kemudian, lirih
suaranya berkata,
“Bahkan luka yang lebih besar dari ini pun aku
rela, asal kamu baik-baik saja, Aisyah.”
“Apa? Kamu bilang apa barusan?” Aisyah
mempercepat langkahnya, berusaha mendekat.
“Aku tak bilang apa-apa kok.” Sangkal Adlan.
“Oh, ya sudah.” Aisyah kecewa. Mungkin cuma
perasaanku saja, gumamnya dalam hati.
Mereka akhirnya sampai di bumi perkemahan.
Aisyah dan Adlan segera menuju ke barak kesehatan untuk mendapatkan pertolongan
pertama. Adlan dengan lengan kirinya, dan Aisyah dengan pelipis kirinya.
@@@@
[1]Serabi,
kue basahan yang diberi kuah santan. Rasa dasarnya gurih, dan bertambah nikmat
dengan perpaduan santannya.
[2]Apem,
kue basahan dengan rasa manis. Biasanya berwarna merah jambu, ada juga yang
berwarna cokelat. Rasanya semakin manis dan nikmat karena penyajiannya
disandingkan dengan air gula merah.
[3]Maktabah
Syamilah, Kitab Fathul bari li ibni rojab, bab Assholah, juz 4, hal 17.
[4]Taqrirot
as Sadidah, as Sayyid Hasan bin Ahmad al Kaf.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar