Rabu, 19 Juli 2017

7. Luka yang Lebih Besarpun Aku Rela



“I know i can! Be wanna wanna be!”
Suara yel-yel terus diteriakkan. Sepuluh menit sudah truk bak terbuka yang Adlan naiki bertolak dari Smansawi ke Suniarsih. Itu adalah truk ketiga dari enam truk yang disewa panitia untuk mengangkut semua peserta dan peralatan kemah.
Hari masih pagi, matahari hanya satu jengkal terangkat di horizon timur. Baris pepohonan hijau di tepi jalan nampak begitu rapi, menambah kesan kesejukan pagi itu. Jalanan tak seramai keadaan di dalam bak truk yang semakin gaduh dengan ditabuhnya beberapa ember plastik sebagai iringan yel-yel. Adlan berdiri di bagian paling depan, bagian atas kepala truk tepat di hadapannya. Dia berpegangan pada sebuah besi yang menjadi kerangka bak. Pandangannya terarah ke depan. Terpaan kencang angin jalanan membuat rambut hitamnya tersibak-sibak ke belakang. Slayer hitam yang ia ikatkan di leher berkelebat hebat melebihi kelebatan merah putih yang Senin lalu dierek ke puncak tiang.
Memandangi suasana pagi dari atas truk yang melaju 60 Km/jam lebih Adlan suka dari pada ikut-ikutan berkoar yel-yel dengan teman-temannya. Sesekali ia melihat orang-orang di tepi jalan dengan kesibukannya masing-masing. Ibu-ibu menggendong bakul berisi tempe mentah. Sekelompok petani dengan topi yang terbuat dari anyaman bambu berjalan kaki menuju sawah yang akan mereka garap. Para pedagang makanan pagi menjajakkan dagangannya di lapak terbuka di pinggir jalan, ada yang menjual ponggol, serabi,[1] apem,[2] gorengan, ketupat sayur, dan bermacam-macam makanan khas lainnya.
Truk telah sampai di daerah Yomani. Jalanan mulai menanjak, gas truk pun diinjak lebih dalam, membuat anak-anak yang berada di dalam bak truk harus mengencangkan pegangannya. Koaran yel-yel terdengar semakin melemah. Adlan masih sibuk memandangi suasana pagi. Kini pemandangan nampak lebih hijau dari sebelumnya. Sawah-sawah terhampar luas di kanan kiri jalan. Berpetak-petak padi yang masih hijau menari ke kanan dan ke kiri terhempas hembusan angin. Matahari di ufuk timur menambah keelokan langit yang berhias awan-awan tipis. Mulut Adlan tergerak, melafalkan ungkapan takjubnya, subhanaLllah. Ia benar-benar terkagum melihat mahakarya Sang Pencipta. Kini mulutnya mulai sibuk dengan lafaz sholawat. Hatinya terus mentadaburi alam sekitar. Raut wajahnya seolah mengatakan, pelukis terhebat di bumi pun tak akan bisa menandingi mahakarya Allah ini, walau hanya seujung kuku.
Truk terus berjalan melintasi jalanan menanjak. Hanya gerung mesinnya yang terdengar dari dalam bak. Menderu-deru. Anak-anak mulai bosan dengan yel-yelnya. Di antara mereka ada yang muntah-muntah, mabuk kendaraan. Jalanan yang berkelok-kelok, naik turun, dan terkadang terhempas lubang jalanan membuat mereka hanya bisa bersandar di dinding bak, lemas. Selain kehilangan banyak asupan perut, mereka juga mengalami pusing dan masuk angin parah.
Dari dua puluh lima anak, hanya tersisa lima belas yang masih kuat berdiri tegak tak tertumbangkan oleh mabuk kendaraan, salah satunya Adlan. Posisinya masih sama seperti saat truk pertama kali bertolak. Lidahnya pun masih sibuk komat-kamit membaca sholawat, shollaLlah ‘ala Muhammad.
Truk memasuki kawasan Bojong. Terlihat kesibukan pasar Bojong yang begitu padat. Penjual sayur-mayur, penjual ikan, penjual buah-buahan, dan lainnya, semuanya menawar-nawarkan barang dagangannya kepada setiap orang yang berlalu-lalang di pasar.
“Ikan, ikan, ikannya masih segar, Bu, silahkan dipilih.” Promosi seorang penjual ikan saat seorang ibu-ibu berpakaian daster orange melihat-lihat ikannya.
Kepadatan pasar tersebut tak ayal membuat setiap kendaraan yang melintas harus menurunkan kecepatannya sampai pada batas minimum, berjalan merayap, tak terkecuali truk yang Adlan naiki. Sesekali waktu bahkan harus berhenti, mempersilahkan angkutan kol bak terbuka –angkutan umum daerah tersebut- yang berputar arah, melintangi jalanan utama pasar.
Sepuluh menit kemudian truk pun berhasil meloloskan diri dari keramaian pasar. Udara dingin khas pegunungan mulai menyapa kulit. Langit yang sedari tadi cerah sekarang tertutup mendung kelabu. Udara pun menjadi berkabut tipis, lembab.
Hamparan hijau perkebunan kol kini menjadi suguhan lezat untuk mata Adlan. Di belahan bumi utara terlihat bagian Tegal yang lebih rendah dari tempatnya berdiri sekarang. Adlan bisa melihat luas kota dan kabupaten Tegal dengan jelas. Sedangkan di arah timur setinggi sepenggalahan tombak, matahari nampak malu-malu mengintip dari balik awan kelabu.
Kini truk sampai di pertigaan Guci-Moga. Truk mengambil lajur kiri, arah Suniarsih. Jalanannya lebih rusak dari sebelumnya, lubang-lubang besar menganga hampir di sepanjang jalan. Truk terus bergoncang dahsyat. Gerimis kecil perlahan membasahi jalanan. Sesekali ban belakang truk slip, lepas cengkraman dengan aspal jalanan karena kondisinya yang basah. Pepohonan di kanan kiri jalan semakin lebat. Hawa dingin semakin menyelimuti tubuh para peserta GMB yang sebagiannya masih meringkuk lemas di dalam bak. Sejurus kemudian truk tiba di gerbang bumi perkemahan bertulis Bumi Perkemahan Martoloyo. Truk memasuki gerbang. Tepat setelah truk sempurna berhenti, tiba-tiba hujan turun begitu deras, mengagetkan para peserta. Mereka turun dari truk, berdesak-desakan, lari tunggang langgang ke aula Buper (Bumi Perkemahan), satu-satunya bangunan di area tersebut yang memiliki atap untuk berteduh.
Sementara yang lain berlarian, Adlan berjalan santai. Dugaannya benar, sesampainya di Suniarsih pasti akan turun hujan. Saat truk masih di Yomani, ia melihat awan Cummolonimbus bergerak dari arah laut di utara Tegal menuju ke selatan. Pikirnya, pasti awan itu akan terhenti di daerah pegunungan, tak lama setelah itu pasti hujan akan turun di sana, dan bukan tidak mungkin kalau Suniarsih menjadi salah satu sasaran guyuran hujan tersebut. Maka, sebelum terkena serangan milyaran tentara air dari langit itu Adlan telah mempersiapkan jas hujan sebagai tameng pelindung baginya dan bagi ransel yang berisi pakean-pakean dan bekal pribadinya.
Sejak awal gerimis tadi, sebenarnya Adlan sudah mengeluarkan jas hujannya dari dalam ransel. Sepatu dan kaos kakinya ia lepas, dibungkus dengan kresek. Celana hitamnya juga ia lipat sampai sebatas lutut. Begitu hujan turun, ia tak repot-repot lagi mempersiapkan segala sesuatunya. Rasa panik pun tak mampu menguasainya. Dengan sigap dan tenang ia memakai jas hujan saat semua lari terbirit-birit menghindari serangan langit itu. Ia berjalan santai ke aula Buper. Setelah benar-benar aman dari guyuran hujan, ia baru melepas jas hujannya. Sementara yang lain basah kuyup –termasuk tas ransel yang mereka bawa- Adlan dan ranselnya tak sedikit pun tersentuh kuyup air hujan.
Sembilan puluh enam orang berteduh di bawah naungan aula tersebut, berlindung dari derasnya guyuran hujan gunung. Masih ada tiga truk lagi yang belum sampai di Buper, termasuk truk yang ditumpangi Aisyah.
Suara gemuruh guntur terus menggelegar. Angin yang berhembus begitu kencang membuat guyuran hujan terkadang masuk membasahi aula beserta orang-orang yang bernaung di sana. Perasaan Adlan tidak tenang. Ia khawatir dengan keadaan Aisyah. Tak lama kemudian truk keempat datang. Begitu pintu bak dibuka, para peserta turun dengan tertib, tidak panik seperti rombongan sebelumnya. Mereka telah mengenakan jas hujan. Adlan melihat Aisyah di antara peserta yang turun dari truk itu. Adlan lega Aisyah baik-baik saja. Jas hujan warna hijau yang Aisyah kenakan nampaknya tak hanya melindunginya dari terpaan hujan yang sangat deras, namun juga melindungi hati Adlan dari hujaman-hujaman anak panah kekhawatiran.
@@@@
Setelah sholat asar di mushola terdekat, Adlan kembali ke tendanya. Kelima temannya, Fajrul, Budi, Adit, Rizki, dan Dinar masih tertidur pulas setelah bersusah payah mendirikan tenda dua jam lalu.
Tenda mulai didirikan semenjak hujan reda. Dengan kerjasama tim yang kompak, Adlan dan kelima temannya hanya membutuhkan waktu dua puluh menit untuk merangkai kerangka tenda yang terbuat dari bambu, menalinya, mematok pasak, sampai tenda berdiri sempurna. Sebagai langkah akhir, di dalam tenda dihamparkan tikar berlapis terpal sebagai alas. Selesai. Mereka menjadi kelompok tercepat dalam mendirikan tenda. Sambil menunggu instruksi berikutnya dari kakak kelas panitia GMB, mereka ngobrol di dalam tenda, bercerita pengalaman menarik masing-masing saat  SMP, terutama yang berkaitan dengan camping. Hawa dingin gunung membuat satu persatu dari mereka terkantuk, untuk kemudian rasa capek yang menghinggap bisa dengan mudah mengeksekusi kesadaran mereka. Di ronde terakhir hanya tersisa Adlan dan Rizki, namun akhirnya Rizki pun tumbang, menyerah dengan rasa kantuk.
Tak lama kemudian suara azan asar terdengar dari arah pemukiman di utara Buper. Demi menjalankan perintah RasuluLlah yang termaktub dalam hadis, assholatu ‘ala waqtiha,[3]sholatlah tepat pada waktunya (waktu awalnya sebagai afdholul awqot sholat maktubah),[4] Adlan meminta izin kepada Kak Gilang untuk menunaikan sholat terlebih dahulu.
Sekembalinya dari mushola, Adlan melihat dua kelompok yang masih belum berhasil menegakkan tenda. Salah satunya kelompok yang dikomandoi Aisyah. Sejenak terbesit niatnya untuk membantu, namun ia urungkan.
Tidak ada anak laki-laki lain yang bisa kuajak untuk membantu mereka, aku akan grogi dan malu jika berada di antara kelompok putri sendirian, gumamnya.
Akhirnya ia pun melanjutkan langkah menuju ke tendanya, membangunkan kelima temannya untuk sholat asar, lalu bersiap untuk mandi di kamar mandi buper.
@@@@
Langit barat mulai tersapu kuas merah lembayung senja. Kini keadaan langit tak semendung tadi, meski masih menyisakan beberapa kumpulan awan tipis yang bergelombang. Hujan deras menyisakan genangan-genangan air di beberapa bagian Buper, termasuk lapangan utamanya. Rerumputan basah menjadi lantai hijau yang menutupi seluruh permukaan Buper. Udaranya sangat lembab. Tetesan-tetesan air bergelantungan di pucuk-pucuk daun seperti mutiara kaca. Tenda-tenda parasut basah di bagian luar. Beberapa kakak kelas terlihat sibuk menentukan arah kiblat di lapangan utama Buper. Sementara itu sebagian besar peserta dan panitia sibuk mempersiapkan diri untuk mengikuti sholat maghrib berjamaah yang akan diadakan di lapangan utama.
Antrian wudu terlihat begitu panjang. Beberapa di antara mereka sudah ada yang duduk di lapangan, beralaskan tikar dan sajadah, menunggu azan maghrib. Lampu-lampu utama mulai dinyalakan guna menerangi Buper. Suara diesel sebagai sumber utama listrik Buper terdengar berisik, bersaing dengan keramaian peserta  yang saling bercakap-cakap.
“Cek. Cek. Satu, dua, dicoba.” suara sound system menggelegar berat, memenuhi udara Buper dan sekitarnya. Tak lama kemudian azan maghrib dikumandangkan. Empat salon besar yang mengarah ke komplek perkemahan melenguhkan lafaz-lafaz azan. Para peserta dan panitia berbaur menjadi satu di dalam barisan-barisan lurus beralas terpal, tikar, dan sajadah menghadap kiblat. Shaf putri berada di belakang shaf putra.
Sholat maghrib dimulai. Pak Somari, salah satu guru agama islam di Smansawi yang ikut mendampingi acara GMB berdiri di tempat pengimaman. Suaranya yang tersambung dengan sound system mengalun pelan merambati shaf demi shaf. Serak suara tuanya terdengar begitu adem saat membaca Fatihah.
Adlan yang berada di shaf ketiga sangat menghayati sholatnya. Matanya ia pejamkan. Ketika ruku, ia merasakan alam sekitar seolah ikut merunduk takluk di hadapan Sang Pencipta. Saat sujud, bau basah rerumputan tercium begitu segar menembus sajadahnya, menambah rasa khusyu dan ketenangan jiwa.
Keheningan alam sekitar membuat suara Pak Somari yang terpancar melalui empat pengeras suara terdengar jernih, tak ada latar belakang suara apapun –selain suara diesel yang terdengar lemah di kejauhan sana. Semilir lembut angin gunung membelai wajah para jamaah sholat. Mereka semakin tenggelam dalam nikmat penghambaan yang begitu agung. Kelezatan hidangan langit di awal petang itu seolah memberikan ruh baru bagi dahaga jiwa-jiwa yang kering kerontang. Ayat demi ayat, tasbih demi tasbih, dan doa demi doa terus teruntai indah melalui lisan-lisan para hamba yang lemah untuk dipersembahkan kepada Tuhannya.
Tak terasa sholat maghrib telah tiba di penghujung rukun. Salam pun terucap sebagai penutup ritual suci penuh makna tersebut. Adlan sangat bersyukur bisa diberi kesempatan merasakan  betapa lezatnya menghadap Tuhan semesta alam di alamnya langsung. Rangkaian wirid kemudian mewarnai kegiatan berikutnya.
Setelah jeda beberapa menit untuk sholat ba’diyah maghrib, acara dilanjutkan dengan santapan rohani oleh Pak Somari. Sholat isya berjamaah kemudian menutup rangkaian kegiatan keagamaan petang itu. Para peserta diinstruksikan untuk kembali ke tenda masing-masing guna mempersiapkan diri mengikuti firecamp.
@@@@
Di tengah-tengah lapangan telah tertumpuk gunungan kayu bakar yang dibawa dari Smansawi. Lebih dari dua ratus orang yang terdiri dari peserta, panitia, dan guru pendamping duduk mengelilingi gunungan tersebut. Setelah serangkaian upacara penyalaan api, kini tiba saatnya bagi sepuluh komandan kompi untuk menyalakan api unggun.  Dari penjuru yang berbeda-beda mereka melangkah tegap secara bersamaan, mendekati gunungan kayu. Setelah benar-benar dekat, masing-masing komandan kompi meletakkan obor  yang mereka bawa pada gunungan kayu. Tak butuh waktu lama, kayu-kayu yang telah disirami bensin sebelumnya itu langsung menjalarkan api ke semua bagian gunungan. Api berkobar-kobar sangat hebat. Kesepuluh komandan kompi seketika menjauh dari kobaran raksasa itu.
Para peserta yang duduk di belakang garis batas api unggun mulai merasakan kehangatan, menyusup di sela-sela pakaian yang mereka kenakan. Dingin yang sedari tadi mendekap erat tubuh mereka –karena panitia melarang peserta memakai jaket- perlahan melepas dekapannya.
“Api kita sudah menyala, api kita sudah menyala, api,.. api,.. api,..”
Salah seorang kakak kelas memimpin nyanyian api unggun dengan sebuah megaphone. Para peserta mengikutinya dengan serempak diiringi irama tepukan tangan. Kehangatan api unggun tak hanya menghangatkan tubuh mereka, namun juga memberi kenyamanan bagi suasana hati.
Kak Ali Husen kini memimpin acara. Dengan cerdas ia membawa para peserta larut dalam sebuah outdoor game ringan yang ia buat. Gelak tawa dan saling teriak pun meramaikan lapangan utama. Kini Kak Ali Husen memberikan komando agar setiap regu mempersiapkan diri untuk menampilkan sebuah pentas seni, entah itu menyanyi, menari, puisi, atau yang lainnya.
Sembari persiapan, seksi konsumsi membagikan nasi bungkus dan segelas air mineral kepada semua peserta  sebagai makan malam. Mereka langsung menyantapnya, setiap orang benar-benar menikmati suguhan sederhana itu –nasi, sambal goreng tempe, sambal terasi, dan bihun. Suasana hangat api unggun dan indahnya kebersamaan membuat kelezatan makanan yang mereka santap semakin terasa.  Ditambah lagi rasa lapar semikronis yang disebabkan hawa dingin, sempurnalah sudah menu sesederhana itu menjadi selevel masakan restoran berbintang.
Seperempat jam berselang satu persatu regu maju menampilkan kebolehannya. Tepuk tangan yang begitu ramai terus terdengar secara periodik, membahana memenuhi atmosfer alam perkemahan tersebut. Rangkaian acara api unggun berlangsung sampai jam sepuluh malam. Seusai acara, peserta diminta untuk langsung beristirahat di tenda masing-masing.
@@@@
“Nis, Nisa, bangun Nis! Temani aku ke toilet! Aku takut keluar sendirian.” Aisyah menepuk-nepuk lengan Anisa.
Anisa tetap meringkuk nyaman dalam dekapan selimutnya. Berkali-kali Aisyah membangunkan Anisa namun tetap saja gagal. Kelima temannya yang lain pun lebih memilih untuk meneruskan tidur dalam suhu sedingin itu. Perut Aisyah semakin melilit. Nampaknya sambal yang menjadi salah satu menu makan malam tadi mulai bereaksi pada perutnya. Ia tak biasa dengan menu makanan pedas seperti itu. Akhirnya ia pun memberanikan diri keluar tenda, pergi ke toilet di bagian pojok timur Buper.
Aisyah melihat jam tangannya. Jam satu pagi. Ia menyusuri komplek tenda putri, menembus udara pagi yang dingin dan berkabut. Hanya ada beberapa kakak kelas laki-laki di dekat api unggun yang masih menyala dengan nyala yang jauh lebih kecil dari semula. Mereka nampaknya sedang membakar jagung. Aisyah terus berjalan menuju toilet Buper. Sesampainya di toilet ternyata airnya kosong, kerannya pun mati. Tiga toilet di sampingnya juga bernasib sama. Aisyah segera menyambangi kakak-kakak kelasnya di pinggir api unggun.
“Kak, apa ada toilet lain selain toilet Buper?” Tanya Aisyah.
“Memangnya kenapa, Dik?” Respon salah satu kakak kelas.
“Kolamnya kosong, kerannya juga mati.”
“Astaga! Sepertinya seksi peralatan belum merefill tandon air. Kamu pergi saja keluar Buper. Dari gerbang Buper kamu ambil kiri. Setelah kurang lebih dua ratus meter ada pertigaan, kamu ambil kanan. Seratus meter dari situ ada musholla, di situ ada toiletnya. Kamu berani ke sana sendirian apa mau Kakak temani?”
Aisyah diam sejenak. Mana yang harus ia korbankan, rasa malu atau rasa takutnya?
“Aku bisa ke sana sendiri, Kak. Terimakasih.” Aisyah lebih memilih mengorbankan rasa takutnya dari pada harus ditemani laki-laki untuk buang air besar. Ia pun beranjak meninggalkan kelima kakak kelasnya yang masih sibuk dengan jagung bakarnya.
Aisyah keluar dari gerbang Buper. Sesuai dengan yang diberitahukan kakak kelasnya tadi, ia ambil jalan ke kiri. Pepohonan begitu rindang berjejer di pinggir jalan. Hanya satu dua lampu lima wat yang dipasang seadanya oleh warga sekitar agar jalanan tak sepenuhnya gelap. Udara sangat dingin. Aisyah mengeratkan dekapannya dalam-dalam. Setiap nafas yang ia hembuskan menjadi kepulan asap yang amat jelas terlihat di bawah terpaan lampu.
Hanya ada dua rumah yang Aisyah lihat di dua ratus meter pertama. Di pertigaan, perumahan penduduk tak selangka tadi. Namun demikian tak ada satu orang pun yang keluar rumah. Benar-benar sepi. Setelah berjalan kurang lebih dua puluh lima meter dari pertigaan, Aisyah melihat warung yang masih buka. Ada tiga pemuda yang sedang asyik bermain remi. Di hadapan mereka tersuguh dua botol minuman keras. Begitu melihat Aisyah melintas mereka langsung saja menggodanya,
“Hai cantik, mau ke mana pagi-pagi buta seperti ini? Mending gabung sama kita-kita di sini.”
Mereka lalu tertawa terbahak-bahak. Aisyah mempercepat langkahnya meninggalkan tiga pemuda mabuk itu.
Setelah beberapa meter akhirnya ia pun sampai di mushola yang dituju. Ia melihat ada sepasang sepatu hitam di teras depan mushola. Aisyah menyempatkan diri melihat sekilas pandang ke dalam mushola. Seorang berjaket silver dengan sarung warna biru sedang berdiri menghadap kiblat. Aisyah segera melanjutkan langkahnya ke toilet, perutnya sudah tak bisa lagi diajak kompromi.
Lima belas menit kemudian Aisyah keluar. Alhamdulillah, lega, gumamnya pelan. Ia segera pulang ke perkemahan lewat jalan yang sama. Saat melewati warung, ketiga pemuda tadi sudah tidak lagi di situ. Mungkin sudah bosan dengan reminya lalu pulang ke rumah masing-masing, pikir Aisyah. Saat Aisyah sampai di pertigaan, ia merasa seperti ada yang mengikutinya.
“Astaghfirullah, ini pasti cuma perasaanku saja. Mana ada hantu yang iseng bangun jam satu pagi? Kurang kerjaan.” Aisyah berusaha menguatkan keberanian dalam dirinya.
Tiba-tiba Aisyah didekap kencang dari belakang. Mulutnya dibekap. Teriakannya hanya terdengar dari jarak dua meter saja. Tiga pemuda mabuk yang Aisyah kira sudah pulang ke rumah masing-masing tadi ternyata mengikutinya. Kini mereka hendak berniat jahat padanya. Mulut Aisyah disumpal dan diikat kencang dengan kain. Benar-benar tertutup rapat. Aisyah terus meronta sekuat tenaga, namun kekuatan seorang gadis seperti dirinya sungguh tak sebanding dengan kekuatan tiga orang pemuda sekaligus. Aisyah lalu direbahkan paksa di atas jalan yang basah. Seorang merobek paksa rok yang ia kenakan, sementara dua yang lain terus memegangi tangan Aisyah kuat-kuat.
Aisyah masih belum menyerah. Kakinya menendang bagian vital pemuda yang telah bersiap merenggut kehormatannya itu. Pemuda itu meraung kesakitan. Aisyah lalu mendapatkan sebuah tamparan yang sangat keras sebagai balasannya. Pelipis kiri Aisyah pecah. Darah segar pun keluar. Kesadarannya seakan mau hilang, namun tetap ia pertahankan agar bisa terus melawan. Lelaki itu mencoba melepas satu-satunya penutup bagian paling vital yang masih tersisa di tubuh Aisyah.
DZUGG!!!
Tiba-tiba sebuah bogem mentah mendarat sangat keras di pelipis kanan laki-laki itu. Seketika ia pun terjerembab tak sadarkan diri.
“Preman mental tempe! Sama perempuan saja kroyokan!” Hardik Adlan.
Satu orang melangkah maju. Pukulan ia layangkan ke wajah Adlan. Dengan sigap Adlan merunduk lalu memukul perut pemuda itu dengan sangat keras. Pemuda itu merunduk-runduk kesakitan. Tanpa jeda, tendangan berputar Adlan langsung dilayangkan, melayang sangat keras tepat mengenai wajah bagian kiri preman kampung itu, membuatnya jatuh terguling sampai tak sadarkan diri.
Orang terakhir kemudian melepaskan Aisyah. Ia mengambil botol minuman keras yang tadi ia taruh begitu saja di pinggir jalan. Ia benturkan botol itu ke sebuah pohon sampai pecah, membentuk ujung-ujung beling yang tajam. Ia menghampiri Adlan, menyabet-nyabetkan botol pecah itu secara membabi buta. Adlan kesulitan menghindari serangannya. Lengan kiri Adlan terkena salah satu sabetan. Darah segar merembes dari jaket silvernya.
“Adlan!” Aisyah berteriak histeris, khawatir melihat keadaan Adlan.
Adlan berusaha sebisa mungkin membuat dirinya tenang. Ia meningkatkan konsentrasinya. Sejurus kemudian ia melompat setinggi kepala. Kaki kirinya ia layangkan tepat mengenai botol yang tergenggam erat hingga terpental ke atas. Dalam lompatan itu juga kaki kanan Adlan yang telah mengambil ancang-ancang lebih panjang diayunkan tepat menghantam dagu sang lawan. Adlan mendarat dengan kedua kakinya. Lawannya terjatuh tepat ketika botol pecah itu menyentuh tanah. Kecepatan gerak, ketepatan serangan, dan reflek sigap yang Adlan miliki membuatnya tak terlalu sulit menumbangkan ketiga lawannya dalam waktu yang relatif singkat.
Adlan melihat Aisyah masih terduduk menutupi auratnya. Roknya benar-benar telah koyak, sedikit saja berdiri maka auratnya akan tersingkap. Adlan memberikan sarung birunya yang sejak tadi terselempang di pundak. Ia memalingkan pandangan saat memberikan sarung tersebut. Aisyah menerimanya. Ia tutupkan sarung itu rapat-rapat membungkus auratnya.
“Ayo cepat kita ke Buper!” Ajak Adlan.
“Tunggu dulu!” Sergah Aisyah menahan langkah Adlan.
Ia menyobek bagian bawah roknya yang koyak, lalu mendekati Adlan dengan membawa sobekan tersebut.
“Apa yang mau kamu lakukan?” Adlan kaget melihat Aisyah mendekatinya.
“Tenang, aku tak akan berbuat macam-macam kok.” Jelas Aisyah.
Ia meraih tangan kiri Adlan, mengikat lengannya yang robek dengan sobekan rok tadi. Adlan memperhatikan wajah Aisyah, sayup-sayup diterpa cahaya lampu lima wat. Darah di lengan kiri Adlan pun berhenti keluar.
“Terimakasih.” Ucap Adlan lirih.
“Tidak, aku yang berterimakasih.” Sergah Aisyah.
Pandangan mereka lalu bertemu dalam jarak yang begitu dekat. Sejenak mereka saling tatap. Kemudian wajah mereka saling mendekat, semakin dan semakin dekat.
“Astaghfirullah! Ayo cepat kita ke Buper!”
Adlan segera mengusir godaan setan itu. Godaan berat yang datang dari seorang perempuan dengan paras wajah perfect, di waktu, tempat, dan kesempatan yang juga perfect. Adlan bersyukur karena bisa tersadar sebelum kesucian bibirnya ternodai dengan ciuman kotor penuh nafsu yang jelas-jelas diharamkan oleh Allah. Ia tak mungkin bisa menolaknya jika tanpa pertolongan dari Allah SWT.
Adlan lalu berjalan cepat di depan. Aisyah mengikutinya di belakang. Mereka hanya saling diam. Tak satu pun kalimat keluar dari mulut keduanya. Jalanan begitu sepi, hanya suara langkah mereka yang terdengar berderap-derap.
“Sejak kapan kamu bisa bela diri?” Tanya Aisyah mengusir kesenyapan.
“Aku sudah sabuk hitam sejak kelas sembilan. Kamu memangnya mau apa pagi-pagi buta begini keluyuran di luar Buper?” Adlan menekan nada suaranya, agak jengkel dengan apa yang Aisyah lakukan, keluyuran.
“Perutku sakit, toilet Buper tidak ada airnya, kakak kelas menunjukkanku mushola di luar Buper yang ada toiletnya, lalu akupun pergi ke sana.”
“Kenapa tidak minta ditemani kakak kelas?” Mempercepat langkah.
“Aku malu, mau buang air besar masa minta diantar anak laki-laki?”
Adlan diam seribu bahasa. Dia tak menemukan alasan lagi untuk meneruskan rasa marahnya kepada Aisyah. Tapi hatinya masih jengkel, bukan kepada Aisyah, melainkan kepada kakak kelas yang membiarkan Aisyah keluar Buper sendirian.
Mereka terus berjalan menyusuri jalanan sepi berkabut. Hanya tinggal beberapa meter lagi sampai di gerbang Buper.
“Adlan, maaf yah?”
“Maaf kenapa?”
“Gara-gara aku kamu terluka.”
Adlan terdiam. Sejenak kemudian, lirih suaranya berkata,
“Bahkan luka yang lebih besar dari ini pun aku rela, asal kamu baik-baik saja, Aisyah.”
“Apa? Kamu bilang apa barusan?” Aisyah mempercepat langkahnya, berusaha mendekat.
“Aku tak bilang apa-apa kok.” Sangkal Adlan.
“Oh, ya sudah.” Aisyah kecewa. Mungkin cuma perasaanku saja, gumamnya dalam hati.
Mereka akhirnya sampai di bumi perkemahan. Aisyah dan Adlan segera menuju ke barak kesehatan untuk mendapatkan pertolongan pertama. Adlan dengan lengan kirinya, dan Aisyah dengan pelipis kirinya.
@@@@




[1]Serabi, kue basahan yang diberi kuah santan. Rasa dasarnya gurih, dan bertambah nikmat dengan perpaduan santannya.
[2]Apem, kue basahan dengan rasa manis. Biasanya berwarna merah jambu, ada juga yang berwarna cokelat. Rasanya semakin manis dan nikmat karena penyajiannya disandingkan dengan air gula merah.
[3]Maktabah Syamilah, Kitab Fathul bari li ibni rojab, bab Assholah, juz 4, hal 17.
[4]Taqrirot as Sadidah, as Sayyid Hasan bin Ahmad al Kaf.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar