PEMESANAN 082322504931
Mozaik Cinta
Saling mencinta dalam diam, rindu yang terwakili air mata kala bersujud, dan perhatian yang hanya tercurah dengan untaian doa. Temukan makna cinta suci dalam kisah ini. (Novel Islami. Penulis; Maul Isbir) Pemesanan; 082324758816
Kamis, 20 Juli 2017
DAFTAR ISI
PEMESANAN; 082324758816
Mozaik Cinta
..
.
.
Kebencian
Perdebatan Panas
Aku Tak Akan Pernah Memaafkanmu, Pembohong!
Nadia
Kedahsyatan Kekuatan Cinta
Pertemuan yang Heroik
Terungkapnya Makna "Bagian"
Jalan Keluar yang Berat
Pernikahan
Benih Cinta
Australia
Dentum Cobaan yang Bertubi
Bagaimana Harusnya Cinta Sejati
Epilog
8. Semoga Allah Menakdirkan yang Terbaik
Lonceng tanda masuk berbunyi. Satu persatu
siswa masuk ruang kelasnya dengan tertib. Satu dua anak masih asik ngobrol di
kursi-kursi panjang di depan kelas,
beberapa yang lain baru berjalan masuk melewati gerbang sekolah dengan tas
gendong di punggung.
“Aisyah, bagaimana lukamu?” Tanya Anisa yang
duduk semeja dengannya
“Alhamdulillah sudah mulai kering. Bahkan kata
dokter kulitku, bekas lukanya pun nanti bisa dengan mudah dihilangkan.”
“Alhamdulillah kalau begitu.”
“Emm, ngomong-ngomong Adlan bagaimana
keadaannya yah?” Sambung Anisa.
“Tadi pagi aku menelponnya, katanya hari ini
belum bisa berangkat, masih belum bisa mengendarai motor katanya. Setiap kali
ia paksakan menyetir, luka di lengannya lagi-lagi terbuka, darahnya keluar.”
“Kasihan dia. Memang seberapa parah lukanya?”
“Entahlah. Tapi katanya sih lima jahitan.”
“lima jahitan?”
Aisyah mengangguk.
“O iya, ngomong-ngomong kamu dapat nomer Adlan
dari mana, Syah?”
“Hehe, mau tau aja.”
“Hmm, gitu yah? Mulai rahasia-rahasiaan
segala, kalau begitu nanti siang aku batal menemani kamu cari kerudung.”
“Yah! Jangan begitu dong, Nis, kamu kan tahu
aku tak punya pengalaman apa-apa tentang kerudung.”
“Kalau begitu jawab dulu pertanyaanku.” Anisa
tersenyum menang.
Aisyah menghela nafas, huft.
“Saat berkemas pulang dari Suniarsih, aku bertemu
Adlan di barak kesehatan, dia sedang mengganti perban di lengannya. Aku ngobrol
sebentar dengannya, terus, aku minta deh nomernya.”
“Ooh, begitu.” Anisa mengangguk.
“Eh! Itu Pak Prodo datang.”
Anak-anak langsung duduk rapi di meja
masing-masing. Jam pelajaran pertama, jam kesenian. Saat itu Pak Prodo tidak
langsung memberikan materi seni musik, mapel yang diampunya. Beliau lebih
banyak bercerita, berbicara banyak hal, terutama pengalamannya saat masih muda.
Anak-anak serius memperhatikan.
Satu jam berlalu bel ganti pelajaran pun
berbunyi. Pak Prodo menutup jam pelajarannya. Anak-anak keluar berduyun-duyun
ke ruangan berikutnya, R 2.06. Guru jam kedua telah duduk menunggu. Jenggotnya
lebat, pandangan matanya tajam. Di keningnya ada tanda hitam, seperti bekas yang
disebabkan karena sering sujud, atau lebih tepatnya karena sering sujud di atas
benda keras. Guru muda itu memperkenalkan diri. Namanya Pak Agung Sujayanto,
pengampu materi matematika.
Materi awal, Aljabar, diuraikan dengan sangat
gamblang. Caranya menyampaikan kalimat begitu menyihir anak-anak X.9. Semuanya
memperhatikan penjelasan yang mudah ditalar itu. Sesekali Pak Agung menyelingi
penjelasan matematikanya dengan pengetahuan agama. Ulasannya begitu masuk akal.
Sebagian anak bahkan mengangguk-anggukkan kepala, setuju dengan
statemen-statemen logisnya. Anak-anak lebih terkagum dengan ulasan-ulasan agama
Pak Agung dari pada materi utamanya, Aljabar.
Bel istirahat berbunyi.
“Sampai disini pertemuan kali ini, insyaAllah
besok kita mulai masuk ke pembahasan Aritmetika. Bapak harap kalian membaca
materinya terlebih dahulu di halaman tujuh puluh delapan sampai sembilan puluh
tiga. Sebelum Bapak tutup, apa ada yang mau bertanya?”
Nana, siswa kurus berkacamata minus yang duduk
di bangku paling belakang mengangkat tangannya dengan ketus.
“Ya, silahkan.” Kata Pak Agung.
“Saya mau bertanya Pak, boleh apa tidak?”
“Boleh, kan sudah Bapak persilahkan barusan.”
“Oh, iya Pak, terimakasih banyak.”
Pak Agung mempersilahkan kembali. Nana lalu
senyum-senyum sendiri, tak segera melontarkan pertanyaannya. Pak Agung masih menunggu.
Nana masih saja senyum-senyum.
“Ayo cepat, katanya mau tanya?” Pak Agung agak
jengkel.
“Sudah pak.” Jawab Nana enteng.
“Sudah apa?”
“Ya sudah bertanya dong, Pak.”
“Bertanya apanya! Orang dari tadi kamu senyum-senyum
sendiri kok.” Pak Agung makin gemas.
“Loh, itu tadi kan pertanyaan saya, Pak.”
“Pertanyaan apa?”
“Boleh apa tidak? Itulah pertanyaan saya,
Pak.” Senyuman menjengkelkan Nana mengembang.
Anak-anak yang paham tertawa seketika. Kelas
menjadi ramai dengan gelak tawa. Pak Agung yang melihat keriangan anak-anak pun
akhirnya ikut tertawa, ikut merasa lucu meskipun hatinya jengkel. Sebagai orang
dengan pemikiran yang lebih dewasa, Pak Agung jelas paham dengan model-model
keisengan anak didik yang seperti itu. Beliau lalu menutup pertemuan dengan
ucapan salam. Para siswa berbondong-bondong keluar kelas, tapi ada juga yang
masih berkutat di dalam kelas, sibuk mencatat.
Suasana Smansawi waktu istirahat seperti ini
sangat ramai. Anak-anak sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang
berjalan santai di tepi lapangan, ada yang hanya duduk-duduk di kelas, ngobrol,
ada juga yang asik dengan laptopnya, berselancar di dunia maya dengan free
hotspot di aula sekolah. Dan yang nampak paling mendominasi keramaian
tentunya kantin sekolah. Anak-anak berjejalan memesan makanan dan minuman di
sana. Meja-meja panjang kantin tak menyisakan tempat untuk para pengunjung
baru. Mereka yang tak mendapat tempat duduk membawa jajan dan minumannya ke
tempat lain. Ada yang ke teras masjid, memakannya sambil membaca buku yang
dipinjam dari perpustakaan masjid. Ada juga yang beramai-ramai ke taman
penyekat lapangan, mereka melahap makanannya di bawah pohon ukuran tanggung. Di
sana suasananya teduh.
“Ayo ke masjid, Nis.” Ajak Aisyah yang baru
selesai mencatat contoh-contoh soal aljabar di white board. Masih
tersisa sepuluh anak di ruangan tersebut, dua di antaranya Aisyah dan Anisa.
“Kamu duluan saja, Syah, aku belum selesai.”
Anisa masih sibuk menulis.
Aisyah beranjak ke masjid membawa tas gendong
birunya, meninggalkan Anisa bersama delapan anak lainnya yang masih sibuk
mencatat. Lima menit kemudian Anisa selesai. Ia memasukkan buku dan pulpennya
ke dalam tas. Saat hendak beranjak ke masjid, sekilas ia melihat sesuatu di
laci meja. HP Aisyah tertinggal. Ia pun mengambilnya. Tak sengaja jarinya menekan
tombol call. Layar HP menyala, menampilkan log panggilan keluar. Nama Adlan
berada di urutan teratas. Anisa menyalin nomornya di secarik kertas. Setelah
itu ia segera menyusul Aisyah ke masjid.
Sesampainya di masjid, Anisa melihat beberapa
siswi di sana. Ada yang sedang asik tenggelam dalam sholat duha, ada yang
tersibukkan dengan melafakan kalam-kalam Ilahi yang termaktub dalam
mushaf-mushaf nan suci, dan ada pula yang sedang membaca buku-buku agama yang
bebas dipinjam dari perpus masjid. Dua siswi melipat mukena mereka untuk
dimasukkan ke tempatnya. Dari balik satir, sesekali terdengar gelak tawa anak
laki-laki. Sepertinya mereka sedang asik ngobrol. Padahal setahunya, di
beberapa tembok masjid bagian putra telah dipasang peringatan, Dilarang
Berbicara Masalah Duniawi di Dalam Masjid, sebagaimana yang tertempel di
bagian putri. Tapi Anisa husnuzon, mungkin mereka sedang bercerita tentang Abu
Nawas atau Nashirudin, dua tokoh sufi yang hikmah-hikmahnya selalu penuh dengan
parodi.
Anisa mengambil mukena di lemari pojok
ruangan. Di lemari tersebut ada puluhan mukena yang disediakan oleh sekolah
untuk para siswi yang ingin menunaikan sholat. Namun demikian, banyak juga yang
membawa mukenanya sendiri dari rumah. Biasanya Anisa juga membawa sendiri
mukenanya, namun hari itu ia lupa karena tergesa-gesa saat berangkat. Sejurus
setelah mengenakan mukena, Anisa segera tenggelam mengarungi lautan kekhusyuan
dalam bahtera sholat duha.
Aisyah baru selesai sholat duha. Ia melihat
Anisa yang baru mengangkat dua tangannya, takbirotul ihrom. Sembari menunggu
temannya itu, Aisyah mengambil salah satu buku koleksi perpustakaan masjid.
Fiqih Muslimah, buku karangan Ustadz Segaf Baharun M.H.I itu menjadi sasaran
jamahan tangannya. Ia duduk bersender di tembok dekat pintu masuk. Halaman demi
halaman mulai ia sapu dengan kedua matanya. Aisyah pun semakin dalam
menjelajahi permasalahan-permasalahan fiqih seputar kewanitaan yang diulas
secara menarik oleh penulis di dalam buku tersebut.
“Asik sekali bacanya, Aisyah?”
“Eh, kamu sudah selesai, Nis.” Aisyah menutup
begitu saja buku yang ia pegang.
Anisa duduk bersandar di samping Aisyah.
“Nih, HP kamu tertinggal di laci meja.”
Menyodorkan HP ke Aisyah.
“Ya Allah, terimakasih banyak Anisa, tadi aku lupa
memasukkannya ke tas. Kalau saja tidak kamu ambil mungkin sudah diambil anak
kelas lain.” Menerima HP tersebut, ekspresi sangat berterimakasih.
“Iya, sama-sama. Makanya jangan teledor kalau naruh
HP, sudah tahu di sini sistemnya moving class, pindah ruangan setiap ganti
pelajaran, sekali barang tertinggal di kelas, ya sudah, kemungkinan besar
diambil anak kelas berikutnya.”
“Iya, iya, aku salah, aku tak akan
mengulanginya lagi.”
Keduanya lalu mulai asik dengan perbincangan
ringan, membahas permasalahan-permasalahan seputar dunia perempuan, utamanya
fashion, lebih spesifik lagi kerudung dan macam-macam style-nya.
“Ngomong-ngomong, kenapa kamu tiba-tiba mau pakai
kerudung, Syah?”
“Emm, kalau itu sih rahasia, hehe.”
“Ya sudah, nanti siang aku batal menemanimu
cari kerudung.” Anisa tersenyum, menang.
“Pasti begitu.” Aisyah cemberut, sebal.
“Ya sudah, tinggal ceritakan saja apa
repotnya? Toh aku juga temanmu kan?”
Aisyah pun mengalah, Huh, helaan nafas
sebalnya terdengar.
“Jadi begini, semalam aku sms-an sama Adlan.
Dia bilang aku berbeda dengan anak-anak orang kaya yang lain. Sementara
kebanyakan mereka tak memperhatikan kewajiban agama, bahkan ada yang dengan
sengaja meninggalkan sholat tanpa alasan yang dibenarkan syariat, tapi aku tidak.
Awalnya aku juga tak tahu kenapa Adlan berkesimpulan seperti itu. Setelah ku
tanyakan sebabnya, ternyata saat MOS dia sering melihatku pergi ke masjid saat
istirahat, juga saat zuhur sebelum pulang. Selain itu dia juga bilang kalau,..”
Aisyah berhenti, malu untuk melanjutkan kalimatnya.
“Kalau apa?”
“Emm, dia bilang kalau aku cantik.” Mukanya
memerah seketika. Wajahnya merunduk, malu. Senyum kecil tersungging dari
bibirnya.
“Terus dia bilang apa lagi?” Anisa nampak
antusias ingin mendengar kelanjutan cerita Aisyah.
“Terus, dia bilang, andai aku mau memakai kerudung,
disamping ketaatanku, pasti kecantikanku pun akan semakin sempurna.” Muka
Aisyah semakin memerah.
“Iiiihiiy, Jangan-jangan kalian pacaran yah?”
“Pacaran? Ngawur kamu, Nis. Orang sealim dia
mana mau pacaran?”
“Tapi kamu suka sama dia kan? Hayo ngaku.”
Anisa tersenyum, mencoba memojokkan Aisyah.
Aisyah terdiam. Merah mukanya semakin
menjadi-jadi. Ia hanya tersenyum malu menanggapi pertanyaan itu.
“Waah, ada yang sedang jatuh cinta nih,
ciee-ciee,..” Anisa mencolek-colek Aisyah, menggodanya.
“Ssst! Jangan keras-keras, Nis, aku malu.” Ia
mencubit paha Anisa.
“AWW! Sakit, Aisyah!”
“Makanya jangan menggodaku terus.” Muka Aisyah
ditekuk.
“Iya-iya aku berhenti. Hehe, nampaknya ini
bisa jadi berita terhangat di kalangan anak-anak kelas nih.”
“Jangan begitu lah, Nis. Please, jangan
ceritakan hal ini sama siapa-siapa yah? Please.” Muka Aisyah memelas.
“Emm, tergantung.” Mengelus-elus dagu dengan
ujung-ujung jemarinya.
“Tergantung apa?”
“Mungkin kamu bisa menutup mulutku dengan
bakso urat yang di depan Smansa. Bagaimana?” Tersenyum menang.
“Iih, kamu ini!” Aisyah gregetan.
“Hehe, pilihan ada di tanganmu, kawan.”
Menepuk pundak Aisyah, manggut-manggut.
“Huh! Baiklah, demi tertutupnya rahasia suci
ini, selain untuk kerudung, aku juga harus merelakan uang sakuku lenyap untuk
mentraktirmu.” Ekspresi Aisyah benar-benar alay. Matanya menyipit, gurat
wajahnya serius, tangan mengepal, Ganbatte! Berakting bak pemain drama.
Mereka berdua lalu tertawa, merasa lucu dengan apa yang Aisyah lakukan.
“Ssstt, masjid!” Tegur salah satu siswi di
tempat itu.
“Iya-iya, maaf.” Aisyah dan Anisa
merunduk-runduk, malu.
“Astaghfirullahal ‘azim, yang kita bicarakan
dari tadi masalah duniawi bukan yah?” Ekspresi Anisa bingung.
“Menurutku, sebagian duniawi sebagian bukan.”
“Yang bukan duniawi yang mana?”
“Yang tentang kerudung, itu tentang syariat
bukan?”
“Iya sih, tapi selebihnya kan duniawi.
Mudah-mudahan tidak terlalu banyak kebaikan kita yang hilang yah?”
“Amin, semoga saja demikian. Dari pada kita
tak sadar berbicara masalah duniawi lagi, lebih baik kita ke kelas yuk?” Ajak
Aisyah.
“Yuk,”
Mereka pun beranjak ke ruang pelajaran ketiga.
Keduanya berjalan bergandengan tangan, begitu akrab. Langkah dua pasang kaki
Anisa dan Aisyah kompak menapak, melewati lantai demi lantai menuju ruang E
2.01, ruang bahasa Inggrisnya Bu Meiza Yulia.
@@@@
Alphard putih berjalan semakin pelan, masuk ke
gerbang perumahan elit. Di depan salah satu rumah berlantai dua Alphard itu
menurunkan seorang gadis berseragam putih abu-abu. Ia memakai kerudung putih
berenda cokelat.
“Terimakasih atas tumpangannya yah, Syah.
Nanti kalau kamu kesulitan memakainya telpon saja aku.”
“Iya, Nis. Terimakasih juga sudah mau menemani
beli kerudung.” Senyum Aisyah terlontar sebelum akhirnya pintu mobil ditutup.
Alphard lalu berjalan pelan ke timur, melewati
tiga rumah elit untuk kemudian berhenti di depan rumah Aisyah. Klakson
dibunyikan. Satpam keluar dari pos jaganya dan membukakan gerbang. Mobil masuk
ke pelataran rumah. Aisyah keluar dari pintu belakang mobil. Selain menggendong
tas biru, ia juga menenteng tas plastik berisi belanjaannya, beberapa kerudung
dengan berbagai model.
“Assalamualaikum, Aisyah pulang.”
“Wa’alaikum salam.” Jawab seorang wanita paruh
baya berbusana dan berdandanan lux. Ia duduk di sofa panjang ruang
depan, menikmati secangkir teh.
“Mama? Sejak kapan di rumah?”
“Pertanyaan kamu kok begitu sih sayang, ini
kan juga rumah Mama.”
“Eh, maksud Aisyah, tumben jam segini Mama di
rumah, biasanya kan lagi di butik.”
“Hari ini Mama ingin di rumah saja, ingin
ngobrol sama anak Mama yang cantik ini. Sini duduk samping Mama, sayang.”
Aisyah mencium tangan Mamanya lalu duduk tepat
di samping kanannya.
“Habis belanja apa kamu?” Melihat tas plastik
yang dibawa Aisyah.
“Kerudung, Mah.”
“Kerudung? Memangnya kamu mau berkerudung?”
“Iya, Mah. Tak apa-apa kan?”
“Kamu sudah yakin? Banyak loh wanita
bekerudung tapi moralnya tidak baik, cuma menjadikan kerudung sebagai kedok.
Mama tidak ingin nantinya kamu terkena persepsi seperti itu, Sayang.”
“Seharusnya Mama jangan beranggapan seperti itu,
tidak baik. Aisyah yakin, dengan memakai kerudung Aisyah bisa lebih menjaga
moral. Dan lebih dari itu, memakai kerudung bukan hanya masalah moral, Mah,
tapi juga masalah ketaatan kita terhadap syariat.”
“Kalau Mama lebih suka kamu tampakkan saja
rambut indahmu, seperti kakakmu, Nadia. Semalam dia mengabari Mama kalau dia
akan mengikuti kontes kecantikan mewakili kampusnya di Sydney.”
“Apa? Kontes kecantikan? Mama tahu budaya luar
kan? Pasti busana yang akan Kak Nadia pakai itu busana yang terbuka, Mah!”
“Justru itu yang membuat Mama bangga, dia bisa
menunjukkan kapabilitasnya sebagai perempuan Indonesia. Kecantikan alaminya
bisa bersaing dengan kecantikan perempuan-perempuan Australia.” Nada suaranya
makin tinggi.
“Tapi itu melanggar syariat, Mah!”
“Diam kamu! Tak usah menasehati Mama soal
agama! Pasti Bi Hafsah yang mengajari kamu seperti ini, kan? Kalau bukan karena
Papamu, sudah Mama pecat dia sejak lima tahun lalu. Gara-gara dia kamu jadi
sering menentang keinginan Mama!”
“Jangan salahkan Bi Hafsah, Mah! Salahkan diri
Mama sendiri! Bi Hafsah selalu ada saat Aisyah butuh, sedangkan Mama? Mama di
mana saat Aisyah butuh? Saat Aisyah kesepian? Mama lebih memilih butik dan
teman-teman Mama dari pada Aisyah, anak Mama sendiri. Sejak Aisyah SD, Bi
Hafsah lah yang lebih Aisyah rasakan kasih sayangnya dari pada Mama. Mama
terlalu sibuk dangan dunia Mama, butik, mall, teman-teman arisan,..”
PLAKK…!!! Sebuah tamparan keras melayang,
menyapa pipi kiri Aisyah.
“Jangan kurang ajar kamu, Aisyah!”
Aisyah meninggalkan mamanya begitu saja, naik
ke lantai dua dengan membawa serta belanjaannya. Air matanya meleleh. Luka di
pelipisnya terbuka lagi.
“Aisyah, Mama belum selesai!”
Aisyah tak menghiraukan teriakan Mamanya. Ia
membanting pintu kamar dan menguncinya rapat-rapat. Ia melemparkan badannya ke
atas ranjang, menangis sesunggukan memeluk bantal. Darah yang keluar dari luka
di pelipisnya menetes, menambah corak sprei dengan warna merah.
@@@@
Suara pintu kamar terbuka. Umi membawakan
makan siang Adlan ke kamar. Adlan sedang sibuk dengan Ms Word di laptopnya
sampai-sampai tak sadar dengan kedatangan Umi.
“Nampaknya serius sekali, ngetik apa sih?”
“Eh, Umi, ngetik artikel, Mi, mau Adlan post
di FB dan Blog.”
“Artikel? Tentang apa?” Menaruh makanan di
samping Adlan.
“Tentang moral pemuda bangsa yang semakin hari
semakin merosot.”
Umi duduk di ranjang, menghadap Adlan yang
masih menatap fokus ke laptopnya.
“Em, menurut
kamu sendiri apa yang menyebabkan kemerosotan itu?” Tanya Umi.
Adlan berhenti mengetik. Mengubah posisi
duduk, menghadap ke arah Umi. Umi menatap serius, tatapannya lembut.
“Menurut Adlan, ada banyak faktor yang
menyebabkan degradasi moral ini.” Adlan memperbaiki posisi duduk.
“Globalisasi yang tak tersaring sempurna,
media masa yang banyak menayangkan program-program tak mendidik, hal-hal
negatif yang bisa diakses di internet secara bebas dan mudah, narkoba yang
semakin menjamur akibat kong-kalikong para oknum yang seharusnya menegakkan
hukum,..”Adlan menghela nafas.
“Untuk yang terakhir ini Adlan sempat kaget
ketika membaca salah satu berita utama di surat kabar langganan Abah. Seorang
bandar narkoba masih bisa mengontrol jual beli barang terlarang tersebut meski
dia telah meringkuk di dalam buih. Tidak mungkin hal ini bisa dilakukan kalau
tidak ada campur tangan oknum penegak hukum.” Ia menggeleng-gelengkan kepala.
“Hal-hal seperti itu sebenarnya sudah cukup
miris untuk mengukur seberapa parahnya keadaan bangsa kita sekarang ini. Namun
demikian, tidak bisa dipungkiri kalau masih banyak hal-hal negatif lain yang
juga memiliki andil besar dalam perusakan moral bangsa. Yang lebih parahnya
lagi, para pemuda yang jelas-jelas menjadi sasaran utama perusakan moral
tersebut seakan tutup mata, bahkan mereka dengan bangga menyambut budaya-budaya
negatif bangsa barat dengan tangan terbuka. Salah satunya kebebasan. Mereka
menggembar-gemborkan kebebasan atas nama HAM. Mereka menuntut hak asasi mereka
dipenuhi dan dihormati tanpa menilik kewajiban asasi mereka telah ditunaikan
atau belum. Bukankah ini keliru? Maka yang terjadi adalah hilangnya rasa hormat
anak kepada orang tua, murid kepada guru, juga yang muda kepada yang tua.
Dengan demikian, para orang tua dan guru seolah telah kehilangan separuh alat
didik mereka yang mutakhir.”
Umi menatap penasaran, pandangannya penuh
antusias.
“Saat seorang anak terlalu nakal dan tidak
bisa disetir dengan omongan atau nasihat, maka alat didik yang paling ampuh
saat itu adalah rotan, penggaris, dan benda-benda keras lain yang bisa
digunakan untuk memukul. Tapi ketika alat-alat itu digunakan, anak-anak akan
meneriakkan HAM, juga para murid, mereka akan berlari dan berlindung di balik
benteng HAM. Jika sudah demikian, mereka akan semakin tenggelam dengan
kenakalan dan kebebasan liar mereka di bawah perlindungan dan jaminan HAM.”
Umi manggut-manggut.
“Kamu punya bukti tentang analisis ini?” Tanya
Umi.
“Salah satu diantaranya adalah berita yang
pernah muncul di kolom kriminalitas koran Central Java News. Seorang guru ngaji
di daerah kudus dipenjara satu tahun setengah gara-gara terbukti memukul anak didiknya
dengan rotan. Jika kita membayangkan efek dari penegakan HAM yang keliru ini,
tentu tak akan ada lagi guru ngaji yang berani mengayunkan rotan, guru-guru di
sekolahan tak berani menyabetkan penggaris, dan para orang tua hanya bisa
menahan tangan saat anak-anak mereka terlalu liar. Dari sini Adlan semakin
paham apa yang dimaksud dalam hadis Nabi, “rahimaLlahu imroan ‘allaqo fi
baitihi sauthon yu addibu bihi ahlahu,[1]
semoga Allah memberikan rahmatNya kepada orang yang menggantungkan pecut di
dalam rumahnya untuk mendidik keluarganya,” maka salah jika ada orang yang
mengatakan islam itu agama yang keras dengan membolehkan seorang suami memukul
istrinya, orang tua memukul anaknya, dan guru memukul muridnya. Padahal
sebaliknya, islam itu agama yang lembut, agama yang tidak membolehkan seorang
anak durhaka kepada orang tua, murid
kurang ajar kepada guru, dan istri membangkang kepada suami.”
“Analisis kamu bagus, Adlan. Benar jika bangsa
kita sekarang dikatakan sangat memprihatinkan, kerusakan-kerusakan yang kamu paparkan
tadi juga memang sudah menjamur. Namun jika hanya sebatas analisis tanpa
memberi penyelesaian masalahnya, percuma. Kamu harus memikirkan juga jalan
keluarnya.” Umi menanggapi.
“Adlan belum berpikir sampai sejauh itu, Mi.”
Ungkap Adlan jujur.
“Begini, Adlan. Kamu tentu tahu keadaan
Indonesia zaman dulu. Di masa-masa akhir Belanda bercokol di bumi pertiwi,
sangat banyak bermunculan tokoh-tokoh pemuda. Di sana-sini orang rela
menyumbang darah dan nyawa demi terlepasnya tanah air dari cengkraman kuku-kuku
tajam kaum imperialis. Rasa nasionalis begitu kental, persatuan begitu kuat,
rasa senasib sepenanggungan pun menjadi ruh yang sangat melekat rekat di dalam
jiwa setiap orang. Tujuan mereka hanya satu, cita-cita mereka hanya satu,
MERDEKA.” Umi menyipitkan matanya, serius.
“Demi meraih tujuan itu mereka bersatu padu
mengumpulkan kekuatan untuk melawan penjajah, baik dalam sektor diplomasi
maupun serangan lapangan. Kamu pikir mereka bisa bersatu padu dengan
sendirinya? Apakah api jihad yang berkobar dahsyat di dalam dada mereka
tersulut begitu saja tanpa ada yang menyalakan?”
Adlan terdiam, alisnya mengernyit, berpikir.
“Ada dalang penggerak di balik itu semua.”
Tukasnya.
“Benar sekali. Dan dalang-dalang penggerak
rakyat saat itu adalah para ulama. Ada yang bergerak dalam sektor diplomasi
seperti al Habib Jindan dari jakarta, Syeh Ahmad Dahlan, Kyai Hasyim Asy’ari,
dan lainnya. Ada pula yang memimpin langsung peperangan di medan tempur seperti
Imam Bondjol, Pangeran Diponegoro, dan yang lainnya. Mereka berdiri di
barisan-barisan paling depan sebagai penyulut api jihad. Kalimat-kalimat mereka
merasuk ke setiap sendi-sendi jiwa rakyat Indonesia, memperkuat tekad mereka
dalam perjuangan suci merebut kemerdekaan. Sekarang coba kamu pikirkan, mana
yang lebih kuat rasa nasionalismenya, bangsa Indonesia sekarang atau bangsa
Indonesia di zaman perjuangan?”
“Jelas
bangsa Indonesia di zaman perjuangan lah, Mi”
“Dengan demikian, manakah yang lebih mulia,
moral pemuda sekarang atau moral pemuda di masa perjuangan?”
“Moral pemuda di zaman perjuangan jelas lebih
mulia, kemerdekaan Indonesialah saksi kesungguhan dan keikhlasan perjuangan
suci yang telah mereka berikan sebagai hadiah terindah bagi anak cucu bangsa.”
Umi tersenyum.
“Ketahuilah Adlan, itu semua karena mereka
dekat dengan ulama. Mereka sangat patuh dengan apa yang dikatakan ulama,
sedangkan para ulamanya sendiri tidaklah memberi anjuran kepada orang-orang
kecuali yang membangun moral dan akhlak. Itulah misi mereka, misi yang sama
dengan yang dibawa oleh RasuluLlah, “innamaa bu’itstu li utammima makaarimal
akhlaaq,”[2]
sesungguhnya aku diutus tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak. Dari
sini kita bisa membandingkan, moral bangsa zaman dulu termasuk para pemudanya
yang berada di bawah naungan para ulama itu jauh lebih mulia dari pada
kebanyakan orang zaman sekarang yang malah lari dari naungan para ulama.”
Adlan mengangguk-anggukkan kepala.
“Adlan setuju dengan pemikiran Umi. Mungkin
ini akan menjadi paragraf tambahan untuk artikel Adlan, tapi,..” tangannya memegang dagu.
“Tapi kenapa?”
“Ulama dulu dengan yang sekarang kan berbeda.”
“Berbeda dalam segi apa?”
“Ulama dulu bersatu padu, menyatukan tenaga
dan pikiran untuk tujuan yang sama, rakyat pun mengikuti dan patuh kepada
mereka karena memiliki tujuan yang sama pula. Tapi sekarang? Dari kalangan
ulamanya sendiri, di antara mereka sudah ada yang mulai terjun ke dunia
politik. Memang tujuan mereka baik, untuk mengimbangi derasnya
pemikiran-pemikiran yang tidak sesuai dengan syariat dalam kubu pemerintahan
saat pembuatan kebijakan. Namun di sisi lain dampak buruknya juga tidak bisa
dianggap remeh, yaitu perpecahan umat. Contoh saja, jika ulama A mencalonkan
diri sebagai wakil rakyat di bawah naungan partai X, dan di lain pihak, ulama B
juga mencalonkan diri sebagai wakil rakyat di bawah naungan partai Y, bukankah
ini akan menimbulkan perpecahan para pengikut dan pendukung kedua ulama tersebut?
Bahkan mungkin akan terjadi saling hina di antara mereka. Jika sudah demikian, maka pengaruh
dan nama baik kedua ulama tersebut akan turun di mata masyarakat, kata-kata
mereka pun bukan tidak mungkin akan dianggap sebagai angin lalu saja.”
“Memang benar demikian. Keikutsertaan para
ulama dalam kancah perpolitikan mau tidak mau pasti akan menimbulkan
perpecahan. Dan sebenarnya, ini hanyalah salah satu dari banyak upaya halus
yang dilakukan oleh pihak tertentu untuk menjauhkan masyarakat Indonesia dari
para ulama, dengan menghilangkan pengaruh mereka di mata masyarakat. Upaya
halus yang lain adalah dengan meracuni pemikiran bangsa melalui media-media
masa. Mereka membuat acara-acara yang dikemas dengan sangat menarik agar
masyarakat lebih memilih untuk menonton televisi dari pada mengikuti
pengajian-pengajian agama di mushola, masjid, atau majelis ta’lim.”
Adlan terdiam, alisnya mengernyit. Ia
mempertajam analisisnya.
“jika pihak yang ada di belakang upaya-upaya
ini berasal dari bangsa Indonesia sendiri, jelas tidak mungkin.
Sebejat-bejatnya orang Indonesia, dia tidak mungkin menginginkan kehancuran
bangsanya sendiri. Hipotesis yang paling memungkinkan adalah, ini semua
dimotori oleh pihak luar, mungkin bangsa-bangsa barat. Bukankah mereka sedang
gencar-gencarnya melaksanakan berbagai skenario international yang tidak lain
bertujuan untuk mendominasi kekuasaan dunia? Dan semua kerusakan-kerusakan tadi
mungkin termasuk dari skenario-skenario barat tersebut. Ketika bangsa Indonesia
dekat dengan ulama, maka mereka akan menjadi kekuatan yang sangat menakutkan
bagi siapa saja yang berani mengusiknya. Sebagaimana yang terjadi pada masa
perjuangan. Sangking menakutkannya bangsa Indonesia di bawah komando para ulama
tersebut, senapan, meriam, dan mortir-mortir aktif sampai lari tunggang
langgang menghadapi bambu runcing. Tapi dengan hilangnya pengaruh ulama dan
semakin jauhnya bangsa Indonesia dengan mereka, tentu bambu runcing atau bahkan
senjata-senjata modern yang mutakhir sekalipun tak akan lagi menjadi momok yang
menakutkan bagi bangsa-bangsa yang ingin menyerang Indonesia.”
“Lalu bagaimana pendapatmu tentang tentara
Indonesia? Bukankah mereka juga macan yang disiapkan oleh bangsa untuk menjaga
keamanan dan keutuhan tanah air?”
“Menurut Adlan, tentara Indonesia memang
macan, namun jika kita menilik dan membandingkan persenjataan, kemajuan
teknologi, serta kemampuan individu yang dimiliki oleh militer Indonesia dengan
yang dimiliki oleh militer Amerika, Inggris, Prancis, dan negara-negara adidaya
yang lain, maka TNI sama seperti halnya macan yang berhadapan dengan
Tiranosaurus Rex yang kelaparan. Mereka bisa dengan mudah mencabik-cabik
tentara Indonesia lalu menelannya.”
Umi tersenyum melihat analisis-analisis logis
yang diutarakan Adlan.
“Berarti kesimpulannya, dekat jauhnya bangsa
Indonesia dengan ulama, selain sebagai barometer moral bangsa, juga menjadi
tolok ukur kuat lemahnya pertahanan negara.”
“Adlan setuju, Mi.” Tersenyum. Umi pun ikut
tersenyum.
“Sudah, makanannya dimakan dulu, sampai dingin
tuh nasinya. Umi mau ke rumah Mbah Putri , katanya beliau lagi tidak enak
badan. Kamu mau ikut?”
“Adlan di rumah saja, Mi, mau istirahat biar
lukanya cepat pulih. Adlan sudah tidak sabar ingin berangkat sekolah besok.”
“Ya sudah, jaga diri baik-baik di rumah.”
Umi pun beranjak meninggalkan Adlan. Adlan
menutup laptopnya. Ketika hendak menyantap makan siang, tiba-tiba smartphone-nya
yang ia taruh di samping kanan laptop bersin. Satu pesan masuk dari nomor tak
dikenal.
Assalamualaikum,
Adlan. Semoga lenganmu cepat pulih sepenuhnya. Sebelumnya aku minta maaf telah
mengganggu waktu istirahatmu, ada hal yang sangat ingin aku sampaikan. Semenjak
pertama kali aku melihatmu di aula sekolah, tepatnya saat pengumuman hasil
seleksi, entah kenapa aku tertarik padamu. Awalnya aku berusaha untuk membuang
jauh-jauh perasaan itu, namun hatiku memberontak. Bayang wajahmu selalu hadir
hampir di setiap helaan nafasku, baik saat tertidur maupun terjaga. Saat
melihat ketaatanmu menjalankan ibadah, aku semakin tertarik padamu. Kamu berbeda
dengan yang lain. Aku yakin Kamulah sosok yang benar-benar aku butuhkan. Aku ingin
sekali dekat denganmu, mendampingi setiap langkahmu, dan menjadi makmummu dalam
bahtera kehidupan jika Allah menakdirkannya. Aku sadar ini terlalu dini untuk diungkapkan
mengingat usia kita yang masih terlalu muda. Namun rasa takut akan kehilanganmu
memaksaku untuk melakukan hal ini. Adlan, aku mencintaimu. Aku akan menunggu
kesiapan dan kesediaanmu, sampai kapanpun
itu.
Maaf
karena sudah terlalu lancang, Anisa.
Adlan
kaget. Anisa yang dia pikir tak ada rasa sama sekali dengannya ternyata
menyukainya, bahkan dia rela menunggunya sampai siap dan bersedia menikah.
Matanya masih memandang datar layar ponselnya. Ia bingung, jawaban apa yang
harus diberikan? Otaknya berputar keras mencari jawaban yang tepat agar tak
menyinggung perasaan Anisa. Akhirnya Adlan pun memutuskan balasannya,
Semoga
Allah menakdirkan yang terbaik…
@@@@
9. Penculikan
Langit
timur mulai memancar terang. Sinarnya putih menyeruak, redup dan damai.
Matahari bersembunyi malu di balik gumpalan awan-awan tebal. Suasana pagi yang
teduh itu benar-benar penuh ketentraman. Angin semilir berhembus sejuk dari
arah sawah di selatan desa Surokidul. Ranting-ranting dan dedaunan di pohon menari-nari indah. Dedaunannya bergesekan
menciptakan suara gemerisik berirama
alam. Di pelataran samping sebuah rumah Smash biru sedang menyala, memanaskan
mesin.
“Adlan
berangkat dulu, Mi.” mencium punggung telapak tangan Umi, dibalik, lalu mencium
bagian dalam telapaknya. Umi kemudian mencium kening Adlan.
“Kamu
yakin lenganmu benar-benar sudah kering?”
“Asal
tidak terbentur atau tertekan keras, insyAllah akan baik-baik saja.”
“Berarti
belum benar-benar kering kalau begitu.”
“Tak
apa, Mi, yang penting sudah bisa untuk naik motor. Doakan saja Adlan.”
“Ya
sudah, hati-hati.”
“Iya,
Mi, assalamualaikum.”
“Wa’alaikum
salam”
Adlan
menaiki motornya. Gigi dimasukkan, lalu gas ditarik perlahan. Motor berjalan
keluar pelataran. Ban mulai menggilas batu-batu jalanan komplek. Sejurus
kemudiann motor masuk ke jalan raya Abimanyu. Gas ditarik penuh. Hanya butuh
setengah menit untuk speedometer mencapai angka 110 Km/jam.
Tangan
kanan Adlan tak sekalipun mengendurkan tarikannnya. Satu persatu motor, mobil,
dan kendaraan lain yang searah disalip dengan mudah. Matanya tersorot tajam,
tak lepas mengarah ke jalanan di depannya. Adlan tak sadar kalau jarum bahan
bakar telah menyentuh strip merah. Motor terus melaju dengan kecepatan penuh,
sampai akhirnya mesin tiba-tiba mati mendadak. Matanya sekejap melirik ke
indikator bahan bakar,
“Astaghfirullah!
Bensinnya habis?”
Adlan
segera menginjak gigi motornya agar lose, sama seperti menekan kopling.
Laju motor perlahan mengurang, 100 Km/jam, 95 Km/jam, 90 Km/jam, terus dan terus
berkurang.
@@@@
Smansawi
mulai menampakkan kesibukannya. Anak-anak berbondong-bondong memasuki gerbang
utama sekolah. Satpam sekolah terlihat sibuk mengatur lalu lintas di depan
Smansa, membantu para siswa menyeberang jalan. Terlihat sebuah Alphard putih
berhenti di tepi jalan, tepat di depan gereja katolik di samping Smansa. Gadis
cantik berbalut kerudung putih berenda bunga keluar dari pintu belakang mobil.
Ia berjalan menyusuri trotoar depan Smansa lalu masuk ke gerbang utama bersama
siswa-siswi yang lain. Langkahnya terus menapaki batako demi batako pelataran
depan sekolah. Serambi-serambi kelas satu persatu dilaluinya sampai tiba di
depan ruangan bertuliskan Lab. Biologi. Ia pun masuk ke ruangan itu.
Keadaan
kelas sudah ramai dengan obrolan anak-anak. Ada yang membahas Naruto, ada yang
asik membicarakan artis-artis korea, ada juga yang hanya bengong menopang dagu
di atas meja kelas.
“Aisyah?
Ini kamu?” sambut salah satu gadis berseragam putih abu-abu tertutup, lengkap
dengan jilbab putihnya yang lebar.
“Iya,
Salma, ini aku.”
“Aku
tidak sedang bermimpi kan?” Saut gadis di sebelah Salma.
“Apa
perlu aku cubit tanganmu, Melani?”
“Kamu?”
Gadis ketiga yang duduk satu meja dengan Melani dan Salma menunjuk keheranan.
“Kamu
apa, Zahra?”
“Kamu
cantik sekali, seperti bukan Aisyah yang kemarin.” Lanjut Zahra.
Muka
Aisyah merona merah, senyum malunya tersungging mendengar pujian dari
teman-temannya. Aisyah lalu duduk di kursi keempat meja tersebut. Mereka
langsung tenggelam dalam pembicaraan ngalor-ngidul seperti yang lain.
“Anisa
tidak berangkat denganmu Aisyah?” Tanya Melani.
“Dia
sedang tidak enak badan. Dia tidak masuk hari ini.”
“Yaah,
berarti kita gagal nge-game bareng di MC dong?”
“Tidak,
kita tetap nge-game di MC sepulang sekolah nanti. Aku sudah terlanjur bilang ke
sopirku agar menjemputku sore-sorean.”
Mereka
melanjutkan percakapan dengan tema yang lain, busana. Dalam hal ini Melani yang
lebih banyak mendominasi percakapan, dia lah yang paling up to date
tentang segala bentuk dan model busana remaja. Di sepanjang percakapan Zahra
terus memperhatikan Aisyah. Matanya tak sekejap pun berlabuh selain di wajah Aisyah.
Bahkan kipas angin kelas pun tak kuasa membuat matanya berkedip. Aisyah
menyadari hal itu.
“Kenapa,
Zahra? Ada yang aneh denganku?”
Zahra
terhenti dari lamunannya.
“Eh,
tidak, tidak ada kok, Syah. Aku cuma iri sama kamu.”
“Iri?
Iri kenapa?”
“Aku
belum pernah melihat perempuan berkerudung yang secantik kamu.”
“Aduh,
jangan terlalu berlebihan kalau memuji, Zahra, aku jadi malu.”
“Tapi
sayangnya ini bukan pujian, Aisyah, ini kejujuran.” Zahra tersenyum.
“Zahra
saja jatuh cinta sama kamu gara-gara kamu memakai kerudung, apalagi Adlan?”
Celetuk Melani.
Wajah
Aisyah mendadak merah.
“Apaan
sih kamu.” Aisyah menahan senyum.
“Ciee,
Aisyah salting.” Salma menggoda.
“Iih,
apanya yang salting sih, aku biasa saja kok.” Wajah Aisyah makin memerah,
terutama di bagian pipi.
“Itu
buktinya, pipimu jadi merah.” Salma menunjuk pipi Aisyah.
Aisyah
menutup kedua pipinya dengan telapak tangan, tersipu malu luar biasa.
“Sudah,
sudah, kasihan Aisyah, bisa-bisa dia pingsan gara-gara terusan kita ledek.”
Zahra akhirnya membela.
Di
tengah-tengah hangat perbincangan berbumbu ledekan tersebut, Bu Muzayanah
datang.
“Assalamualaikum
anak-anak?”
“Waalaikum
salam wa rahmatullahi wa barokatuh.” Jawab anak-anak serempak.
“Bagaimana
kabar kalian?” Tanya Bu Muzayanah, memulai dengan keakraban.
“Alhamdulillah
baik, Bu.” Jawab anak-anak kompak.
“Baiklah,
hari ini kita akan mempelajari bab tentang hewan avertebrata, kalian baca dulu
materinya di halaman tiga puluh empat sampai empat puluh dua.”
Anak-anak
lalu membuka buku paket biologinya sesuai dengan halaman yang diinstruksikan Bu
Muzayanah. Mereka mulai sibuk membaca isi materi tentang avertebrata dan semua
yang berkaitan dengannya. Aisyah celingukan ke samping dan ke belakang,
Mungkin
lengannya belum sembuh, gumam Aisyah
dalam hati.
Sepuluh
menit telah berlalu. Bu Muzayanah mulai menerangkan materi. Penjelasannya
sangat detail. Sesekali anak-anak mencatat hal yang mereka anggap penting. Di
tengah-tengah penjelasan tiba-tiba Adlan datang,
“Assalamualaikum?”
Adlan menghampiri Bu Muzayanah. Seragam putihnya basah oleh keringat.
“Maaf
atas keterlambatan saya, Bu. Motor Saya kehabisan bensin di tengah jalan, dan
Saya terpaksa menuntunnya sampai ke sekolah karena tak menemukan SPBU.”
“Iya,
tidak apa-apa. Silahkan duduk.” Bu Muzayanah ramah mempersilahkan Adlan.
“Terimakasih,
Bu.”
Adlan
menuju ke kursi yang masih kosong, tepat di sebelah Waiz. Saat hendak duduk,
sekilas ia melihat ada anak baru yang duduk di kursi dekat patung anatomi
rangka manusia, duduk bersama Salma, Melani, dan Zahra. Adlan menaruh tasnya di
atas meja lalu duduk.
“Pembahasannya
apa, Iz? Halaman berapa?” Tanya Adlan sambil mengeluarkan buku paket biologinya
dari tas.
“Avertebrata,
halaman tiga empat sampai empat dua. Bagaimana lenganmu, Lan?”
“Alhamdulillah,
lukanya sudah kering, meskipun belum total. Dari mana kamu tahu lenganku luka?”
“Semuanya
tahu tentang keadaan yang menimpamu. Kemarin anak-anak ramai membicarakan keheroikanmu
di Suniarsih.”
“Apa?
Siapa yang cerita?”
“Awalnya
Aisyah bercerita kepada Nisa, lalu Salma dan teman-temannya yang lain ikut
mendengarkan. Terus mereka menceritakannya lagi ke yang lain sampai kejadian
itu menjadi Hot news di kelas kita.”
“Astaghfirullah,
kok jadi begini, sih?”
“Kenapa
memangnya?”
“Ya
aku malu lah.”
“Kok
malu sih? Harusnya kamu bangga bisa menyelamatkan harga diri seorang perempuan,
cantik lagi.” Waiz tersenyum, meledek Adlan.
“Aduh,
Iz, kamu apa-apaan sih.”
“Hei
mas-mas yang di pojok, jangan sibuk bicara sendiri yah!” Bu Muzayanah
memperingatkan dengan suara lembutnya yang khas.
Waiz
dan Adlan langsung tertunduk malu, meminta maaf.
“Kamu
sih.” Adlan menyikut Waiz.
Mereka
lalu mendengarkan penjelasan yang diuraikan Bu Muzayanah. Di tengah penjelasan,
Adlan penasaran dengan siswi baru yang duduk bersama dengan teman-teman Aisyah
itu. Ia menoleh ke meja di pojok kanan. Matanya ia tujukan ke arah siswi baru
itu.
“Subhanallah!
Aisyah?” Gumamnya lirih. Seolah tak percaya dengan apa yang barusan ia lihat,
Adlan mengucek matanya lalu melihat kembali ke pojok kanan.
“Ya
Allah, benar, itu Aisyah, cantik sakali dia. Kerudung putih yang ia pakai
membuatnya jauh lebih cantik dan anggun. Apa seperti ini kecantikan bidadari
surga yah?” Katanya dalam hati.
Mata
Adlan seolah tertarik kuat oleh magnet yang dipancarkan wajah Aisyah. Pesona
kecantikan alaminya yang terbalut indah oleh kerudung putih membuat Adlan
enggan memindahkan pandangannya. Aisyah lalu menengok ke arah Adlan. Pandangan
keduanya bertemu. Seketika Adlan dan Aisyah langsung memalingkan pandangan.
Wajah keduanya memerah. Senyum tipis tersungging dari bibir Aisyah. Ia
merundukkan kepalanya, menyembunyikan rona wajahnya yang tersipu malu.
Sedangkan Adlan menutupi senyumnya dengan tangan sambil berpura-pura
memperhatikan Bu Muzayanah yang masih
sibuk menerangkan.
Bel
jam kedua berbunyi. Anak-anak keluar dari kelas biologi menuju ke kelas
terbuka, olahraga. Mereka pergi ke ruang ganti di sebelah kantin. Tak lama
setelah itu, dengan pakaian yang telah berubah menjadi kaos olahraga berwarna
biru langit mereka berlarian ke lapangan timur. Pak Felix Suhendar telah
berdiri menunggu di tepi lapangan. Anak-anak langsung membentuk barisan. Putra
di sebelah kanan, sedang putri di kiri.
Pak
Felix menerangkan teknik-teknik dasar dalam melempar bola basket. Berbagai
teori dijelaskan dengan lugas dan tegas, dari mulai cara memegang bola, posisi
kaki, posisi siku sampai cara melompat. Setelah dikira
cukup, Pak Felix mengabsen satu persatu anak kelas X.9 untuk mempraktekkan
teori-teori tadi. Satu persatu maju sesuai urutan absennya sampai anak
terakhir. Pak Felix lalu menutup pertemuan.
Istirahat masih lima belas
menit lagi, anak-anak dibebaskan untuk beristirahat lebih awal. Di antara
mereka ada yang pergi ke kantin, ada yang ke toilet, ada yang langsung ke ruang
ganti, dan ada pula yang ke masjid.
Waiz mengajak Adlan ke
masjid. Dengan senang hati dia menyambut ajakan Waiz. Semilir angin di teras
masjid pasti akan membuat seragam olahraga mereka cepat kering, pikir Waiz.
Sambil menghilangkan
keringat, mereka berdua berbincang, duduk-duduk di teras masjid.
“Lan, siang ini kamu ada
acara?”
“Tidak ada, kenapa
memangnya?”
“Aku ingin cerita sesuatu.”
“Cerita apa?”
“Aku sedang ada masalah, aku butuh
solusi.”
“Sepertinya penting sekali, masalah
apa kalau boleh tahu?”
“Nanti saja ceritanya,
setelah jam pulang kita ke MC, kita bicara sambil minum es dawet di food zone,
bisa kan?”
“Oke, tapi kita ke sana pakai
Ninjamu yah? Motorku kehabisan bensin.”
“Bisa, nanti sekalian kita
beli bensin buat motormu.”
“Satu lagi.”
“Apa?”
“Aku yang nyetir.”
“Kamu bisa nyetir Ninja?
Berat loh. Apa lagi lenganmu belum pulih benar kan?”
“Jangan remehkan kemampuanku,
kamu lihat saja nanti. Kalau masalah lengan jangan khawatir, jahitannya sudah
kering kok.”
“Baiklah kalau begitu.”
Bel istirahat berbunyi. Adlan
dan Waiz pergi ke ruang ganti. Setelah itu mereka kembali lagi ke masjid untuk
sholat dhuha.
@@@@
TENG!! TENG!!
Jam 13.25 bel pulang
berbunyi. Suara bel yang biasanya terdengar biasa saja, kali itu berbeda. Suara
tersebut telah menyelamatkan anak-anak kelas X.9 dari kebakaran otak. Materi
aritmetika yang dijelaskan oleh Pak Agung Sujayanto benar-benar menuntut otak
untuk berputar lebih cepat. Mereka memacu isi kepala mereka dengan kecepatan
penuh selama satu jam full.
“Kita langsung ke MC?” Tanya
Waiz.
“Ayo, mana kunci motormu?”
Waiz meregoh saku celananya.
Kunci Ninja 4 taknya ia serahkan kepada Adlan. Mereka berdua lalu berjalan ke
luar kelas bersama yang lain, langkah kaki keduanya mengarah ke tempat parkir
siswa.
@@@@
“Kamu yakin bisa?” Tanya Waiz
yang duduk di jok belakang.
“Jangan remehkan Aku, Iz. Kubuktikan
kalau caraku mengendarai lebih baik darimu.”
Adlan lalu menstarter mesin.
Sebagi pemanasan, gas ditarik full. Suara garang keluar dari knalpot Yoshimura
Sang Ninja. Kopling ditarik, gigi dimasukkan.
“Siap?” Tanya Adlan.
“Dari tadi.” Jawab Waiz tak
peduli. Telunjuknya mengorek-ngorek telinga, gatal.
BRUUUMMM..!!!
“Wooyy!! Pelan-pelan
nyetirnya!” Teriak Waiz, ia terkaget. Tangannya mencengkram erat baju Adlan.
Dari parkiran sampai ke gerbang sekolah saja kecepatan motor sampai 65 Km/jam.
“Gila kamu, Lan! Jangan
ngebut nyetirnya!”
“Ngebut? Ini belum apa-apa,
Iz. Aku tunjukkan seperti apa ngebut itu.” Senyum jahatnya mengembang, hehe.
BRUUUMM!!! Ban depan motor
terangkat. Waiz tersentak ke belakang, kaget. Untung cengkraman tangannya kuat,
jadi ia tidak sampai terjatuh.
“AAAAHHH!!! Aku masih ingin
hidup! Aku belum kawin, Gendeng!” teriakan waiz sangat keras.
Motor berakselerasi sangat
cepat, dalam waktu empat detik kecepatannya sudah mencapai 135 Km/jam.
@@@@
Waiz membawa dua gelas besar es
cendol, menaruhnya di meja depan Adlan.
“Pokoknya pulang nanti aku yang
nyetir, titik!” Waiz menggerutu kesal. Menarik kursi di sebelah Adlan lalu
duduk.
“Hahaha, iya-iya, tenang Bro,
jangan marah-marah begitu, damai, peace!” Tertawanya lepas melihat ekspresi
ketakutan yang masih melekat di wajah Waiz.
Waiz hanya mendengus kesal.
Mereka mulai menyantap es
cendol di depan mereka sesendok-sesendok. Suara musik dari game zone yang tak
terlalau jauh dari tempat duduk mereka menjadi background percakapan. Mereka
ngobrol kesana-kemari, membahas banyak hal.
“Apa yang mau kamu ceritakan,
Iz?”
Setelah lima belas menit
obrolan ngalor-ngidul, akhirnya Adlan menyinggung tema utama yang menyebabkan
keberadaan mereka di situ.
“Jadi begini, Lan..” Waiz
menelan es cendol yang tersisa di mulutnya. Ia menarik nafas dalam-dalam lalu
menghembuskannya kembali. Cerita dimulai.
“Sejak kelas satu SMP aku sudah
pacaran dengan seseorang. Aku dan dia sangat dekat, kami saling mencintai satu
sama lain. Aku selalu membantunya setiap kali dia membutuhkanku, begitu pula
sebaliknya. Aku sudah sangat serius dengannya. Aku bilang padanya kalau selulus
SMP akan mendaftar ke Smansawi, lalu melanjutkan ke perguruan tinggi ikatan
dinas agar bisa langsung mendapat pekerjaan. Aku ingin secepatnya menikahinya.
Dia hanya tersenyum mendengar planning masa depanku. Aku menganggap itu sebagai
tanda persetujuan darinya. akupun berusaha keras agar bisa masuk Smansawi. Saat
melihat pengumuman hasil tes, aku senang sekali. Aku diterima, bahkan aku berada
di posisi sepuluh besar. akupun mengabari dia. Dan, Kebahagiaanku semakin besar
ketika tahu ternyata dia juga diterima di Smansawi.”
“Memangnya kamu tidak tahu
sebelumnya kalau dia mendaftar di Smansawi?” Adlan memotong.
“Awalnya aku mengira dia akan
mendaftar di SMA 3 Slawi, tapi ternyata takdir berkata lain. Temannya yang baru
datang dari luar kota memaksanya untuk menemaninya mendaftar di Smansawi.
Akhirnya dia pun mau setelah mendapat persetujuan dari orang tuanya. Aku pikir
dengan berada di sekolah yang sama, hubunganku dengannya akan semakin dekat.
Tapi ternyata aku salah, semenjak hari pengumuman itu hubungan kami malah
semakin renggang. Dia selalu menghindar dariku. Setiap kali aku SMS tak pernah
dibalas. Aku pikir dia sedang tidak ada pulsa, maka akupun menelponnya.
Panggilanku direject. Berkali-kali aku menelponnya hasilnya tetap sama. Lalu
tadi pagi dia mengirim SMS. Dia bilang kalau dia ingin putus. Aku kaget, aku tak
tahu kenapa tiba-tiba dia meminta hal itu. Dia tak memberitahuku apa alasannya.
Dia mengambil keputusan secara sepihak. Berkali-kali aku tanyakan alasannya dia
hanya bilang, “tak ada sebab atau alasan apapun, aku cuma ingin putus. Itu
saja.” Aku bingung, Lan. Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak ingin hubungan
yang sudah berjalan tiga tahun hancur begitu saja.”
Adlan terdiam. Dia bingung
mau memberi solusi seperti apa. Pacaran saja tidak pernah, bahkan dia sangat
menjaga diri dari hal itu, sekarang malah ada orang yang minta solusi masalah
pacaran. Adlan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Apa kamu sudah bicara secara
langsung dengannya? Mungkin dengan bertemu, semua bisa dicari kejelasannya.”
“Rencananya hari ini aku mau
mengajaknya ke sini, membicarakan hal itu sambil menikmati es cendol. Tapi
ternyata dia tidak berangkat. Jadi dari pada uang yang aku bawa lebih ini tak
terpakai, aku ajak saja kamu kesini, siapa tahu kamu bisa memberiku solusi.”
Adlan menyantap satu sendok
cendol. Ooh, ternyata ini alasannya mentraktirku, huh. Tapi tak mengapa lah,
yang penting gratis.
“Kalau boleh tahu, pacarmu
itu siapa sih?” Tanya Adlan, mulutnya penuh dengan cendol.
“Dia sekelas dengan kita,
kamu juga mengenalnya kok.”
“Ya siapa?” Bersiap menelan
cendol di mulutnya.
“Anisa.”
Uhukk!!! Adlan
tersedak. Ia kaget mendengar nama itu. Sebagian cendol di mulutnya tersembur ke
meja, sisanya langsung ia telan tanpa dikunyah lagi, dan, satu bulir cendol
masuk ke saluran hidungnya.
“Aduh! Hidungku kemasukan
cendol!” Adlan menekan-nekan hidungnya.
“Coba kamu sedot kuat-kuat
lewat hidung, biar cendolnya masuk ke mulut!” instruksi gugup Waiz.
Tanpa pikir panjang Adlan
langsung melakukannya.
“Masih nyangkut!”
“Sekarang, coba tiup keluar
kencang-kencang lewat hidung!” Instruksi kedua Waiz.
Adlan melakukannya, meniup
kuat-kuat lewat hidung. Satu kali gagal. Dua kali cendol mulai bergerak
mendekati saluran luar hidung. Tiga kali cendol keluar dari lubang hidung
sebelah kiri, menembak begitu kencang ke arah lantai. Ada benda hijau lain yang
menyertainya.
“Alhamdulillah, keluar juga.”
Adlan membersihkan hidung dan mulutnya dengan tisu yang tersedia di meja.
“Makanya hati-hati, kalau mau
bicara cendolnya ditelan dulu!” Tegur Waiz.
“Iya-iya, habis cendolnya
enak sih.” Masih sibuk membersihkan hidungnya.
Jangan-jangan ada hubungannya
dengan SMS Anisa yang kemarin. Apa mungkin Anisa ingin putus dengan Waiz
gara-gara aku? Gumam Adlan dalam hati. Telunjuknya terus sibuk
membersihkan bagian dalam hidungnya dengan tisu.
“Terus bagaimana menurutmu?”
“Bagaimana apanya?” Sehelai
tisu masih tersumpal di lubang hidung Adlan.
“Masalahku tadi.”
“Masalah yang mana?” Wajahnya
polos.
“Masalahku dengan Anisa,
Adlan!” Waiz kesal. Ia mencabut tisu yang menyumpal di hidung Adlan. Cairan
hijau memercik mengenai tangannya.
“Aduh, sial! Ingus!”
Waiz segera mengambil tisu di
meja, membersihkan tangannya, jijik.
“Hahaha, santai, Bro! jangan
terbawa emosi begitu, aku cuma mencoba membuat suasana sedikit lebih cair.”
“Iya cair, seperti ingusmu!”
“Loh, jangan fitnah kamu, Iz!
Ingusku kental kok.”
“Aah! Sudahlah! Kita kembali
ke masalahku tadi.” Mengambil satu tisu lagi.
“Lalu menurutmu aku harus
bagaimana, Lan?”
Adlan berhenti tertawa. Ia
menarik nafas, lalu membetulkan posisi duduknya, lebih tegak.
“Memang benar, wanita itu
sulit ditebak. Emosi mereka sangat labil, itulah sebabnya mereka sulit menjaga
komitmen. Aku tidak heran jika Anisa atau perempuan lain melakukan hal seperti
itu, apalagi hubungan kalian hanya sebatas pacaran, belum ada ikatan apapun yang
mengikat kalian secara sah. Jika kalian berpisah, sama sekali tak ada beban
moral yang harus ditanggung. Kamu tidak jadi duda, Anisa pun tak harus
menyandang gelar janda. Kalau menurutku, lebih baik kamu ikhlaskan saja dia,
toh kalau kamu tetap mempertahankan hubungan kalian, belum tentu Anisa akan
tetap menerimamu bukan? Kalau menurut logika sehatku, mencintai orang yang tak
mencintai kita itu sakit. Semua yang manis akan terasa pahit, semua keceriaan
akan terganti dengan kesedihan, semangat hidup semakin memudar, hingga akhirnya
semua nikmat dan anugerah Allah yang sebenarnya terbentang luas dan tersedia melimpah
untuk kita tak akan terasa. Terasa saja tidak apalagi disyukuri. Sebagai teman,
aku menyarankanmu untuk menjadi laki-laki sejati. Jangan biarkan dirimu tumbang
hanya karena seorang wanita. Percayalah, jika Anisa memang cinta sejatimu,
kelak dia pasti akan kembali lagi kepadamu dengan cara yang mengagumkan, dan
jika bukan dia orangnya, maka akan ada seseorang yang jauh lebih baik darinya[1], yang bisa kamu cintai
dengan halal, yang bisa kamu belai dengan halal, yang akan memenuhi hidupmu
dengan kebahagiaan, bukan sebaliknya. Ingatlah, urusan cinta yang sejati itu
selalu sederhana, kawan, jangan kamu persulit sendiri.” Kini Adlan terlihat
lebih dewasa dari sebelumnya.
“Tapi itu sulit, Lan. Aku terlalu
sayang sama Anisa.”
“Jangan kamu paksakan,
pelan-pelan saja, berjalannya waktu pasti akan menghapus luka yang ada di
hatimu.”
“Aku tidak bisa, Lan.” Mata Waiz
mulai berkaca-kaca.
“Kamu bukan tidak bisa, Iz,
tapi tidak mau. Kamu masih kalah dengan nafsumu yang ingin terus mempertahankan
Anisa. Bukalah matamu, jangan sampai logikamu dibutakan oleh cinta, itu hanya
pantas untuk laki-laki lemah.”
“Entahlah, mungkin kamu benar.
Karena cinta logikaku jadi buta, karena cinta aku jadi lemah, dan karena cinta
pula, aku masih ingin Anisa tetap di sampingku.” Air mata Waiz meleleh.
“Sepertinya percuma saja aku terus
menerus memberikan saran kepada orang yang tak bisa berpikir denga logika
normalnya. Lebih baik kamu pikirkan saja dulu nasihatku. Untuk sekarang ini
cara pikirmu, ucapanmu, dan suasana hatimu masih didominasi oleh cinta, kamu belum
bisa berpikir jernih. Nanti kalau keadaanmu sudah stabil, baru ambillah langkahmu.
Dan jangan lupa, sebagai seorang muslim kamu juga harus menimbang-nimbang
keputusanmu dengan neraca syariat.”
Waiz terdiam lama, memikirkan
apa yang Adlan ucapkan. Sejenak kemudian dia mengangguk, setuju. Ia mengusap
air matanya.
“Terimakasih, Lan. Pendapatmu
sangat logis, Logikaku pun menerimanya, tapi perasaanku masih mati-matian
menolak. Semoga Allah membantuku untuk melepaskan diri dari jerat yang menyakitkan ini.”
Adlan mengamini harapan Waiz.
Mereka lalu menyendoki kembali cendol yang masih tersisa. Lima menit kemudian
cendol pun habis. Waiz beranjak dari tempat duduknya untuk membayar dua gelas
es cendol di kasir. Ketika berdiri, sepatunya menginjak lantai yang basah
karena cendol yang tersembur saat Adlan tersedak tadi. Ia terpeleset, jatuh. Tangan
kanannya membentur meja, dan tangan kirinya menghujam keras ke lantai. Aaaahh!!!
Teriaknya kesakitan.
“Innalillah!” Reflek Adlan.
Ia segera menolong temannya
itu, mendudukkan Waiz di kursinya lagi. Waiz memegangi tangan kirinya, meringis
kesakitan.
“Kamu tidak apa-apa, Iz?”
“Sepertinya tangan kiriku
keseleo.”
“Tapi masih bisa digerakkan
kan?”
“Masih, tapi sakit.”
“Terus kamu pulangnya
bagaimana?”
“Sepertinya kita harus
bertukar motor dulu, Lan. Aku tak mungkin bisa mengendarai motor berkopling
dengan tangan kiri seperti ini.”
“Baiklah kalau begitu.”
@@@@
“Kamu yakin bisa ?” Tanya
Adlan dari atas Ninja putih.
“Jangan remehkan aku, kalau
hanya Smash seperti ini sih gampang meskipun dengan tangan satu.” Jawab Waiz
dari atas Smash biru milik Adlan.
Waiz melajukan motor.
Perlahan tapi pasti, motor keluar dari parkiran sekolah menuju gerbang utama.
Tangan kanannya tersendat kaku memegang stir. Adlan mengikuti dari belakang.
Di depan gerbang, Adlan dan
Waiz menghentikan motor. Mereka berdua berjabat tangan. Setelah itu Waiz
melajukan motor ke lajur selatan, pelan. Adlan memperhatikan temannya itu dari
atas tunggangannya. Sepertinya Waiz memang mampu mengandarai motorku,
pikirnya. Waiz lalu hilang di tikungan.
Adlan memasang tali helmnya.
Ia menarik gas, mengarahkan motor ke arah yang berlawanan dengan Waiz tadi, ke
lajur utara. Beberapa meter motor berjalan, Adlan melihat Aisyah sedang berdiri
di depan sana. Nampaknya sedang menunggu jemputan. Adlan berhenti, ia
mengamati Aisyah dari jauh.
Tiba-tiba sebuah mobil Avanza
hitam berhenti persis di depan Aisyah berdiri. Satu orang bertubuh tinggi besar
keluar dari pintu belakang. Dengan sigap ia meringkus Aisyah, membawanya masuk
ke dalam mobil. Pintu mobil di tutup. Avanza langsung melaju kencang ke arah
utara.
Aisyah diculik. Kejadiannya
begitu cepat. Adlan langsung tancap gas mengejar Avanza hitam itu. Mesin Ninja
meraung garang. Roda depan terangkat beberapa jengkal selama lima detik lalu
jatuh lagi mencengkram aspal jalanan.
Mobil melaju sangat kencang
di depan sana. Adlan menggeber tunggangannya sampai di kisaran 147 Km/jam.
Hanya butuh waktu dua menit, jarak Adlan dengan mobil tersebut sudah semakin
dekat. Adlan mengurangi kecepatan guna menjaga jarak. Ia terus membuntuti
Avanza itu dari belakang.
Aku tak mungkin memepet agar
mobil berhenti, tungganganku jelas kalah body. Yang bisa ku lakukan hanya terus
membuntuti dan menjaga jarak, menunggu sampai mereka berhenti, pikirnya.
Mobil melintas di pantura,
melaju ke arah timur. Matahari mulai tenggelam. Mobil terus melaju ke arah
Pekalongan. Adlan setia membuntuti di belakang dengan jarak yang cukup aman
dari kecurigaan pembuntutan.
Hari semakin petang, kini
mobil telah sampai di Semarang. Di jalanan yang bertepi hutan jati, mobil
berbelok ke kiri, masuk ke jalan yang lebih kecil. Pepohonan semakin lebat.
Jalannya sudah tidak lagi beraspal. Mobil berjalan semakin pelan memasuki
kawasan bebas penduduk. Suasananya gelap, tak ada penerangan sama sekali selain
lampu mobil.
Adlan mematikan lampu
motornya agar tidak ketahuan. Ia berada tiga puluhan meter di belakang mobil,
berjalan dengan mengingat rute yang
dilalui mobil Avanza. Sesaat kemudian mobil berhenti. Dari kejauhan Adlan pun
menghentikan motornya. Empat orang keluar dari mobil. Tubuh mereka tinggi besar
seperti tukang pukul. Satu diantaranya memanggul Aisyah di pundak kirinya.
Aisyah tak sadarkan diri. Rambutnya menjuntai ke bawah, tak lagi tertutup kerudung.
Seseorang yang berjalan paling depan menerangi jalan dengan senter. Adlan masih
mengawasi dari kejauhan. Mereka lalu masuk ke sebuah rumah kayu.
Adlan mengeluarkan smartphone-nya
dari saku celana. Ia lalu berjalan ke rumah kayu tersebut dengan flash
ponselnya sebagai penerang jalan. Di kawasan tersebut hanya rumah kayu itu yang
memancarkan cahaya lampu, putih redup di tengah-tengah kegelapan hutan. Jelas
bukan dari listrik perumahan karena tidak ada satu rumah pun di sekelilingnya, juga
kabel atau tiang listrik, yang ada hanya hamparan pohon jati.
Adlan mencari celah untuk
mengintip ke dalam rumah kayu. Ia melihat Aisyah dalam keadaan terikat di
sebuah kursi kayu. Mulut dan matanya tertutup. Ia masih belum sadarkan diri.
Kepalanya jatuh lemas ke pundak kiri. Sebuah lampu neon charge diletakkan
di atas meja di tengah ruangan sebagai satu-satunya sumber cahaya. Tiga orang
nampak sedang melepas penat, duduk bersender di sebuah sofa panjang. Seorang
lagi sedang mencoba menghubungi seseorang dengan ponselnya. Laki-laki berjaket
kulit warna cokelat dengan rambut kuncir itu terlihat kesal. Ia
mengibas-ngibaskan Hpnya, mencari sinyal. Setelah beberapa menit telepon
akhirnya tersambung.
“Halo, Bos. Target sudah ada
di tangan, tinggal menunggu perintah selanjutnya.”
Kemudian orang itu diam,
kepalanya manggut-manggut mendengarkan suara dari seberang sana.
“Iya,
Bos, sudah.” Katanya.
Kembali mendengarkan. Kali
ini dia berjalan mendekati meja tengah.
“Tidak, Bos. Target sesuai
dengan foto yang bos berikan. Awalnya Kami memang kebingungan karena dia
memakai kerudung, tapi setelah Kami amati lebih dekat ternyata benar, dia
Aisyah, anak wakil direktur perusahaan yang menjadi rival utama perusahaan
bos.”
Oh, ternyata mereka
orang suruhan rival bisnis Papanya
Aisyah, gumam Adlan.
Orang itu masih diam mendengarkan. Manggut-manggut.
“Oke, Bos. Siap!”
Telepon lalu ditutup.
“Andre, Cimong, ikut aku! Dan
kamu, Jambrong, jaga baik-baik anak itu. Ingat, jangan kamu apa-apakan dia!”
Perintah Si Rambut kuncir.
“Siap, Kang!” Jawab laki-laki
dengan brewok lebat dan tato kepinding di lengan kanannya.
Dua orang berdiri dari sofa,
satu bergaya rambut klimis rapi, dan yang satu lagi botak. Keduanya lalu keluar
dengan Si Rambut kuncir. Adlan bersembunyi di balik dinding samping rumah kayu
itu. Keadaan yang gelap membuat persembunyiannya benar-benar sempurna. Tiga
penjahat itu berjalan ke arah mobil Avanza tanpa sedikitpun menyadari
keberadaan Adlan. Setelah masuk mobil, mereka lalu pergi entah kemana.
Adlan kembali mengintip ke
dalam rumah kayu. Lelaki bernama Jambrong itu nampak sibuk dengan ponselnya.
Sesaat kemudian ia merogoh ke dalam jaket hitam yang dikenakannya, mengeluarkan
pistol dan menaruhnya di atas meja.
Sepertinya setiap orang dari
mereka memegang senjata, gumamnya lirih.
Ia kembali mengamati ke dalam
ruangan, menunggu kesempatan yang tepat untuk membebaskan Aisyah. Jambrong
sekarang berdiri dari sofa, berjalan mendekati Aisyah yang masih tak sadarkan
diri. Ia membuka penutup mata Aisyah, lalu lakban di mulutnya. Lakban itu
begitu rekat. Saat Jambrong membukanya, Aisyah tersadar dan langsung menjerit
kesakitan.
“Menjeritlah
sekeras-kerasnya! Tak akan ada yang mendengarmu di tengah hutan seperti ini.”
Jambrong tersenyum jahat. Pandangannya tajam mengarah ke wajah Aisyah.
“Lepaskan aku penjahat! Apa
maumu!” Aisyah berteriak histeris, ketakutan. Air matanya mengalir.
“Ini semua salah ayahmu.
Kalau saja dia mau menjual tiga hotel yang di bali itu kepada bos besar kami,
tentu Kami tidak akan mengambil langkah picik seperti ini. Tapi apa mau dikata?
Ayahmu telah memilih pilihannya sendiri.”
“Ketiga hotel itu bukan milik
ayahku, dia cuma wakil direktur, tidak lebih!”
“Kamu tidak tahu apa-apa soal
urusan ini. Meskipun ayahmu hanya seorang wakil direktur, tapi semua surat
kepemilikan hotel-hotel itu sudah dikuasakan kepadanya. Memang hebat ayahmu,
akupun mengakuinya. Dengan kejujuran dan kerja kerasnya dia sampai diberi
kepercayaan sebesar itu.”
“Lalu kalian mau memaksa
ayahku untuk menjual ketiga hotel itu dengan mengancam akan membunuhku? Hah!”
“Hahaha, pintar juga kau
rupanya.” Tertawa jahat.
“Trik kuno! Orang bodoh pun
tahu skenario usang seperti itu!”
Jambrong menatap Aisyah
semakin tajam. Giginya bergerutuk.
“Iya, skenario ini memang
kuno dan usang, tapi ini selalu ampuh.”
Jambrong lalu memegang dagu
Aisyah. Menatap wajahnya dalam-dalam, lalu tersenyum.
“Cantik juga kau ini.” Senyum
jambrong melebar.
“Jangan sentuh aku,
Penjahat!” Aisyah mengelakkan kepalanya.
“Aku bisa melakukan apapun
yang aku mau. Kang Kobat sedang ke Gunungpati menjemput bos besar, di sini
hanya ada kau dan aku. Kang Kobat memang bilang agar kau tidak diapa-apakan,
tapi jika hanya mencicipi bibirmu saja pasti tak akan ada bekasnya bukan?”
Jambrong mendekatkan wajahnya
ke wajah Aisyah. Aisyah memalingkan wajahnya. Jambrong lalu memegang kepala
Aisyah. Kepala Aisyah kini dalam kuasanya. Aisyah menutup mulutnya rapat-rapat.
Matanya terpejam. Laki-laki berbrewok lebat itu kembali mendekatkan wajahnya,
semakin dan semakin dekat dengan wajah Aisyah. Tinggal beberapa centi lagi
bibirnya akan mendarat di mulut Aisyah yang masih tertutup rapat.
BLAKKK!!!
Sebuah balok kayu menghantam
punggung Jambrong, sangking kerasnya sampai patah menjadi dua. Ia tersungkur ke
lantai. Tubuhnya tak bergerak, sepertinya pingsan.
“Adlan? Bagaimana bisa?”
Aisyah kaget melihat kedatangan Adlan, suaranya tercekat.
“Penjelasannya nanti saja.”
Adlan langsung sibuk melepas
ikatan yang melekatkan tubuh Aisyah dengan kursi yang didudukinya.
“Adlan awas!” Teriak Aisyah.
Bogem mentah langsung
menghantam punggung Adlan. Jambrong ternyata tidak pingsan, dia masih sadar.
Sekarang giliran Adlan yang tersungkur di atas lantai. Jambrong segera
menghampiri Adlan yang masih meringis kesakitan. Ia mencengkram kuat leher
Adlan dengan kedua tangannya. Adlan benar-benar tak berdaya di bawah tindihan
laki-laki bertubuh besar itu. Tangannya berusaha melepaskan cekikan yang
membuatnya tak bisa bernafas.
Pergulatan itu sangat tidak
seimbang. Ukuran badan Adlan dan Jambrong
terpaut jauh berbeda. Adlan semakin payah. Tangan kanannya menggerayangi
lantai di sekitarnya, mencari apa saja yang bisa diambil. Dapat. Potongan balok
kayu tadi terjamah olehnya. Adlan segera mengayunkannya ke kepala Jambrong
sekeras-kerasnya. Jambrong terguling ke samping. Darah meleleh dari luka
hantaman tersebut, mengecat sebagian wajah, telinga, leher, dan bajunya dengan
warna merah.
“Anak SMA bangsat!”
Teriaknya.
Jambrong mengambil pisau dari
balik celananya. Adlan bersiap. Ia meningkatkan konsentrasi bertarungnya. Kini
lawanku memegang senjata, aku harus lebih waspada. Jambrong lalu menyerang
secara membabibuta. Dengan lincah Adlan menghindari tiap serangannya. Tubuh
besar Jambrong membuat gerakan dan serangannya tak terlalu gesit.
Satu hujaman pisau mengarah
ke leher Adlan, ia merunduk, lalu dengan keras menghantamkan kepalan tangan
kanannya ke bagian vital Jambrong.
AAAAHHH!!!!
Jambrong meraung kesakitan.
Pisaunya terlepas, jatuh ke lantai. Ia berlutut dengan kedua tangan memegangi
alat vitalnya. Adlan melompat, tendangan berputarnya mendarat keras di pelipis
kanan Jambrong. Jambrong terguling di atas lantai. Dengan payah ia berusaha
bangkit. Adlan segera mengambil kursi kayu di salah satu pojok ruangan lalu
menghantamkannya sampai hancur ke kepala bagian belakang Jambrong. Jambrong
kembali tersungkur. Darah mengalir dari luka
di bagian belakang kepalanya.
Kini ia tak bergerak sama
sekali. Adlan bernafas tersengal-sengal. Ia tendang-tendang lemah tubuh
Jambrong, memastikan kalau dia benar-benar tidak akan bangun lagi. Adlan lalu
berbalik arah, berjalan mendekati Aisyah yang masih terikat di kursi. Aisyah
menangis, air matanya deras mengalir.
“Kenapa menangis?” Adlan
jongkok, melepaskan simpul tali di bagian betis Aisyah.
“Aku takut.” Kata Aisyah
sesunggukan.
“Semua sudah aman, tak ada
yang perlu ditakutkan selama kita bergerak lebih cepat dari kedatangan ketiga
temannya tadi.” Dengan sigap Adlan melepaskan lilitan demi lilitan tali yang
menyatukan tubuh Aisyah dengan kursi.
“Aku tidak takut dengan
kedatangan mereka, aku takut kamu kenapa-napa.”
Adlan terhenyak. Gerakannya
terhenti. Ia menatap Aisyah. Aisyah melihat Adlan dengan bola mata yang masih
banjir dengan tangisan.
“Aku akan baik-baik saja.”
Adlan meneruskan pekerjaannya, melepaskan lilitan yang tinggal sedikit.
“Selesai! Ayo cepat kita
pergi dari sini!” Adlan melangkah ke pintu.
Aisyah masih tetap duduk.
“Ini bukan urusanmu, Adlan, ini
urusan keluargaku. Aku tak mau kamu ikut-ikutan masuk ke dalam bahaya. Jika aku
pergi bersamamu, pasti mereka juga akan mengincarmu.” Tambah Aisyah.
Adlan membalik badan,
berjalan mendekati Aisyah yang belum juga berdiri dari kursinya. Adlan lalu
jongkok tepat di hadapan Aisyah. Pandangannya ke lantai.
“Jika aku ingin aman, aku tidak
akan repot-repot mengikutimu sampai ke sini. Aisyah, ketahuilah, aku akan
melakukan apa saja, bahkan menerjang bahaya sekalipun asal aku bisa memastikan
kalau kamu baik-baik saja.”
Adlan mengangkat
pandangannya. Air mata Aisyah masih mengalir, namun kini sebuah senyuman telah
membentang menghiasi bibirnya. Ia tak mampu mengucapkan sepatah kata pun kala
mendengar kalimat yang keluar dari mulut Adlan. Kalimat yang mewakili perasaan
Adlan yang sebenarnya. Ia tahu kalau Adlan juga mencintainya, dan ia pun tahu
Adlan akan tetap membiarkan cinta itu tak terungkap. Orang seperti Adlan pasti
lebih memilih cintanya tetap suci dan terjaga, indah bersemayam di dalam hati
sampai takdir memberikan jalan yang indah dan terhormat bagi cintanya itu.
“Bagaimana? Kamu mau ikut
denganku?” Tanya Adlan.
Dengan senyuman yang masih
membentang, Aisyah mengangguk.
“Ayo!”
Adlan bangkit, berjalan cepat
ke arah pintu. Aisyah mengikutinya di belakang. Sekalian melangkah, Aisyah
mengambil tasnya yang tergeletak di samping sofa.
“Tunggu sebentar!” Adlan
menghentikan langkah.
Ia mengeluarkan ponsel dari
saku celana abu-abunya. Menyalakan flash, lalu kembali berjalan.
@@@@
Di tengah jalanan yang gelap
bertepi pepohonan jati nan rindang, Ninja putih itu membelah hitamnya malam
dengan dua mata terangnya. Dengan laju 125Km/jam angin malam serasa sangat
kencang menabrak kaca helm si pengemudi, Adlan. Aisyah yang membonceng di
belakang hanya bisa menutup matanya rapat-rapat. Rambut panjangnya berkelebat
hebat ke belakang. Tangannya mencengkram erat seragam putih Adlan. Adlan dan
Aisyah memamg berboncengan, tapi tubuh keduanya tak saling menempel, terpisahkan
oleh kedua tas gendong mereka. Adlan memakainya di punggung, sedangkan Aisyah
di bagian depan tubuhnya.
“Adlan, bisa kamu pelankan
kecepatannya? Aku kedinginan.” Teriak Aisyah.
Adlan tak merespon sama
sekali. Sepertinya suara Aisyah terbawa kabur ke belakang oleh angin jalanan
yang begitu kencang. Ia pun mengulanginya lebih keras.
“Adlan! Bisa lebih pelan
tidak? Aku kedinginan!”
“Apa!” Teriak Adlan. Ia
membuka kaca helmnnya.
“Pelankan motornya! Aku kedinginan!”
Adlan pun menurunkan
kecepatan motor, 93 km/jam. Motor terus melaju
di jalanan gelap yang panjang. Setelah beberapa menit, rentetan lampu jalanan
berwarna kuning terlihat di depan sana. Ninja memasuki jalanan terang, namun
tepian jalannya masih di dominasi oleh pepohonan rindang. Hanya sekali dua
bangunan nampak terlintasi. Aisyah melihat cairan warna merah merembes dari
lengan kiri seragam Adlan.
“Adlan, sepertinya luka di
lenganmu terbuka lagi.”
“Tak apa, aku baik-baik saja,
kita harus terus menjauh dari mereka.”
“Tapi darahnya keluar
banyak.”
“Aku bisa menahan sakitnya
kok, jangan khawatir.”
Aisyah pun terdiam. Rasa khawatirnya
atas keadaan Adlan terungkapkan oleh setetes air mata, mengalir melewati pipi
lalu terbawa angin terbang jauh ke belakang.
Kini motor memasuki kawasan
kota. Jalanan nampak lebih ramai dengan berlalu-lalangnya berbagai jenis
kendaraan, dari yang beroda dua seperti yang dinaiki Adlan dan Aisyah, sampai
yang beroda enam, truk-truk kontainer.
“Aisyah, kamu bawa uang
tidak?” Tanya Adlan.
“Tidak, kenapa memangngya?”
“Bensinnya mau habis.”
“Kalau begitu kita cari mesin
ATM, uangku masih ada di kartu ATM.”
Adlan pun memperlambat lagi
motornya, mencari-cari mesin ATM. Sejurus kemudian ninja putih menepi ke sebuah
mesin ATM di samping Indomaret. Aisyah turun dari motor, Adlan juga. Aisyah
masuk ke ruang mesin ATM, sementara Adlan duduk menunggu di depan ATM.
Setelah lima menit Aisyah
keluar. Ia mendapati Adlan tertidur dengan posisi memeluk lutut. Helmnya
ditaruh di samping kanan bersama tasnya. Saat hendak membangunkan Adlan, Aisyah
melihat darah di lengan kiri Adlan menetes semakin banyak.
“Adlan, bangun! Darahmu
keluar banyak sekali. Kita harus ke rumah sakit dulu untuk membetulkan jahitan
lukamu.”
Adlan terbangun, melihat
lengan kirinya.
“Tak perlu, Aisyah, aku bisa
menahannya. Yang harus Kita lakukan adalah menjauh secepatnya, jika Kita ke
rumah sakit maka akan ada banyak waktu yang terbuang.”
“Jangan seperti itu, Adlan!
Kalau terus dibiarkan terbuka darahmu akan keluar lebih banyak. Pokoknya Kita
harus ke rumah sakit sekarang juga, titik!” Emosi Aisyah tersulut, terlihat
jelas dalam kemarahannya itu ada sebuah kekhawatiran yang tersirat.
“Tidak, Aisyah, kamu tenanglah,
aku tidak apa-apa, kita harus...”
“Pokoknya kalau tidak ke
rumah sakit aku tak mau ikut kamu lagi!” Kedua mata Aisyah berkaca-kaca.
Adlan menghela nafas.
“Baiklah, Kita ke rumah sakit
setelah mengisi bensin.” Mengalah.
Mereka pun melanjutkan
perjalanan, mencari pom bensin terdekat. Tak jauh dari tempat mereka berhenti
tadi terdapat sebuah pom bensin, mereka berhenti di situ. Ada dua motor lain
yang juga sedang mengantri untuk mengisi bahan bakar.
Selesainya mengisi full perut
ninja dengan pertamax, Adlan dan Aisyah melanjutkan perjalanan. Kini Aisyah
yang menentukan arah. Dia pernah tinggal di daerah yang tidak terlalu jauh dari
situ, jadi Ia tahu beberapa tempat penting di daerah tersebut, termasuk rumah
sakit terdekat.
@@@@
Aisyah duduk menunggu di
sebuah kursi panjang di depan ruang bedah. Jam tangannya menunjukkan pukul
sepuluh lebih lima belas menit, itu berarti sudah dua puluh menit terhitung
sejak Adlan masuk ruang bedah. Seragam putih abu-abunya begitu kusut dan
berantakan. Ia terkantuk-kantuk di atas kursi. Tiba-tiba Hpnya berdering.
Aisyah menerima panggilan tersebut.
“Aisyah! Kamu di mana
sekarang?” Suara seorang laki-laki dewasa dari seberang sana.
“Papa, Aisyah baik-baik saja,
Pah. Jangan khawatir, sekarang Aisyah sedang dalam perjalanan pulang.”
“Barusan Papa menerima
telepon dari Gatot, rival bisnis Papa. Katanya dia telah menculikmu. Dia
meminta Papa menjual beberapa hotel yang ada di Bali. Dia mengancam akan
membunuhmu kalau Papa tak melakukannya. Papa bingung harus berbuat apa, soalnya
dia juga melarang Papa menghubungi polisi dengan ancaman yang sama.”
“Papa tenang saja, Aisyah
sekarang dalam keadaan aman. Salah satu teman Aisyah mengikuti mobil yang
membawa Aisyah sampai ke tempat di mana Aisyah disekap. Dia telah menyelamatkan
Aisyah, Pah. Sekarang Kami masih di rumah sakit, lengan teman Aisyah itu terluka.”
“Syukurlah kalau begitu. Papa
akan...”
Suara terputus. Layar smartphone
Aisyah mati, kehabisan baterai. Aisyah mengucap hamdalah. Meski percakapan
dengan Papanya belum selesai, tapi paling tidak sekarang Papanya tahu kalau dia
dalam keadaan aman. Aisyah menyimpan Hpnya ke dalam tas.
Setengah jam lebih menunggu
perut Aisyah mulai konser. Lapar. Ia lalu pergi ke luar rumah sakit, membeli
dua kebab turki di depan indomaret yang terletak 20 meter dari rumah sakit. Ia
juga membeli dua botol air mineral dari Indomaret tersebut. Selesainya
berbelanja untuk santap malam, Aisyah berjalan kembali ke ruma sakit. Di pagar
depan rumah sakit terpampang jelas tulisan RUMAH SAKIT GRAHA MEDIKA. Tulisan
tersebut sangat mudah dilihat dari jalan raya.
Saat Aisyah kembali ke kursi
tunggu ruang bedah, Adlan sudah selesai dari penjahitan lengannya. Ia duduk di
kursi yang tadi diduduki Aisyah.
“Adlan, sudah selesai?”
Menghampiri Adlan lalu duduk di sebelahnya.
“Alhamdulillah sudah. Ayo
kita lanjutkan perjalanan.” Ajak Adlan.
“Kita makan dulu, aku sudah beli
dua kebab.” Aisyah mengambil satu kebab dari kantong plastik, menyodorkannya ke
Adlan.
Adlan terbengong.
“Ayo ambil, kamu lapar kan?
Kalau aku sih lapar.” Senyum manisnya terlontar.
Adlan pun menerima kebab
tersebut.
“Terimakasih.” Katanya
singkat.
Mereka berdua lalu menyantap
kebab itu dengan lahap. Bumbu lapar yang tertabur menambah kelezatan santap
malam mereka. Gigitan demi gigitan membuat kebab yang mereka santap semakin
berkurang ukurannya.
“Adlan.” Aisyah memecah
kelengangan.
Adlan menengok, kenapa?
“Terimakasih banyak.” Aisyah
menatap wajah Adlan lembut.
Adlan segera menundukkan
pandangannya. Ia hanya menjawab dengan senyuman, lalu kembali mengunyah
kebabnya.
Gigitan demi gigitan terus
mengecilkan ukuran kebab mereka sampai akhirnya ludes. Aisyah memberikan
sebotol air mineral dingin kepada Adlan, bintik-bintik air menyelimuti semua
bagian botolnya. Ia pun mengambil satu lagi di kantong plastik untuk dirinya.
Mereka meneguknya dengan penuh kenikmatan, segar.
“Adlan, sepertinya aku tak
kuat jika harus melanjutkan perjalanan, aku lelah sekali.”
Sekilas Adlan melihat wajah
Aisyah. Pucat.
“Kita mau istirahat di mana?”
“Tiga ratus meter dari rumah
sakit ini ada tempat kos, semoga saja masih ada dua kamar kosong.”
“Kalau tidak ada?” Adlan
cemas. Tak mungkin bermalam sekamar kan? Protesnya dalam hati.
“Kita cari yang lain.”
Tersenyum, tahu maksud pertanyaan Adlan.
“Baiklah, semoga saja masih
ada.”
@@@@
Ninja putih keluar dari
gerbang rumah sakit, masuk ke jalan raya. Adlan dan Aisyah mengarah ke timur
dengan kecepatan sedang. Hanya beberapa menit saja mereka telah sampai di kosan
yang dimaksud Aisyah. Mereka turun dari motor, berjalan ke rumah pemilik kos.
“Assalamualaikum?” Aisyah
mengetuk pintu.
“Aisyah, lihat!” Adlan
menunjuk tombol bel rumah yang terpasang di pojok atas pintu. Ia berdiri tiga langkah
di belakang Aisyah.
“Hehe, maaf, aku tidak
lihat.” Menggaruk kepala.
Aisyah menekan tombol bel. Ting
nong, bunyi bel terdengar dari dalam
rumah. Sesaat kemudian seorang perempuan berusia empat puluhan membuka
pintu.
“Ada apa, Nak?” Tanya pemilik
kos.
“Kami mau menyewa dua kamar,
Bu, apa masih ada?”
“Aduh, mohon maaf, Nak,
kamarnya cuma tersisa satu.”
Aisyah menengok ke arah
Adlan, Bagaimana? Adlan menggelengkan kepala.
“Ya sudah, Bu, kami cari yang
lain saja.”
Adlan dan Aisyah berjalan ke
motor, sedangkan Ibu kos kembali masuk ke rumahnya.
“Coba kita ke utara, tiga
ratusan meter dari sini ada motel, semoga masih ada dua kamar.”
“Motel? Uangnya cukup?”
“Semoga saja cukup.”
Adlan menaiki motor.
“Ayo naik, Aisyah.”
“Sebentar.” Aisyah memegangi dadanya.
Ekspresi wajahnya menahan rasa sakit.
“Kamu baik-baik saja?” Tanya
Adlan, cemas.
Uhuk…uhukk..
Darah menyembur dari mulut Aisyah. Ia berusaha menutupinya dengan telapak
tangan.
“Astaghfirullah! Kamu kenapa
Aisyah?” Adlan segera turun dari motornya.
“Tidak, aku tidak apa-apa.
Ayo cepat kita ke motel itu.”
Uhukk..
Darah segar kembali memuncrat dari mulut Aisyah. Adlan segera naik kembali ke
motor, perasaannya cemas bercampur bingung. Aisyah pun naik ke motor.
“Ayo cepat, Adlan.” Kalimat
Aisyah melemah.
Adlan segera menjalankan
motor. Aisyah berpegangan erat pada seragam putih Adlan. Dengan lemah Aisyah
menunjukkan arahnya. Tak lama kemudian mereka sampai di motel. Tepat saat Adlan
menghentikan motor, Aisyah terjatuh. Pingsan.
@@@@
Ruangan itu tak terlalu luas,
juga tak terlalu sempit. Ada sebuah ranjang yang cukup untuk dua orang. Sofa
terletak dua meter di kanan ranjang, lengkap dengan meja dan televisi untuk
bersantai. Di sebelah TV ada sebuah dispenser. Kamar mandi pun tersedia di
dalam kamar motel tersebut. Tiga lampu kamar menyala terang di langit-langit
berwarna putih. Satu lampu tidur tepat di samping kiri ranjang. AC menyala,
mesinnya berdengung mengatur suhu ruangan, 26°C.
Lantainya yang terbuat dari keramik putih bercorak biru dan merah silih berganti
terlihat serasi dengan pintu kamar berwarna cokelat yang sengaja dibiarkan
terbuka. Jam dinding kamar menunjukkan pukul dua belas malam.
Adlan duduk di sofa. Ia
kebingungan memikirkan keadaan Aisyah yang kini terbaring tak sadarkan diri di
atas ranjang. Badannya begitu letih, terlebih setelah menggendong Aisyah dari
tempatnya terjatuh tadi sampai ke kamar yang disewanya itu. Pembayaran kamar
telah dilunasi untuk semalam. Uang yang ada di dompet Aisyah hanya cukup untuk
menyewa satu kamar.
Adlan merasakan matanya
semakin berat. Lama kelamaan akhirnya terpejam.
“Astaghfirullah! Aku belum
sholat maghrib dan isya.” Terbangun dari nyaris tidur-nya.
Adlan beranjak ke kamar mandi
guna membersihkan badannya dari darah dan keringat. Di kamar mandi telah tersedia
handuk dan peralatan mandi yang lain. Adlan mengganti putih abu-abunya dengan
seragam olahraga yang tadi ia gunakan saat pelajaran Pak Felix.
Ketika keluar dari kamar
mandi, Adlan mendapati Aisyah telah siuman.
“Aisyah, kamu sudah siuman?
Bagaimana keadaanmu?” Nada pertanyaannya cemas.
Ia menghampiri Aisyah, duduk
di tepi ranjang.
“Aku tidak apa-apa, Adlan.
Jangan khawatir, aku sudah biasa seperti ini, insyaAllah besok juga sudah
baikan.”
“Tempo hari aku menemukan
saputangan biru bertulis A.Z, di lipatan dalamnya ada bercak-bercak darah.
Awalnya aku ragu orang seceria dan seaktif kamu adalah pemiliknya. Tapi
sekarang jelas sudah, kamulah Si Pemilik sapu tangan berdarah itu. Memangnya
penyakit apa yang kamu derita? Dan separah apa?”
Aisyah terdiam. Suara kamar
menjadi sangat lengang. Hanya suara AC yang terdengar bergemuruh.
“Kata dokter aku terkena
kanker paru-paru. Terakhir kali aku periksakan penyakitnya sudah mencapai
stadium tiga.” Kalimatnya memecah kelengangan.
“Lalu, sekarang kamu bawa
obatnya?”
“Ada di kantong samping
tasku.”
Adlan bangkit dari tempatnya
untuk mengambil botol obat yang Aisyah maksud. Ia juga mengambil segelas air
putih dari dispenser.
“Ini, minumlah.” Memberikan
obat dan air putih kepada Aisyah. Ia berusaha tetap menjaga pandangannya.
“Terimakasih.” Aisyah
menerimanya.
Ia mengambil dua butir pil putih, lalu
menelannya dengan bantuan air.
“Kamu tahu, obat ini hanya
untuk meringankan rasa sakit dan memperlambat perkembangan kanker.” Jelas
Aisyah.
“Maksudmu...”
“Ya, penyakitku tak bisa
disembuhkan.” Sela Aisyah.
Adlan menelan ludah, tidak
bisa disembuhkan?
“Kedua orang tuaku tak
mengatahui hal ini. Selain dokter, Hanya Bi Hafsah, pembantu yang sudah seperti
ibu bagiku yang tahu tentang penyakitku ini. Dan sekarang, kamulah orang ketiga
yang tahu tentang penyakitku.”
Adlan terdiam selama beberapa
saat. Alisnya mengernyit.
“Tidak, pasti ada jalan untuk
menyembuhkan penyakitmu.”
“Sebenarnya memang ada,
dengan operasi pengangkatan sel kanker.”
“Kenapa tidak kamu lakukan?”
“Sudah terlambat, kankernya
sudah menjalar, presentase kegagalan operasi tersebut lebih besar dari
presentase keberhasilannya.”
“Apa yang akan terjadi jika
operasinya gagal?”
Aisyah tersenyum. Adlan tahu
maksud dari senyuman itu, kematian. Mata Adlan berkaca-kaca. Sesaat kemidian
sebutir air mata mengalir di pipinya. Ia segera menyekanya.
“Seberapa lama obat itu bisa
memperlambat perkembangan kanker sampai stadium akhir?”
“Tak lebih dari tiga tahun.”
“Terhitung sejak kapan?”
“Empat bulan yang lalu.”
Adlan shock mendengar hal
itu. Dalam tunduk kepalanya terlihat sebuah pandangan yang tiba-tiba datar.
Ruangan menjadi hening. Hanya suara gemuruh AC yang terdengar. Adlan menyeka
air matanya yang kembali meleleh.
“Hei, jangan menangis, aku yang
punya penyakit saja kuat, dasar cengeng!” Aisyah tersenyum, meledek Adlan,
berusaha membuatnya tegar sebagaimana dirinya.
Adlan masih terdiam. Mulutnya
terkunci rapat. Milyaran kata yang ada di otaknya mendadak hilang. Mengetahui
orang yang dicintai dalam penderitaan memang menyakitkan, terlebih jika
penderitaan itu akan mengantarkannya pada kematian.
“Adlan, aku belum sholat
maghrib dan isya, kamu mau menemaniku berjamaah? Aku tak mau jika harus
kehilangan dua puluh tujuh lipatan pahala sholat.” Senyum manisnya terlontar.
Adlan mengangguk pelan,
pandangannya masih datar ke lantai. Aisyah bangkit dari ranjang, berjalan
menuju kamar mandi. Ia membawa serta seragam olahraga yang tadi pagi ia
kenakan.
Setelah lima belas menit
Aisyah keluar, sekarang ia memakai seragam olahraga. Adlan masih mengerjakan
sholat sunah. Aisyah mengambil mukena di dalam tasnya, mengenakannya, lalu
berdiri di belakang Adlan. Sesaat kemudian Adlan selesai. Ketika salam ia
melihat Aisyah telah berdiri di belakangnya dalam balutan mukena putih. Adlan
pun berdiri.
“Kita sholat isya dulu,
setelah itu kita qodho sholat maghrib.” Kata Adlan. Aisyah mengangguk.
“Allahu akbar.”
Adlan memulai sholatnya.
Aisyah mengikuti di belakang. Mereka pun langsung tenggelam dalam khusyu
penghambaan di penghujung malam. Air mata Adlan mengalir. Suara bacaan
fatihahnya tercekat, sesunggukan. Dalam hatinya dia terus memohonkan kesembuhan
untuk perempuan yang jadi makmumnya saat itu, Aisyah. lelehan air matanya
begitu deras menetes ke lantai.
Di belakang Adlan, Aisyah pun
mengucurkan deras air matanya. Mukena bagian dagunya basah. Namun demikian
sebuah senyuman menyunging di wajahnya, sebuah senyum syukur. Senyum tersebut
mengembang dengan sendirinya sebagai ungkapan
terimakasih yang terluap atas nikmat yang telah diberikan untuknya.
Meskipun Allah memberikan penyakit yang akan membatasi umurnya, tapi Dia juga
mengirimkan seorang guardian angel untuk memastikan kebahagiaan dan
keselamatannya di sisa-sisa umurnya yang tak lama lagi. Ia sangat bersyukur
karena telah dipertemukan dengan Adlan.
Bagi Aisyah, Adlan adalah
kado terbaik dari Allah yang ia tunggu-tunggu kedatangannya, kado yang dikirim
sebagai penghancur karang permasalahan yang selalu membebaninya. Kini, dengan
keberadaan Adlan dalam guratan takdir hidupnya, Aisyah tak lagi takut menghadapi
kematian. Ia siap menjumpai kematian kapan saja kematian itu menginginkannya.
Baginya, kebersamaan dengan Adlan di detik-detik itu merupakan kebahagiaan terbesar yang Allah
tuliskan dalam lembaran takdirnya, kebahagiaan yang lebih dari cukup untuk menghapus
semua deritanya selama ini, bahkan yang akan datang termasuk kematiannya.
Rakaat demi rakaat, fatihah
demi fatihah, juga doa demi doa terus dirajut oleh Adlan dan Aisyah di kamar
itu sampai akhirnya salam penutup mengakhiri peribadatan mereka.
“Aisyah, kamu istirahatlah, pastikan
kalau besok pagi tubuhmu telah pulih. Kita akan meneruskan perjalanan usai
sholat subuh.” Kepala Adlan menoleh ke samping kanan, pandangannya ke lantai.
“Iya.” Sahut Aisyah di
belakangnya.
Aisyah beranjak dari lantai
tempatnya bersimpuh, berjalan ke ranjang. Saat hendak melepas mukena, Adlan
mencegahnya. Ia meminta agar Aisyah tetap mengenakannya saat tidur. Ia takut
setan akan merasuki akal sehatnya jika Aisyah tertidur hanya dengan seragam dan
training olahraga saja, apalagi rambutnya terjuntai bebas tak tertutup. Aisyah
mengiyakan, ia pun tidur dengan tetap memakai mukena putihnya. Tak lupa selimut
ranjang juga ia tutupkan ke sekujur tubuh agar lebih hangat dan terjaga.
Sementara itu Adlan berdiri
lagi, melanjutkan pelunasan hutangnya kepada Allah. Ia memulai takbir qodho
sholat asarnya yang tadi ia kerjakan dengan hurmat al waqti[2]
saat membuntuti mobil yang menculik Aisyah.
@@@@
[1]Dikutip
dari tulisan Darwis tere-liye.
[2]Sholat
hurmat al waqti adalah sholat yang dikerjakan seadanya untuk menghormati
kewajiban sholat ketika waktunya tiba. Sholat hurmat al waqti di kerjakan saat
seseorang tidak bisa memenuhi syarat-syarat sah sholat seperti suci dari hadats
dan najis, tidak menemukan tempat yang suci dan pas untuk gerakan sholat, tidak
ada pakaian suci yang bisa ia gunakan untuk menutup auratnya dsb, padahal waktu
sholat wajib telah datang. Dan Si Pelaku harus mengqodonya saat ia bisa
memenuhi syarat-syarat sholat tersebut. Maktabah Syamilah, Al majmu’ syarh
al muhazzab, juz 2, hal 306.
Langganan:
Komentar (Atom)
-
PEMESANAN; 082324758816 Mozaik Cinta Prolog Satu Hadiah Spesial Tangisan Kerinduan Saputangan Berdarah Mim...
-
Jumat, 10 Desember 1993… Di malam yang teramat gelap dentuman-dentuman guntur terus beriringan, sahut menyahut menema...






