Kamis, 20 Juli 2017

Bagian Kedua

PEMESANAN 082322504931

Bagian Pertama


PEMESANAN 082322504931

10. Pertemuan Terakhir

PEMESANAN 082322504931

DAFTAR ISI

PEMESANAN; 082324758816
            
Mozaik Cinta

..
.

TELAH TERBIT!!!


Oase Rindu
 (Mozaik Cinta 2)
PEMESANAN; 082324758816

...

Kebencian
Perdebatan Panas
Aku Tak Akan Pernah Memaafkanmu, Pembohong!
Nadia
Kedahsyatan Kekuatan Cinta
Pertemuan yang Heroik
Terungkapnya Makna "Bagian"
Jalan Keluar yang Berat
Pernikahan
Benih Cinta
Australia
Dentum Cobaan yang Bertubi
Bagaimana Harusnya Cinta Sejati
Epilog

8. Semoga Allah Menakdirkan yang Terbaik


Lonceng tanda masuk berbunyi. Satu persatu siswa masuk ruang kelasnya dengan tertib. Satu dua anak masih asik ngobrol di kursi-kursi panjang  di depan kelas, beberapa yang lain baru berjalan masuk melewati gerbang sekolah dengan tas gendong di punggung.
“Aisyah, bagaimana lukamu?” Tanya Anisa yang duduk semeja dengannya
“Alhamdulillah sudah mulai kering. Bahkan kata dokter kulitku, bekas lukanya pun nanti bisa dengan mudah dihilangkan.”
“Alhamdulillah kalau begitu.”
“Emm, ngomong-ngomong Adlan bagaimana keadaannya yah?” Sambung Anisa.
“Tadi pagi aku menelponnya, katanya hari ini belum bisa berangkat, masih belum bisa mengendarai motor katanya. Setiap kali ia paksakan menyetir, luka di lengannya lagi-lagi terbuka, darahnya keluar.”
“Kasihan dia. Memang seberapa parah lukanya?”
“Entahlah. Tapi katanya sih lima jahitan.”
“lima jahitan?”
Aisyah mengangguk.
“O iya, ngomong-ngomong kamu dapat nomer Adlan dari mana, Syah?”
“Hehe, mau tau aja.”
“Hmm, gitu yah? Mulai rahasia-rahasiaan segala, kalau begitu nanti siang aku batal menemani kamu cari kerudung.”
“Yah! Jangan begitu dong, Nis, kamu kan tahu aku tak punya pengalaman apa-apa tentang kerudung.”
“Kalau begitu jawab dulu pertanyaanku.” Anisa tersenyum menang.

Aisyah menghela nafas, huft.
“Saat berkemas pulang dari Suniarsih, aku bertemu Adlan di barak kesehatan, dia sedang mengganti perban di lengannya. Aku ngobrol sebentar dengannya, terus, aku minta deh nomernya.”
“Ooh, begitu.” Anisa mengangguk.
“Eh! Itu Pak Prodo datang.”
Anak-anak langsung duduk rapi di meja masing-masing. Jam pelajaran pertama, jam kesenian. Saat itu Pak Prodo tidak langsung memberikan materi seni musik, mapel yang diampunya. Beliau lebih banyak bercerita, berbicara banyak hal, terutama pengalamannya saat masih muda. Anak-anak serius memperhatikan.
Satu jam berlalu bel ganti pelajaran pun berbunyi. Pak Prodo menutup jam pelajarannya. Anak-anak keluar berduyun-duyun ke ruangan berikutnya, R 2.06. Guru jam kedua telah duduk menunggu. Jenggotnya lebat, pandangan matanya tajam. Di keningnya ada tanda hitam, seperti bekas yang disebabkan karena sering sujud, atau lebih tepatnya karena sering sujud di atas benda keras. Guru muda itu memperkenalkan diri. Namanya Pak Agung Sujayanto, pengampu materi matematika.
Materi awal, Aljabar, diuraikan dengan sangat gamblang. Caranya menyampaikan kalimat begitu menyihir anak-anak X.9. Semuanya memperhatikan penjelasan yang mudah ditalar itu. Sesekali Pak Agung menyelingi penjelasan matematikanya dengan pengetahuan agama. Ulasannya begitu masuk akal. Sebagian anak bahkan mengangguk-anggukkan kepala, setuju dengan statemen-statemen logisnya. Anak-anak lebih terkagum dengan ulasan-ulasan agama Pak Agung dari pada materi utamanya, Aljabar.
Bel istirahat berbunyi.
“Sampai disini pertemuan kali ini, insyaAllah besok kita mulai masuk ke pembahasan Aritmetika. Bapak harap kalian membaca materinya terlebih dahulu di halaman tujuh puluh delapan sampai sembilan puluh tiga. Sebelum Bapak tutup, apa ada yang mau bertanya?”
Nana, siswa kurus berkacamata minus yang duduk di bangku paling belakang mengangkat tangannya dengan ketus.
“Ya, silahkan.” Kata Pak Agung.
“Saya mau bertanya Pak, boleh apa tidak?”
“Boleh, kan sudah Bapak persilahkan barusan.”
“Oh, iya Pak, terimakasih banyak.”
Pak Agung mempersilahkan kembali. Nana lalu senyum-senyum sendiri, tak segera melontarkan pertanyaannya. Pak Agung masih menunggu. Nana masih saja senyum-senyum.
“Ayo cepat, katanya mau tanya?” Pak Agung agak jengkel.
“Sudah pak.” Jawab Nana enteng.
“Sudah apa?”
“Ya sudah bertanya dong, Pak.”
“Bertanya apanya! Orang dari tadi kamu senyum-senyum sendiri kok.” Pak Agung makin gemas.
“Loh, itu tadi kan pertanyaan saya, Pak.”
“Pertanyaan apa?”
“Boleh apa tidak? Itulah pertanyaan saya, Pak.” Senyuman menjengkelkan Nana mengembang.
Anak-anak yang paham tertawa seketika. Kelas menjadi ramai dengan gelak tawa. Pak Agung yang melihat keriangan anak-anak pun akhirnya ikut tertawa, ikut merasa lucu meskipun hatinya jengkel. Sebagai orang dengan pemikiran yang lebih dewasa, Pak Agung jelas paham dengan model-model keisengan anak didik yang seperti itu. Beliau lalu menutup pertemuan dengan ucapan salam. Para siswa berbondong-bondong keluar kelas, tapi ada juga yang masih berkutat di dalam kelas, sibuk mencatat.
Suasana Smansawi waktu istirahat seperti ini sangat ramai. Anak-anak sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang berjalan santai di tepi lapangan, ada yang hanya duduk-duduk di kelas, ngobrol, ada juga yang asik dengan laptopnya, berselancar di dunia maya dengan free hotspot di aula sekolah. Dan yang nampak paling mendominasi keramaian tentunya kantin sekolah. Anak-anak berjejalan memesan makanan dan minuman di sana. Meja-meja panjang kantin tak menyisakan tempat untuk para pengunjung baru. Mereka yang tak mendapat tempat duduk membawa jajan dan minumannya ke tempat lain. Ada yang ke teras masjid, memakannya sambil membaca buku yang dipinjam dari perpustakaan masjid. Ada juga yang beramai-ramai ke taman penyekat lapangan, mereka melahap makanannya di bawah pohon ukuran tanggung. Di sana suasananya teduh.
“Ayo ke masjid, Nis.” Ajak Aisyah yang baru selesai mencatat contoh-contoh soal aljabar di white board. Masih tersisa sepuluh anak di ruangan tersebut, dua di antaranya Aisyah dan Anisa.
“Kamu duluan saja, Syah, aku belum selesai.” Anisa masih sibuk menulis.
Aisyah beranjak ke masjid membawa tas gendong birunya, meninggalkan Anisa bersama delapan anak lainnya yang masih sibuk mencatat. Lima menit kemudian Anisa selesai. Ia memasukkan buku dan pulpennya ke dalam tas. Saat hendak beranjak ke masjid, sekilas ia melihat sesuatu di laci meja. HP Aisyah tertinggal. Ia pun mengambilnya. Tak sengaja jarinya menekan tombol call. Layar HP menyala, menampilkan log panggilan keluar. Nama Adlan berada di urutan teratas. Anisa menyalin nomornya di secarik kertas. Setelah itu ia segera menyusul Aisyah ke masjid.
Sesampainya di masjid, Anisa melihat beberapa siswi di sana. Ada yang sedang asik tenggelam dalam sholat duha, ada yang tersibukkan dengan melafakan kalam-kalam Ilahi yang termaktub dalam mushaf-mushaf nan suci, dan ada pula yang sedang membaca buku-buku agama yang bebas dipinjam dari perpus masjid. Dua siswi melipat mukena mereka untuk dimasukkan ke tempatnya. Dari balik satir, sesekali terdengar gelak tawa anak laki-laki. Sepertinya mereka sedang asik ngobrol. Padahal setahunya, di beberapa tembok masjid bagian putra telah dipasang peringatan, Dilarang Berbicara Masalah Duniawi di Dalam Masjid, sebagaimana yang tertempel di bagian putri. Tapi Anisa husnuzon, mungkin mereka sedang bercerita tentang Abu Nawas atau Nashirudin, dua tokoh sufi yang hikmah-hikmahnya selalu penuh dengan parodi.
Anisa mengambil mukena di lemari pojok ruangan. Di lemari tersebut ada puluhan mukena yang disediakan oleh sekolah untuk para siswi yang ingin menunaikan sholat. Namun demikian, banyak juga yang membawa mukenanya sendiri dari rumah. Biasanya Anisa juga membawa sendiri mukenanya, namun hari itu ia lupa karena tergesa-gesa saat berangkat. Sejurus setelah mengenakan mukena, Anisa segera tenggelam mengarungi lautan kekhusyuan dalam bahtera sholat duha.
Aisyah baru selesai sholat duha. Ia melihat Anisa yang baru mengangkat dua tangannya, takbirotul ihrom. Sembari menunggu temannya itu, Aisyah mengambil salah satu buku koleksi perpustakaan masjid. Fiqih Muslimah, buku karangan Ustadz Segaf Baharun M.H.I itu menjadi sasaran jamahan tangannya. Ia duduk bersender di tembok dekat pintu masuk. Halaman demi halaman mulai ia sapu dengan kedua matanya. Aisyah pun semakin dalam menjelajahi permasalahan-permasalahan fiqih seputar kewanitaan yang diulas secara menarik oleh penulis di dalam buku tersebut.
“Asik sekali bacanya, Aisyah?”
“Eh, kamu sudah selesai, Nis.” Aisyah menutup begitu saja buku yang ia pegang.
Anisa duduk bersandar di samping Aisyah.
“Nih, HP kamu tertinggal di laci meja.” Menyodorkan HP ke Aisyah.
“Ya Allah, terimakasih banyak Anisa, tadi aku lupa memasukkannya ke tas. Kalau saja tidak kamu ambil mungkin sudah diambil anak kelas lain.” Menerima HP tersebut, ekspresi sangat berterimakasih.
“Iya, sama-sama. Makanya jangan teledor kalau naruh HP, sudah tahu di sini sistemnya moving class, pindah ruangan setiap ganti pelajaran, sekali barang tertinggal di kelas, ya sudah, kemungkinan besar diambil anak kelas berikutnya.”
“Iya, iya, aku salah, aku tak akan mengulanginya lagi.”
Keduanya lalu mulai asik dengan perbincangan ringan, membahas permasalahan-permasalahan seputar dunia perempuan, utamanya fashion, lebih spesifik lagi kerudung dan macam-macam style-nya.
“Ngomong-ngomong, kenapa kamu tiba-tiba mau pakai kerudung, Syah?”
“Emm, kalau itu sih rahasia, hehe.”
“Ya sudah, nanti siang aku batal menemanimu cari kerudung.” Anisa tersenyum, menang.
“Pasti begitu.” Aisyah cemberut, sebal.
“Ya sudah, tinggal ceritakan saja apa repotnya? Toh aku juga temanmu kan?”
Aisyah pun mengalah, Huh, helaan nafas sebalnya terdengar.
“Jadi begini, semalam aku sms-an sama Adlan. Dia bilang aku berbeda dengan anak-anak orang kaya yang lain. Sementara kebanyakan mereka tak memperhatikan kewajiban agama, bahkan ada yang dengan sengaja meninggalkan sholat tanpa alasan yang dibenarkan syariat, tapi aku tidak. Awalnya aku juga tak tahu kenapa Adlan berkesimpulan seperti itu. Setelah ku tanyakan sebabnya, ternyata saat MOS dia sering melihatku pergi ke masjid saat istirahat, juga saat zuhur sebelum pulang. Selain itu dia juga bilang kalau,..” Aisyah berhenti, malu untuk melanjutkan kalimatnya.
“Kalau apa?”
“Emm, dia bilang kalau aku cantik.” Mukanya memerah seketika. Wajahnya merunduk, malu. Senyum kecil tersungging dari bibirnya.
“Terus dia bilang apa lagi?” Anisa nampak antusias ingin mendengar kelanjutan cerita Aisyah.
“Terus, dia bilang, andai aku mau memakai kerudung, disamping ketaatanku, pasti kecantikanku pun akan semakin sempurna.” Muka Aisyah semakin memerah.
“Iiiihiiy, Jangan-jangan kalian pacaran yah?”
“Pacaran? Ngawur kamu, Nis. Orang sealim dia mana mau pacaran?”
“Tapi kamu suka sama dia kan? Hayo ngaku.” Anisa tersenyum, mencoba memojokkan Aisyah.
Aisyah terdiam. Merah mukanya semakin menjadi-jadi. Ia hanya tersenyum malu menanggapi pertanyaan itu.
“Waah, ada yang sedang jatuh cinta nih, ciee-ciee,..” Anisa mencolek-colek Aisyah, menggodanya.
“Ssst! Jangan keras-keras, Nis, aku malu.” Ia mencubit paha Anisa.
“AWW! Sakit, Aisyah!”
“Makanya jangan menggodaku terus.” Muka Aisyah ditekuk.
“Iya-iya aku berhenti. Hehe, nampaknya ini bisa jadi berita terhangat di kalangan anak-anak kelas nih.”
“Jangan begitu lah, Nis. Please, jangan ceritakan hal ini sama siapa-siapa yah? Please.” Muka Aisyah memelas.
“Emm, tergantung.” Mengelus-elus dagu dengan ujung-ujung jemarinya.
“Tergantung apa?”
“Mungkin kamu bisa menutup mulutku dengan bakso urat yang di depan Smansa. Bagaimana?” Tersenyum menang.
“Iih, kamu ini!” Aisyah gregetan.
“Hehe, pilihan ada di tanganmu, kawan.” Menepuk pundak Aisyah, manggut-manggut.
“Huh! Baiklah, demi tertutupnya rahasia suci ini, selain untuk kerudung, aku juga harus merelakan uang sakuku lenyap untuk mentraktirmu.” Ekspresi Aisyah benar-benar alay. Matanya menyipit, gurat wajahnya serius, tangan mengepal, Ganbatte! Berakting bak pemain drama. Mereka berdua lalu tertawa, merasa lucu dengan apa yang Aisyah lakukan.
“Ssstt, masjid!” Tegur salah satu siswi di tempat itu.
“Iya-iya, maaf.” Aisyah dan Anisa merunduk-runduk, malu.
“Astaghfirullahal ‘azim, yang kita bicarakan dari tadi masalah duniawi bukan yah?” Ekspresi Anisa bingung.
“Menurutku, sebagian duniawi sebagian bukan.”
“Yang bukan duniawi yang mana?”
“Yang tentang kerudung, itu tentang syariat bukan?”
“Iya sih, tapi selebihnya kan duniawi. Mudah-mudahan tidak terlalu banyak kebaikan kita yang hilang yah?”
“Amin, semoga saja demikian. Dari pada kita tak sadar berbicara masalah duniawi lagi, lebih baik kita ke kelas yuk?” Ajak Aisyah.
“Yuk,”
Mereka pun beranjak ke ruang pelajaran ketiga. Keduanya berjalan bergandengan tangan, begitu akrab. Langkah dua pasang kaki Anisa dan Aisyah kompak menapak, melewati lantai demi lantai menuju ruang E 2.01, ruang bahasa Inggrisnya Bu Meiza Yulia.
@@@@
Alphard putih berjalan semakin pelan, masuk ke gerbang perumahan elit. Di depan salah satu rumah berlantai dua Alphard itu menurunkan seorang gadis berseragam putih abu-abu. Ia memakai kerudung putih berenda cokelat.
“Terimakasih atas tumpangannya yah, Syah. Nanti kalau kamu kesulitan memakainya telpon saja aku.”
“Iya, Nis. Terimakasih juga sudah mau menemani beli kerudung.” Senyum Aisyah terlontar sebelum akhirnya  pintu mobil ditutup.
Alphard lalu berjalan pelan ke timur, melewati tiga rumah elit untuk kemudian berhenti di depan rumah Aisyah. Klakson dibunyikan. Satpam keluar dari pos jaganya dan membukakan gerbang. Mobil masuk ke pelataran rumah. Aisyah keluar dari pintu belakang mobil. Selain menggendong tas biru, ia juga menenteng tas plastik berisi belanjaannya, beberapa kerudung dengan berbagai model.
“Assalamualaikum, Aisyah pulang.”
“Wa’alaikum salam.” Jawab seorang wanita paruh baya berbusana dan berdandanan lux. Ia duduk di sofa panjang ruang depan, menikmati secangkir teh.
“Mama? Sejak kapan di rumah?”
“Pertanyaan kamu kok begitu sih sayang, ini kan juga rumah Mama.”
“Eh, maksud Aisyah, tumben jam segini Mama di rumah, biasanya kan lagi di butik.”
“Hari ini Mama ingin di rumah saja, ingin ngobrol sama anak Mama yang cantik ini. Sini duduk samping Mama, sayang.”
Aisyah mencium tangan Mamanya lalu duduk tepat di samping kanannya.
“Habis belanja apa kamu?” Melihat tas plastik yang dibawa Aisyah.
“Kerudung, Mah.”
“Kerudung? Memangnya kamu mau berkerudung?”
“Iya, Mah. Tak apa-apa kan?”
“Kamu sudah yakin? Banyak loh wanita bekerudung tapi moralnya tidak baik, cuma menjadikan kerudung sebagai kedok. Mama tidak ingin nantinya kamu terkena persepsi seperti itu, Sayang.”
“Seharusnya Mama jangan beranggapan seperti itu, tidak baik. Aisyah yakin, dengan memakai kerudung Aisyah bisa lebih menjaga moral. Dan lebih dari itu, memakai kerudung bukan hanya masalah moral, Mah, tapi juga masalah ketaatan kita terhadap syariat.”
“Kalau Mama lebih suka kamu tampakkan saja rambut indahmu, seperti kakakmu, Nadia. Semalam dia mengabari Mama kalau dia akan mengikuti kontes kecantikan mewakili kampusnya di Sydney.”
“Apa? Kontes kecantikan? Mama tahu budaya luar kan? Pasti busana yang akan Kak Nadia pakai itu busana yang terbuka, Mah!”
“Justru itu yang membuat Mama bangga, dia bisa menunjukkan kapabilitasnya sebagai perempuan Indonesia. Kecantikan alaminya bisa bersaing dengan kecantikan perempuan-perempuan Australia.” Nada suaranya makin tinggi.
“Tapi itu melanggar syariat, Mah!”
“Diam kamu! Tak usah menasehati Mama soal agama! Pasti Bi Hafsah yang mengajari kamu seperti ini, kan? Kalau bukan karena Papamu, sudah Mama pecat dia sejak lima tahun lalu. Gara-gara dia kamu jadi sering menentang keinginan Mama!”
“Jangan salahkan Bi Hafsah, Mah! Salahkan diri Mama sendiri! Bi Hafsah selalu ada saat Aisyah butuh, sedangkan Mama? Mama di mana saat Aisyah butuh? Saat Aisyah kesepian? Mama lebih memilih butik dan teman-teman Mama dari pada Aisyah, anak Mama sendiri. Sejak Aisyah SD, Bi Hafsah lah yang lebih Aisyah rasakan kasih sayangnya dari pada Mama. Mama terlalu sibuk dangan dunia Mama, butik, mall, teman-teman arisan,..”
PLAKK…!!! Sebuah tamparan keras melayang, menyapa pipi kiri Aisyah.
“Jangan kurang ajar kamu, Aisyah!”
Aisyah meninggalkan mamanya begitu saja, naik ke lantai dua dengan membawa serta belanjaannya. Air matanya meleleh. Luka di pelipisnya terbuka lagi.
“Aisyah, Mama belum selesai!”
Aisyah tak menghiraukan teriakan Mamanya. Ia membanting pintu kamar dan menguncinya rapat-rapat. Ia melemparkan badannya ke atas ranjang, menangis sesunggukan memeluk bantal. Darah yang keluar dari luka di pelipisnya menetes, menambah corak sprei dengan warna merah.
@@@@
Suara pintu kamar terbuka. Umi membawakan makan siang Adlan ke kamar. Adlan sedang sibuk dengan Ms Word di laptopnya sampai-sampai tak sadar dengan kedatangan Umi.
“Nampaknya serius sekali, ngetik apa sih?”
“Eh, Umi, ngetik artikel, Mi, mau Adlan post di FB dan Blog.”
“Artikel? Tentang apa?” Menaruh makanan di samping Adlan.
“Tentang moral pemuda bangsa yang semakin hari semakin merosot.”
Umi duduk di ranjang, menghadap Adlan yang masih menatap fokus ke laptopnya.
                “Em, menurut kamu sendiri apa yang menyebabkan kemerosotan itu?” Tanya Umi.
Adlan berhenti mengetik. Mengubah posisi duduk, menghadap ke arah Umi. Umi menatap serius, tatapannya lembut.
“Menurut Adlan, ada banyak faktor yang menyebabkan degradasi moral ini.” Adlan memperbaiki posisi duduk.
“Globalisasi yang tak tersaring sempurna, media masa yang banyak menayangkan program-program tak mendidik, hal-hal negatif yang bisa diakses di internet secara bebas dan mudah, narkoba yang semakin menjamur akibat kong-kalikong para oknum yang seharusnya menegakkan hukum,..”Adlan menghela nafas.
“Untuk yang terakhir ini Adlan sempat kaget ketika membaca salah satu berita utama di surat kabar langganan Abah. Seorang bandar narkoba masih bisa mengontrol jual beli barang terlarang tersebut meski dia telah meringkuk di dalam buih. Tidak mungkin hal ini bisa dilakukan kalau tidak ada campur tangan oknum penegak hukum.” Ia menggeleng-gelengkan kepala.
“Hal-hal seperti itu sebenarnya sudah cukup miris untuk mengukur seberapa parahnya keadaan bangsa kita sekarang ini. Namun demikian, tidak bisa dipungkiri kalau masih banyak hal-hal negatif lain yang juga memiliki andil besar dalam perusakan moral bangsa. Yang lebih parahnya lagi, para pemuda yang jelas-jelas menjadi sasaran utama perusakan moral tersebut seakan tutup mata, bahkan mereka dengan bangga menyambut budaya-budaya negatif bangsa barat dengan tangan terbuka. Salah satunya kebebasan. Mereka menggembar-gemborkan kebebasan atas nama HAM. Mereka menuntut hak asasi mereka dipenuhi dan dihormati tanpa menilik kewajiban asasi mereka telah ditunaikan atau belum. Bukankah ini keliru? Maka yang terjadi adalah hilangnya rasa hormat anak kepada orang tua, murid kepada guru, juga yang muda kepada yang tua. Dengan demikian, para orang tua dan guru seolah telah kehilangan separuh alat didik mereka yang mutakhir.”
Umi menatap penasaran, pandangannya penuh antusias.
“Saat seorang anak terlalu nakal dan tidak bisa disetir dengan omongan atau nasihat, maka alat didik yang paling ampuh saat itu adalah rotan, penggaris, dan benda-benda keras lain yang bisa digunakan untuk memukul. Tapi ketika alat-alat itu digunakan, anak-anak akan meneriakkan HAM, juga para murid, mereka akan berlari dan berlindung di balik benteng HAM. Jika sudah demikian, mereka akan semakin tenggelam dengan kenakalan dan kebebasan liar mereka di bawah perlindungan dan jaminan HAM.”
Umi manggut-manggut.
“Kamu punya bukti tentang analisis ini?” Tanya Umi.
“Salah satu diantaranya adalah berita yang pernah muncul di kolom kriminalitas koran Central Java News. Seorang guru ngaji di daerah kudus dipenjara satu tahun setengah gara-gara terbukti memukul anak didiknya dengan rotan. Jika kita membayangkan efek dari penegakan HAM yang keliru ini, tentu tak akan ada lagi guru ngaji yang berani mengayunkan rotan, guru-guru di sekolahan tak berani menyabetkan penggaris, dan para orang tua hanya bisa menahan tangan saat anak-anak mereka terlalu liar. Dari sini Adlan semakin paham apa yang dimaksud dalam hadis Nabi, “rahimaLlahu imroan ‘allaqo fi baitihi sauthon yu addibu bihi ahlahu,[1] semoga Allah memberikan rahmatNya kepada orang yang menggantungkan pecut di dalam rumahnya untuk mendidik keluarganya,” maka salah jika ada orang yang mengatakan islam itu agama yang keras dengan membolehkan seorang suami memukul istrinya, orang tua memukul anaknya, dan guru memukul muridnya. Padahal sebaliknya, islam itu agama yang lembut, agama yang tidak membolehkan seorang anak  durhaka kepada orang tua, murid kurang ajar kepada guru, dan istri membangkang kepada suami.”
“Analisis kamu bagus, Adlan. Benar jika bangsa kita sekarang dikatakan sangat memprihatinkan, kerusakan-kerusakan yang kamu paparkan tadi juga memang sudah menjamur. Namun jika hanya sebatas analisis tanpa memberi penyelesaian masalahnya, percuma. Kamu harus memikirkan juga jalan keluarnya.” Umi menanggapi.
“Adlan belum berpikir sampai sejauh itu, Mi.” Ungkap Adlan jujur.
“Begini, Adlan. Kamu tentu tahu keadaan Indonesia zaman dulu. Di masa-masa akhir Belanda bercokol di bumi pertiwi, sangat banyak bermunculan tokoh-tokoh pemuda. Di sana-sini orang rela menyumbang darah dan nyawa demi terlepasnya tanah air dari cengkraman kuku-kuku tajam kaum imperialis. Rasa nasionalis begitu kental, persatuan begitu kuat, rasa senasib sepenanggungan pun menjadi ruh yang sangat melekat rekat di dalam jiwa setiap orang. Tujuan mereka hanya satu, cita-cita mereka hanya satu, MERDEKA.” Umi menyipitkan matanya, serius.
“Demi meraih tujuan itu mereka bersatu padu mengumpulkan kekuatan untuk melawan penjajah, baik dalam sektor diplomasi maupun serangan lapangan. Kamu pikir mereka bisa bersatu padu dengan sendirinya? Apakah api jihad yang berkobar dahsyat di dalam dada mereka tersulut begitu saja tanpa ada yang menyalakan?”
Adlan terdiam, alisnya mengernyit, berpikir.
“Ada dalang penggerak di balik itu semua.” Tukasnya.
“Benar sekali. Dan dalang-dalang penggerak rakyat saat itu adalah para ulama. Ada yang bergerak dalam sektor diplomasi seperti al Habib Jindan dari jakarta, Syeh Ahmad Dahlan, Kyai Hasyim Asy’ari, dan lainnya. Ada pula yang memimpin langsung peperangan di medan tempur seperti Imam Bondjol, Pangeran Diponegoro, dan yang lainnya. Mereka berdiri di barisan-barisan paling depan sebagai penyulut api jihad. Kalimat-kalimat mereka merasuk ke setiap sendi-sendi jiwa rakyat Indonesia, memperkuat tekad mereka dalam perjuangan suci merebut kemerdekaan. Sekarang coba kamu pikirkan, mana yang lebih kuat rasa nasionalismenya, bangsa Indonesia sekarang atau bangsa Indonesia di zaman perjuangan?”
“Jelas bangsa Indonesia di zaman perjuangan lah, Mi”
“Dengan demikian, manakah yang lebih mulia, moral pemuda sekarang atau moral pemuda di masa perjuangan?”
“Moral pemuda di zaman perjuangan jelas lebih mulia, kemerdekaan Indonesialah saksi kesungguhan dan keikhlasan perjuangan suci yang telah mereka berikan sebagai hadiah terindah bagi anak cucu bangsa.”
Umi tersenyum.
“Ketahuilah Adlan, itu semua karena mereka dekat dengan ulama. Mereka sangat patuh dengan apa yang dikatakan ulama, sedangkan para ulamanya sendiri tidaklah memberi anjuran kepada orang-orang kecuali yang membangun moral dan akhlak. Itulah misi mereka, misi yang sama dengan yang dibawa oleh RasuluLlah, “innamaa bu’itstu li utammima makaarimal akhlaaq,”[2] sesungguhnya aku diutus tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak. Dari sini kita bisa membandingkan, moral bangsa zaman dulu termasuk para pemudanya yang berada di bawah naungan para ulama itu jauh lebih mulia dari pada kebanyakan orang zaman sekarang yang malah lari dari naungan para ulama.”
Adlan mengangguk-anggukkan kepala.
“Adlan setuju dengan pemikiran Umi. Mungkin ini akan menjadi paragraf tambahan untuk artikel  Adlan, tapi,..” tangannya memegang dagu.
“Tapi kenapa?”
“Ulama dulu dengan yang sekarang kan berbeda.”
“Berbeda dalam segi apa?”
“Ulama dulu bersatu padu, menyatukan tenaga dan pikiran untuk tujuan yang sama, rakyat pun mengikuti dan patuh kepada mereka karena memiliki tujuan yang sama pula. Tapi sekarang? Dari kalangan ulamanya sendiri, di antara mereka sudah ada yang mulai terjun ke dunia politik. Memang tujuan mereka baik, untuk mengimbangi derasnya pemikiran-pemikiran yang tidak sesuai dengan syariat dalam kubu pemerintahan saat pembuatan kebijakan. Namun di sisi lain dampak buruknya juga tidak bisa dianggap remeh, yaitu perpecahan umat. Contoh saja, jika ulama A mencalonkan diri sebagai wakil rakyat di bawah naungan partai X, dan di lain pihak, ulama B juga mencalonkan diri sebagai wakil rakyat di bawah naungan partai Y, bukankah ini akan menimbulkan perpecahan para pengikut dan pendukung kedua ulama tersebut? Bahkan mungkin akan terjadi saling hina di antara mereka.  Jika sudah demikian, maka pengaruh dan nama baik kedua ulama tersebut akan turun di mata masyarakat, kata-kata mereka pun bukan tidak mungkin akan dianggap sebagai angin lalu saja.”
“Memang benar demikian. Keikutsertaan para ulama dalam kancah perpolitikan mau tidak mau pasti akan menimbulkan perpecahan. Dan sebenarnya, ini hanyalah salah satu dari banyak upaya halus yang dilakukan oleh pihak tertentu untuk menjauhkan masyarakat Indonesia dari para ulama, dengan menghilangkan pengaruh mereka di mata masyarakat. Upaya halus yang lain adalah dengan meracuni pemikiran bangsa melalui media-media masa. Mereka membuat acara-acara yang dikemas dengan sangat menarik agar masyarakat lebih memilih untuk menonton televisi dari pada mengikuti pengajian-pengajian agama di mushola, masjid, atau majelis ta’lim.”
Adlan terdiam, alisnya mengernyit. Ia mempertajam analisisnya.
“jika pihak yang ada di belakang upaya-upaya ini berasal dari bangsa Indonesia sendiri, jelas tidak mungkin. Sebejat-bejatnya orang Indonesia, dia tidak mungkin menginginkan kehancuran bangsanya sendiri. Hipotesis yang paling memungkinkan adalah, ini semua dimotori oleh pihak luar, mungkin bangsa-bangsa barat. Bukankah mereka sedang gencar-gencarnya melaksanakan berbagai skenario international yang tidak lain bertujuan untuk mendominasi kekuasaan dunia? Dan semua kerusakan-kerusakan tadi mungkin termasuk dari skenario-skenario barat tersebut. Ketika bangsa Indonesia dekat dengan ulama, maka mereka akan menjadi kekuatan yang sangat menakutkan bagi siapa saja yang berani mengusiknya. Sebagaimana yang terjadi pada masa perjuangan. Sangking menakutkannya bangsa Indonesia di bawah komando para ulama tersebut, senapan, meriam, dan mortir-mortir aktif sampai lari tunggang langgang menghadapi bambu runcing. Tapi dengan hilangnya pengaruh ulama dan semakin jauhnya bangsa Indonesia dengan mereka, tentu bambu runcing atau bahkan senjata-senjata modern yang mutakhir sekalipun tak akan lagi menjadi momok yang menakutkan bagi bangsa-bangsa yang ingin menyerang Indonesia.”
“Lalu bagaimana pendapatmu tentang tentara Indonesia? Bukankah mereka juga macan yang disiapkan oleh bangsa untuk menjaga keamanan dan keutuhan tanah air?”
“Menurut Adlan, tentara Indonesia memang macan, namun jika kita menilik dan membandingkan persenjataan, kemajuan teknologi, serta kemampuan individu yang dimiliki oleh militer Indonesia dengan yang dimiliki oleh militer Amerika, Inggris, Prancis, dan negara-negara adidaya yang lain, maka TNI sama seperti halnya macan yang berhadapan dengan Tiranosaurus Rex yang kelaparan. Mereka bisa dengan mudah mencabik-cabik tentara Indonesia lalu menelannya.”
Umi tersenyum melihat analisis-analisis logis yang diutarakan Adlan.
“Berarti kesimpulannya, dekat jauhnya bangsa Indonesia dengan ulama, selain sebagai barometer moral bangsa, juga menjadi tolok ukur kuat lemahnya pertahanan negara.”
“Adlan setuju, Mi.” Tersenyum. Umi pun ikut tersenyum.
“Sudah, makanannya dimakan dulu, sampai dingin tuh nasinya. Umi mau ke rumah Mbah Putri , katanya beliau lagi tidak enak badan. Kamu mau ikut?”
“Adlan di rumah saja, Mi, mau istirahat biar lukanya cepat pulih. Adlan sudah tidak sabar ingin berangkat sekolah besok.”
“Ya sudah, jaga diri baik-baik di rumah.”
Umi pun beranjak meninggalkan Adlan. Adlan menutup laptopnya. Ketika hendak menyantap makan siang, tiba-tiba smartphone-nya yang ia taruh di samping kanan laptop bersin. Satu pesan masuk dari nomor tak dikenal.

Assalamualaikum, Adlan. Semoga lenganmu cepat pulih sepenuhnya. Sebelumnya aku minta maaf telah mengganggu waktu istirahatmu, ada hal yang sangat ingin aku sampaikan. Semenjak pertama kali aku melihatmu di aula sekolah, tepatnya saat pengumuman hasil seleksi, entah kenapa aku tertarik padamu. Awalnya aku berusaha untuk membuang jauh-jauh perasaan itu, namun hatiku memberontak. Bayang wajahmu selalu hadir hampir di setiap helaan nafasku, baik saat tertidur maupun terjaga. Saat melihat ketaatanmu menjalankan ibadah, aku semakin tertarik padamu. Kamu berbeda dengan yang lain. Aku yakin Kamulah sosok yang benar-benar aku butuhkan. Aku ingin sekali dekat denganmu, mendampingi setiap langkahmu, dan menjadi makmummu dalam bahtera kehidupan jika Allah menakdirkannya. Aku sadar ini terlalu dini untuk diungkapkan mengingat usia kita yang masih terlalu muda. Namun rasa takut akan kehilanganmu memaksaku untuk melakukan hal ini. Adlan, aku mencintaimu. Aku akan menunggu kesiapan dan kesediaanmu, sampai kapanpun  itu.
Maaf karena sudah terlalu lancang, Anisa.

Adlan kaget. Anisa yang dia pikir tak ada rasa sama sekali dengannya ternyata menyukainya, bahkan dia rela menunggunya sampai siap dan bersedia menikah. Matanya masih memandang datar layar ponselnya. Ia bingung, jawaban apa yang harus diberikan? Otaknya berputar keras mencari jawaban yang tepat agar tak menyinggung perasaan Anisa. Akhirnya Adlan pun memutuskan balasannya,
Semoga Allah menakdirkan yang terbaik…
@@@@




[1]Maktabah Syamilah, kitab At taysiyr bi syarhi al jaami’ as shoghir, juz 2, halaman 61.
[2]Maktabah Syamilah, kitab Fathul bari, juz 6, halaman 575

9. Penculikan


Langit timur mulai memancar terang. Sinarnya putih menyeruak, redup dan damai. Matahari bersembunyi malu di balik gumpalan awan-awan tebal. Suasana pagi yang teduh itu benar-benar penuh ketentraman. Angin semilir berhembus sejuk dari arah sawah di selatan desa Surokidul. Ranting-ranting dan dedaunan di pohon  menari-nari indah. Dedaunannya bergesekan menciptakan  suara gemerisik berirama alam. Di pelataran samping sebuah rumah Smash biru sedang menyala, memanaskan mesin.
“Adlan berangkat dulu, Mi.” mencium punggung telapak tangan Umi, dibalik, lalu mencium bagian dalam telapaknya. Umi kemudian mencium kening Adlan.
“Kamu yakin lenganmu benar-benar sudah kering?”
“Asal tidak terbentur atau tertekan keras, insyAllah akan baik-baik saja.”
“Berarti belum benar-benar kering kalau begitu.”
“Tak apa, Mi, yang penting sudah bisa untuk naik motor. Doakan saja Adlan.”
“Ya sudah, hati-hati.”
“Iya, Mi, assalamualaikum.”
“Wa’alaikum salam”
Adlan menaiki motornya. Gigi dimasukkan, lalu gas ditarik perlahan. Motor berjalan keluar pelataran. Ban mulai menggilas batu-batu jalanan komplek. Sejurus kemudiann motor masuk ke jalan raya Abimanyu. Gas ditarik penuh. Hanya butuh setengah menit untuk speedometer mencapai angka 110 Km/jam.
Tangan kanan Adlan tak sekalipun mengendurkan tarikannnya. Satu persatu motor, mobil, dan kendaraan lain yang searah disalip dengan mudah. Matanya tersorot tajam, tak lepas mengarah ke jalanan di depannya. Adlan tak sadar kalau jarum bahan bakar telah menyentuh strip merah. Motor terus melaju dengan kecepatan penuh, sampai akhirnya mesin tiba-tiba mati mendadak. Matanya sekejap melirik ke indikator bahan bakar,
“Astaghfirullah! Bensinnya habis?”
Adlan segera menginjak gigi motornya agar lose, sama seperti menekan kopling. Laju motor perlahan mengurang, 100 Km/jam, 95 Km/jam, 90 Km/jam, terus dan terus berkurang.
@@@@
Smansawi mulai menampakkan kesibukannya. Anak-anak berbondong-bondong memasuki gerbang utama sekolah. Satpam sekolah terlihat sibuk mengatur lalu lintas di depan Smansa, membantu para siswa menyeberang jalan. Terlihat sebuah Alphard putih berhenti di tepi jalan, tepat di depan gereja katolik di samping Smansa. Gadis cantik berbalut kerudung putih berenda bunga keluar dari pintu belakang mobil. Ia berjalan menyusuri trotoar depan Smansa lalu masuk ke gerbang utama bersama siswa-siswi yang lain. Langkahnya terus menapaki batako demi batako pelataran depan sekolah. Serambi-serambi kelas satu persatu dilaluinya sampai tiba di depan ruangan bertuliskan Lab. Biologi. Ia pun masuk ke ruangan itu.
Keadaan kelas sudah ramai dengan obrolan anak-anak. Ada yang membahas Naruto, ada yang asik membicarakan artis-artis korea, ada juga yang hanya bengong menopang dagu di atas meja kelas.
“Aisyah? Ini kamu?” sambut salah satu gadis berseragam putih abu-abu tertutup, lengkap dengan jilbab putihnya yang lebar.
“Iya, Salma, ini aku.”
“Aku tidak sedang bermimpi kan?” Saut gadis di sebelah Salma.
“Apa perlu aku cubit tanganmu, Melani?”
“Kamu?” Gadis ketiga yang duduk satu meja dengan Melani dan Salma menunjuk keheranan.
“Kamu apa, Zahra?”
“Kamu cantik sekali, seperti bukan Aisyah yang kemarin.” Lanjut Zahra.
Muka Aisyah merona merah, senyum malunya tersungging mendengar pujian dari teman-temannya. Aisyah lalu duduk di kursi keempat meja tersebut. Mereka langsung tenggelam dalam pembicaraan ngalor-ngidul seperti yang lain.
“Anisa tidak berangkat denganmu Aisyah?” Tanya Melani.
“Dia sedang tidak enak badan. Dia tidak masuk hari ini.”
“Yaah, berarti kita gagal nge-game bareng di MC dong?”
“Tidak, kita tetap nge-game di MC sepulang sekolah nanti. Aku sudah terlanjur bilang ke sopirku agar menjemputku sore-sorean.”
Mereka melanjutkan percakapan dengan tema yang lain, busana. Dalam hal ini Melani yang lebih banyak mendominasi percakapan, dia lah yang paling up to date tentang segala bentuk dan model busana remaja. Di sepanjang percakapan Zahra terus memperhatikan Aisyah. Matanya tak sekejap pun berlabuh selain di wajah Aisyah. Bahkan kipas angin kelas pun tak kuasa membuat matanya berkedip. Aisyah menyadari hal itu.
“Kenapa, Zahra? Ada yang aneh denganku?”
Zahra terhenti dari lamunannya.
“Eh, tidak, tidak ada kok, Syah. Aku cuma iri sama kamu.”
“Iri? Iri kenapa?”
“Aku belum pernah melihat perempuan berkerudung yang secantik kamu.”
“Aduh, jangan terlalu berlebihan kalau memuji, Zahra, aku jadi malu.”
“Tapi sayangnya ini bukan pujian, Aisyah, ini kejujuran.” Zahra tersenyum.
“Zahra saja jatuh cinta sama kamu gara-gara kamu memakai kerudung, apalagi Adlan?” Celetuk Melani.
Wajah Aisyah mendadak merah.
“Apaan sih kamu.” Aisyah menahan senyum.
“Ciee, Aisyah salting.” Salma menggoda.
“Iih, apanya yang salting sih, aku biasa saja kok.” Wajah Aisyah makin memerah, terutama di bagian pipi.
“Itu buktinya, pipimu jadi merah.” Salma menunjuk pipi Aisyah.
Aisyah menutup kedua pipinya dengan telapak tangan, tersipu malu luar biasa.
“Sudah, sudah, kasihan Aisyah, bisa-bisa dia pingsan gara-gara terusan kita ledek.” Zahra akhirnya membela.
Di tengah-tengah hangat perbincangan berbumbu ledekan tersebut, Bu Muzayanah datang.
“Assalamualaikum anak-anak?”
“Waalaikum salam wa rahmatullahi wa barokatuh.” Jawab anak-anak serempak.
“Bagaimana kabar kalian?” Tanya Bu Muzayanah, memulai dengan keakraban.
“Alhamdulillah baik, Bu.” Jawab anak-anak kompak.
“Baiklah, hari ini kita akan mempelajari bab tentang hewan avertebrata, kalian baca dulu materinya di halaman tiga puluh empat sampai empat puluh dua.”
Anak-anak lalu membuka buku paket biologinya sesuai dengan halaman yang diinstruksikan Bu Muzayanah. Mereka mulai sibuk membaca isi materi tentang avertebrata dan semua yang berkaitan dengannya. Aisyah celingukan ke samping dan ke belakang,
Mungkin lengannya belum sembuh, gumam Aisyah dalam hati.
Sepuluh menit telah berlalu. Bu Muzayanah mulai menerangkan materi. Penjelasannya sangat detail. Sesekali anak-anak mencatat hal yang mereka anggap penting. Di tengah-tengah penjelasan tiba-tiba Adlan datang,
“Assalamualaikum?” Adlan menghampiri Bu Muzayanah. Seragam putihnya basah oleh keringat.
“Maaf atas keterlambatan saya, Bu. Motor Saya kehabisan bensin di tengah jalan, dan Saya terpaksa menuntunnya sampai ke sekolah karena tak menemukan SPBU.”
“Iya, tidak apa-apa. Silahkan duduk.” Bu Muzayanah ramah mempersilahkan Adlan.
“Terimakasih, Bu.”
Adlan menuju ke kursi yang masih kosong, tepat di sebelah Waiz. Saat hendak duduk, sekilas ia melihat ada anak baru yang duduk di kursi dekat patung anatomi rangka manusia, duduk bersama Salma, Melani, dan Zahra. Adlan menaruh tasnya di atas meja lalu duduk.
“Pembahasannya apa, Iz? Halaman berapa?” Tanya Adlan sambil mengeluarkan buku paket biologinya dari tas.
“Avertebrata, halaman tiga empat sampai empat dua. Bagaimana lenganmu, Lan?”
“Alhamdulillah, lukanya sudah kering, meskipun belum total. Dari mana kamu tahu lenganku luka?”
“Semuanya tahu tentang keadaan yang menimpamu. Kemarin anak-anak ramai membicarakan keheroikanmu di Suniarsih.”
“Apa? Siapa yang cerita?”
“Awalnya Aisyah bercerita kepada Nisa, lalu Salma dan teman-temannya yang lain ikut mendengarkan. Terus mereka menceritakannya lagi ke yang lain sampai kejadian itu menjadi Hot news di kelas kita.”
“Astaghfirullah, kok jadi begini, sih?”
“Kenapa memangnya?”
“Ya aku malu lah.”
“Kok malu sih? Harusnya kamu bangga bisa menyelamatkan harga diri seorang perempuan, cantik lagi.” Waiz tersenyum, meledek Adlan.
“Aduh, Iz, kamu apa-apaan sih.”
“Hei mas-mas yang di pojok, jangan sibuk bicara sendiri yah!” Bu Muzayanah memperingatkan dengan suara lembutnya yang khas.
Waiz dan Adlan langsung tertunduk malu, meminta maaf.
“Kamu sih.” Adlan menyikut Waiz.
Mereka lalu mendengarkan penjelasan yang diuraikan Bu Muzayanah. Di tengah penjelasan, Adlan penasaran dengan siswi baru yang duduk bersama dengan teman-teman Aisyah itu. Ia menoleh ke meja di pojok kanan. Matanya ia tujukan ke arah siswi baru itu.
“Subhanallah! Aisyah?” Gumamnya lirih. Seolah tak percaya dengan apa yang barusan ia lihat, Adlan mengucek matanya lalu melihat kembali ke pojok kanan.
“Ya Allah, benar, itu Aisyah, cantik sakali dia. Kerudung putih yang ia pakai membuatnya jauh lebih cantik dan anggun. Apa seperti ini kecantikan bidadari surga yah?” Katanya dalam hati.
Mata Adlan seolah tertarik kuat oleh magnet yang dipancarkan wajah Aisyah. Pesona kecantikan alaminya yang terbalut indah oleh kerudung putih membuat Adlan enggan memindahkan pandangannya. Aisyah lalu menengok ke arah Adlan. Pandangan keduanya bertemu. Seketika Adlan dan Aisyah langsung memalingkan pandangan. Wajah keduanya memerah. Senyum tipis tersungging dari bibir Aisyah. Ia merundukkan kepalanya, menyembunyikan rona wajahnya yang tersipu malu. Sedangkan Adlan menutupi senyumnya dengan tangan sambil berpura-pura memperhatikan  Bu Muzayanah yang masih sibuk menerangkan.
Bel jam kedua berbunyi. Anak-anak keluar dari kelas biologi menuju ke kelas terbuka, olahraga. Mereka pergi ke ruang ganti di sebelah kantin. Tak lama setelah itu, dengan pakaian yang telah berubah menjadi kaos olahraga berwarna biru langit mereka berlarian ke lapangan timur. Pak Felix Suhendar telah berdiri menunggu di tepi lapangan. Anak-anak langsung membentuk barisan. Putra di sebelah kanan, sedang putri di kiri.
Pak Felix menerangkan teknik-teknik dasar dalam melempar bola basket. Berbagai teori dijelaskan dengan lugas dan tegas, dari mulai cara memegang bola, posisi kaki, posisi siku sampai cara melompat. Setelah dikira cukup, Pak Felix mengabsen satu persatu anak kelas X.9 untuk mempraktekkan teori-teori tadi. Satu persatu maju sesuai urutan absennya sampai anak terakhir. Pak Felix lalu menutup pertemuan.
Istirahat masih lima belas menit lagi, anak-anak dibebaskan untuk beristirahat lebih awal. Di antara mereka ada yang pergi ke kantin, ada yang ke toilet, ada yang langsung ke ruang ganti, dan ada pula yang ke masjid.
Waiz mengajak Adlan ke masjid. Dengan senang hati dia menyambut ajakan Waiz. Semilir angin di teras masjid pasti akan membuat seragam olahraga mereka cepat kering, pikir Waiz.
Sambil menghilangkan keringat, mereka berdua berbincang, duduk-duduk di teras masjid.
“Lan, siang ini kamu ada acara?”
“Tidak ada, kenapa memangnya?”
“Aku ingin cerita sesuatu.”
“Cerita apa?”
“Aku sedang ada masalah, aku butuh solusi.”
“Sepertinya penting sekali, masalah apa kalau boleh tahu?”
“Nanti saja ceritanya, setelah jam pulang kita ke MC, kita bicara sambil minum es dawet di food zone, bisa kan?”
“Oke, tapi kita ke sana pakai Ninjamu yah? Motorku kehabisan bensin.”
“Bisa, nanti sekalian kita beli bensin buat motormu.”
“Satu lagi.”
“Apa?”
“Aku yang nyetir.”
“Kamu bisa nyetir Ninja? Berat loh. Apa lagi lenganmu belum pulih benar kan?”
“Jangan remehkan kemampuanku, kamu lihat saja nanti. Kalau masalah lengan jangan khawatir, jahitannya sudah kering kok.”
“Baiklah kalau begitu.”
Bel istirahat berbunyi. Adlan dan Waiz pergi ke ruang ganti. Setelah itu mereka kembali lagi ke masjid untuk sholat dhuha.
@@@@
TENG!! TENG!!
Jam 13.25 bel pulang berbunyi. Suara bel yang biasanya terdengar biasa saja, kali itu berbeda. Suara tersebut telah menyelamatkan anak-anak kelas X.9 dari kebakaran otak. Materi aritmetika yang dijelaskan oleh Pak Agung Sujayanto benar-benar menuntut otak untuk berputar lebih cepat. Mereka memacu isi kepala mereka dengan kecepatan penuh selama satu jam full.
“Kita langsung ke MC?” Tanya Waiz.
“Ayo, mana kunci motormu?”
Waiz meregoh saku celananya. Kunci Ninja 4 taknya ia serahkan kepada Adlan. Mereka berdua lalu berjalan ke luar kelas bersama yang lain, langkah kaki keduanya mengarah ke tempat parkir siswa.
@@@@
“Kamu yakin bisa?” Tanya Waiz yang duduk di jok belakang.
“Jangan remehkan Aku, Iz. Kubuktikan kalau caraku mengendarai lebih baik darimu.”
Adlan lalu menstarter mesin. Sebagi pemanasan, gas ditarik full. Suara garang keluar dari knalpot Yoshimura Sang Ninja. Kopling ditarik, gigi dimasukkan.
“Siap?” Tanya Adlan.
“Dari tadi.” Jawab Waiz tak peduli. Telunjuknya mengorek-ngorek telinga, gatal.
BRUUUMMM..!!!
“Wooyy!! Pelan-pelan nyetirnya!” Teriak Waiz, ia terkaget. Tangannya mencengkram erat baju Adlan. Dari parkiran sampai ke gerbang sekolah saja kecepatan motor sampai 65 Km/jam.
“Gila kamu, Lan! Jangan ngebut nyetirnya!”
“Ngebut? Ini belum apa-apa, Iz. Aku tunjukkan seperti apa ngebut itu.” Senyum jahatnya mengembang, hehe.
BRUUUMM!!! Ban depan motor terangkat. Waiz tersentak ke belakang, kaget. Untung cengkraman tangannya kuat, jadi ia tidak sampai terjatuh.
“AAAAHHH!!! Aku masih ingin hidup! Aku belum kawin, Gendeng!” teriakan waiz sangat keras.
Motor berakselerasi sangat cepat, dalam waktu empat detik kecepatannya sudah mencapai 135 Km/jam.
@@@@
Waiz membawa dua gelas besar es cendol, menaruhnya di meja depan Adlan.
“Pokoknya pulang nanti aku yang nyetir, titik!” Waiz menggerutu kesal. Menarik kursi di sebelah Adlan lalu duduk.
“Hahaha, iya-iya, tenang Bro, jangan marah-marah begitu, damai, peace!” Tertawanya lepas melihat ekspresi ketakutan yang masih melekat di wajah Waiz.
Waiz hanya mendengus kesal.
Mereka mulai menyantap es cendol di depan mereka sesendok-sesendok. Suara musik dari game zone yang tak terlalau jauh dari tempat duduk mereka menjadi background percakapan. Mereka ngobrol kesana-kemari, membahas banyak hal.
“Apa yang mau kamu ceritakan, Iz?”
Setelah lima belas menit obrolan ngalor-ngidul, akhirnya Adlan menyinggung tema utama yang menyebabkan keberadaan mereka di situ.
“Jadi begini, Lan..” Waiz menelan es cendol yang tersisa di mulutnya. Ia menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya kembali. Cerita dimulai.
“Sejak kelas satu SMP aku sudah pacaran dengan seseorang. Aku dan dia sangat dekat, kami saling mencintai satu sama lain. Aku selalu membantunya setiap kali dia membutuhkanku, begitu pula sebaliknya. Aku sudah sangat serius dengannya. Aku bilang padanya kalau selulus SMP akan mendaftar ke Smansawi, lalu melanjutkan ke perguruan tinggi ikatan dinas agar bisa langsung mendapat pekerjaan. Aku ingin secepatnya menikahinya. Dia hanya tersenyum mendengar planning masa depanku. Aku menganggap itu sebagai tanda persetujuan darinya. akupun berusaha keras agar bisa masuk Smansawi. Saat melihat pengumuman hasil tes, aku senang sekali. Aku diterima, bahkan aku berada di posisi sepuluh besar. akupun mengabari dia. Dan, Kebahagiaanku semakin besar ketika tahu ternyata dia juga diterima di Smansawi.”
“Memangnya kamu tidak tahu sebelumnya kalau dia mendaftar di Smansawi?” Adlan memotong.
“Awalnya aku mengira dia akan mendaftar di SMA 3 Slawi, tapi ternyata takdir berkata lain. Temannya yang baru datang dari luar kota memaksanya untuk menemaninya mendaftar di Smansawi. Akhirnya dia pun mau setelah mendapat persetujuan dari orang tuanya. Aku pikir dengan berada di sekolah yang sama, hubunganku dengannya akan semakin dekat. Tapi ternyata aku salah, semenjak hari pengumuman itu hubungan kami malah semakin renggang. Dia selalu menghindar dariku. Setiap kali aku SMS tak pernah dibalas. Aku pikir dia sedang tidak ada pulsa, maka akupun menelponnya. Panggilanku direject. Berkali-kali aku menelponnya hasilnya tetap sama. Lalu tadi pagi dia mengirim SMS. Dia bilang kalau dia ingin putus. Aku kaget, aku tak tahu kenapa tiba-tiba dia meminta hal itu. Dia tak memberitahuku apa alasannya. Dia mengambil keputusan secara sepihak. Berkali-kali aku tanyakan alasannya dia hanya bilang, “tak ada sebab atau alasan apapun, aku cuma ingin putus. Itu saja.” Aku bingung, Lan. Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak ingin hubungan yang sudah berjalan tiga tahun hancur begitu saja.”
Adlan terdiam. Dia bingung mau memberi solusi seperti apa. Pacaran saja tidak pernah, bahkan dia sangat menjaga diri dari hal itu, sekarang malah ada orang yang minta solusi masalah pacaran. Adlan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Apa kamu sudah bicara secara langsung dengannya? Mungkin dengan bertemu, semua bisa dicari kejelasannya.”
“Rencananya hari ini aku mau mengajaknya ke sini, membicarakan hal itu sambil menikmati es cendol. Tapi ternyata dia tidak berangkat. Jadi dari pada uang yang aku bawa lebih ini tak terpakai, aku ajak saja kamu kesini, siapa tahu kamu bisa memberiku solusi.”
Adlan menyantap satu sendok cendol. Ooh, ternyata ini alasannya mentraktirku, huh. Tapi tak mengapa lah, yang penting gratis.
“Kalau boleh tahu, pacarmu itu siapa sih?” Tanya Adlan, mulutnya penuh dengan cendol.
“Dia sekelas dengan kita, kamu juga mengenalnya kok.”
“Ya siapa?” Bersiap menelan cendol di mulutnya.
“Anisa.”
Uhukk!!! Adlan tersedak. Ia kaget mendengar nama itu. Sebagian cendol di mulutnya tersembur ke meja, sisanya langsung ia telan tanpa dikunyah lagi, dan, satu bulir cendol masuk ke saluran hidungnya.
“Aduh! Hidungku kemasukan cendol!” Adlan menekan-nekan hidungnya.
“Coba kamu sedot kuat-kuat lewat hidung, biar cendolnya masuk ke mulut!” instruksi gugup Waiz.
Tanpa pikir panjang Adlan langsung melakukannya.
“Masih nyangkut!”
“Sekarang, coba tiup keluar kencang-kencang lewat hidung!” Instruksi kedua Waiz.
Adlan melakukannya, meniup kuat-kuat lewat hidung. Satu kali gagal. Dua kali cendol mulai bergerak mendekati saluran luar hidung. Tiga kali cendol keluar dari lubang hidung sebelah kiri, menembak begitu kencang ke arah lantai. Ada benda hijau lain yang menyertainya.
“Alhamdulillah, keluar juga.” Adlan membersihkan hidung dan mulutnya dengan tisu yang tersedia di meja.
“Makanya hati-hati, kalau mau bicara cendolnya ditelan dulu!” Tegur Waiz.
“Iya-iya, habis cendolnya enak sih.” Masih sibuk membersihkan hidungnya.
Jangan-jangan ada hubungannya dengan SMS Anisa yang kemarin. Apa mungkin Anisa ingin putus dengan Waiz gara-gara aku? Gumam Adlan dalam hati. Telunjuknya terus sibuk membersihkan bagian dalam hidungnya dengan tisu.
“Terus bagaimana menurutmu?”
“Bagaimana apanya?” Sehelai tisu masih tersumpal di lubang hidung Adlan.
“Masalahku tadi.”
“Masalah yang mana?” Wajahnya polos.
“Masalahku dengan Anisa, Adlan!” Waiz kesal. Ia mencabut tisu yang menyumpal di hidung Adlan. Cairan hijau memercik mengenai tangannya.
“Aduh, sial! Ingus!”
Waiz segera mengambil tisu di meja, membersihkan tangannya, jijik.
“Hahaha, santai, Bro! jangan terbawa emosi begitu, aku cuma mencoba membuat suasana sedikit lebih cair.”
“Iya cair, seperti ingusmu!”
“Loh, jangan fitnah kamu, Iz! Ingusku kental kok.”
“Aah! Sudahlah! Kita kembali ke masalahku tadi.” Mengambil satu tisu lagi.
“Lalu menurutmu aku harus bagaimana, Lan?”
Adlan berhenti tertawa. Ia menarik nafas, lalu membetulkan posisi duduknya, lebih tegak.
“Memang benar, wanita itu sulit ditebak. Emosi mereka sangat labil, itulah sebabnya mereka sulit menjaga komitmen. Aku tidak heran jika Anisa atau perempuan lain melakukan hal seperti itu, apalagi hubungan kalian hanya sebatas pacaran, belum ada ikatan apapun yang mengikat kalian secara sah. Jika kalian berpisah, sama sekali tak ada beban moral yang harus ditanggung. Kamu tidak jadi duda, Anisa pun tak harus menyandang gelar janda. Kalau menurutku, lebih baik kamu ikhlaskan saja dia, toh kalau kamu tetap mempertahankan hubungan kalian, belum tentu Anisa akan tetap menerimamu bukan? Kalau menurut logika sehatku, mencintai orang yang tak mencintai kita itu sakit. Semua yang manis akan terasa pahit, semua keceriaan akan terganti dengan kesedihan, semangat hidup semakin memudar, hingga akhirnya semua nikmat dan anugerah Allah yang sebenarnya terbentang luas dan tersedia melimpah untuk kita tak akan terasa. Terasa saja tidak apalagi disyukuri. Sebagai teman, aku menyarankanmu untuk menjadi laki-laki sejati. Jangan biarkan dirimu tumbang hanya karena seorang wanita. Percayalah, jika Anisa memang cinta sejatimu, kelak dia pasti akan kembali lagi kepadamu dengan cara yang mengagumkan, dan jika bukan dia orangnya, maka akan ada seseorang yang jauh lebih baik darinya[1], yang bisa kamu cintai dengan halal, yang bisa kamu belai dengan halal, yang akan memenuhi hidupmu dengan kebahagiaan, bukan sebaliknya. Ingatlah, urusan cinta yang sejati itu selalu sederhana, kawan, jangan kamu persulit sendiri.” Kini Adlan terlihat lebih dewasa dari sebelumnya.
“Tapi itu sulit, Lan. Aku terlalu sayang sama Anisa.”
“Jangan kamu paksakan, pelan-pelan saja, berjalannya waktu pasti akan menghapus luka yang ada di hatimu.”
“Aku tidak bisa, Lan.” Mata Waiz mulai berkaca-kaca.
“Kamu bukan tidak bisa, Iz, tapi tidak mau. Kamu masih kalah dengan nafsumu yang ingin terus mempertahankan Anisa. Bukalah matamu, jangan sampai logikamu dibutakan oleh cinta, itu hanya pantas untuk laki-laki lemah.”
“Entahlah, mungkin kamu benar. Karena cinta logikaku jadi buta, karena cinta aku jadi lemah, dan karena cinta pula, aku masih ingin Anisa tetap di sampingku.” Air mata Waiz meleleh.
“Sepertinya percuma saja aku terus menerus memberikan saran kepada orang yang tak bisa berpikir denga logika normalnya. Lebih baik kamu pikirkan saja dulu nasihatku. Untuk sekarang ini cara pikirmu, ucapanmu, dan suasana hatimu masih didominasi oleh cinta, kamu belum bisa berpikir jernih. Nanti kalau keadaanmu sudah stabil, baru ambillah langkahmu. Dan jangan lupa, sebagai seorang muslim kamu juga harus menimbang-nimbang keputusanmu dengan neraca syariat.”
Waiz terdiam lama, memikirkan apa yang Adlan ucapkan. Sejenak kemudian dia mengangguk, setuju. Ia mengusap air matanya.
“Terimakasih, Lan. Pendapatmu sangat logis, Logikaku pun menerimanya, tapi perasaanku masih mati-matian menolak. Semoga Allah membantuku untuk melepaskan diri  dari jerat yang menyakitkan ini.”
Adlan mengamini harapan Waiz. Mereka lalu menyendoki kembali cendol yang masih tersisa. Lima menit kemudian cendol pun habis. Waiz beranjak dari tempat duduknya untuk membayar dua gelas es cendol di kasir. Ketika berdiri, sepatunya menginjak lantai yang basah karena cendol yang tersembur saat Adlan tersedak tadi. Ia terpeleset, jatuh. Tangan kanannya membentur meja, dan tangan kirinya menghujam keras ke lantai. Aaaahh!!! Teriaknya kesakitan.
“Innalillah!” Reflek Adlan.
Ia segera menolong temannya itu, mendudukkan Waiz di kursinya lagi. Waiz memegangi tangan kirinya, meringis kesakitan.
“Kamu tidak apa-apa, Iz?”
“Sepertinya tangan kiriku keseleo.”
“Tapi masih bisa digerakkan kan?”
“Masih, tapi sakit.”
“Terus kamu pulangnya bagaimana?”
“Sepertinya kita harus bertukar motor dulu, Lan. Aku tak mungkin bisa mengendarai motor berkopling dengan tangan kiri seperti ini.”
“Baiklah kalau begitu.”
@@@@
“Kamu yakin bisa ?” Tanya Adlan dari atas Ninja putih.
“Jangan remehkan aku, kalau hanya Smash seperti ini sih gampang meskipun dengan tangan satu.” Jawab Waiz dari atas Smash biru milik Adlan.
Waiz melajukan motor. Perlahan tapi pasti, motor keluar dari parkiran sekolah menuju gerbang utama. Tangan kanannya tersendat kaku memegang stir. Adlan mengikuti dari belakang.
Di depan gerbang, Adlan dan Waiz menghentikan motor. Mereka berdua berjabat tangan. Setelah itu Waiz melajukan motor ke lajur selatan, pelan. Adlan memperhatikan temannya itu dari atas tunggangannya. Sepertinya Waiz memang mampu mengandarai motorku, pikirnya. Waiz lalu hilang di tikungan.
Adlan memasang tali helmnya. Ia menarik gas, mengarahkan motor ke arah yang berlawanan dengan Waiz tadi, ke lajur utara. Beberapa meter motor berjalan, Adlan melihat Aisyah sedang berdiri di depan sana. Nampaknya sedang menunggu jemputan. Adlan berhenti, ia mengamati Aisyah dari jauh.
Tiba-tiba sebuah mobil Avanza hitam berhenti persis di depan Aisyah berdiri. Satu orang bertubuh tinggi besar keluar dari pintu belakang. Dengan sigap ia meringkus Aisyah, membawanya masuk ke dalam mobil. Pintu mobil di tutup. Avanza langsung melaju kencang ke arah utara.
Aisyah diculik. Kejadiannya begitu cepat. Adlan langsung tancap gas mengejar Avanza hitam itu. Mesin Ninja meraung garang. Roda depan terangkat beberapa jengkal selama lima detik lalu jatuh lagi mencengkram aspal jalanan.
Mobil melaju sangat kencang di depan sana. Adlan menggeber tunggangannya sampai di kisaran 147 Km/jam. Hanya butuh waktu dua menit, jarak Adlan dengan mobil tersebut sudah semakin dekat. Adlan mengurangi kecepatan guna menjaga jarak. Ia terus membuntuti Avanza itu dari belakang.
Aku tak mungkin memepet agar mobil berhenti, tungganganku jelas kalah body. Yang bisa ku lakukan hanya terus membuntuti dan menjaga jarak, menunggu sampai mereka berhenti, pikirnya.
Mobil melintas di pantura, melaju ke arah timur. Matahari mulai tenggelam. Mobil terus melaju ke arah Pekalongan. Adlan setia membuntuti di belakang dengan jarak yang cukup aman dari kecurigaan pembuntutan.
Hari semakin petang, kini mobil telah sampai di Semarang. Di jalanan yang bertepi hutan jati, mobil berbelok ke kiri, masuk ke jalan yang lebih kecil. Pepohonan semakin lebat. Jalannya sudah tidak lagi beraspal. Mobil berjalan semakin pelan memasuki kawasan bebas penduduk. Suasananya gelap, tak ada penerangan sama sekali selain lampu mobil.
Adlan mematikan lampu motornya agar tidak ketahuan. Ia berada tiga puluhan meter di belakang mobil, berjalan dengan mengingat rute  yang dilalui mobil Avanza. Sesaat kemudian mobil berhenti. Dari kejauhan Adlan pun menghentikan motornya. Empat orang keluar dari mobil. Tubuh mereka tinggi besar seperti tukang pukul. Satu diantaranya memanggul Aisyah di pundak kirinya. Aisyah tak sadarkan diri. Rambutnya menjuntai ke bawah, tak lagi tertutup kerudung. Seseorang yang berjalan paling depan menerangi jalan dengan senter. Adlan masih mengawasi dari kejauhan. Mereka lalu masuk ke sebuah rumah kayu.
Adlan mengeluarkan smartphone-nya dari saku celana. Ia lalu berjalan ke rumah kayu tersebut dengan flash ponselnya sebagai penerang jalan. Di kawasan tersebut hanya rumah kayu itu yang memancarkan cahaya lampu, putih redup di tengah-tengah kegelapan hutan. Jelas bukan dari listrik perumahan karena tidak ada satu rumah pun di sekelilingnya, juga kabel atau tiang listrik, yang ada hanya hamparan pohon jati.
Adlan mencari celah untuk mengintip ke dalam rumah kayu. Ia melihat Aisyah dalam keadaan terikat di sebuah kursi kayu. Mulut dan matanya tertutup. Ia masih belum sadarkan diri. Kepalanya jatuh lemas ke pundak kiri. Sebuah lampu neon charge diletakkan di atas meja di tengah ruangan sebagai satu-satunya sumber cahaya. Tiga orang nampak sedang melepas penat, duduk bersender di sebuah sofa panjang. Seorang lagi sedang mencoba menghubungi seseorang dengan ponselnya. Laki-laki berjaket kulit warna cokelat dengan rambut kuncir itu terlihat kesal. Ia mengibas-ngibaskan Hpnya, mencari sinyal. Setelah beberapa menit telepon akhirnya tersambung.
“Halo, Bos. Target sudah ada di tangan, tinggal menunggu perintah selanjutnya.”
Kemudian orang itu diam, kepalanya manggut-manggut mendengarkan suara dari seberang sana.
“Iya, Bos, sudah.” Katanya.
Kembali mendengarkan. Kali ini dia berjalan mendekati meja tengah.
“Tidak, Bos. Target sesuai dengan foto yang bos berikan. Awalnya Kami memang kebingungan karena dia memakai kerudung, tapi setelah Kami amati lebih dekat ternyata benar, dia Aisyah, anak wakil direktur perusahaan yang menjadi rival utama perusahaan bos.”
Oh, ternyata mereka orang  suruhan rival bisnis Papanya Aisyah, gumam Adlan.
Orang itu  masih diam mendengarkan. Manggut-manggut.
“Oke, Bos. Siap!”
Telepon lalu ditutup.
“Andre, Cimong, ikut aku! Dan kamu, Jambrong, jaga baik-baik anak itu. Ingat, jangan kamu apa-apakan dia!” Perintah Si Rambut kuncir.
“Siap, Kang!” Jawab laki-laki dengan brewok lebat dan tato kepinding di lengan kanannya.
Dua orang berdiri dari sofa, satu bergaya rambut klimis rapi, dan yang satu lagi botak. Keduanya lalu keluar dengan Si Rambut kuncir. Adlan bersembunyi di balik dinding samping rumah kayu itu. Keadaan yang gelap membuat persembunyiannya benar-benar sempurna. Tiga penjahat itu berjalan ke arah mobil Avanza tanpa sedikitpun menyadari keberadaan Adlan. Setelah masuk mobil, mereka lalu pergi entah kemana.
Adlan kembali mengintip ke dalam rumah kayu. Lelaki bernama Jambrong itu nampak sibuk dengan ponselnya. Sesaat kemudian ia merogoh ke dalam jaket hitam yang dikenakannya, mengeluarkan pistol dan menaruhnya di atas meja.
Sepertinya setiap orang dari mereka memegang senjata, gumamnya lirih.
Ia kembali mengamati ke dalam ruangan, menunggu kesempatan yang tepat untuk membebaskan Aisyah. Jambrong sekarang berdiri dari sofa, berjalan mendekati Aisyah yang masih tak sadarkan diri. Ia membuka penutup mata Aisyah, lalu lakban di mulutnya. Lakban itu begitu rekat. Saat Jambrong membukanya, Aisyah tersadar dan langsung menjerit kesakitan.
“Menjeritlah sekeras-kerasnya! Tak akan ada yang mendengarmu di tengah hutan seperti ini.” Jambrong tersenyum jahat. Pandangannya tajam mengarah ke wajah Aisyah.
“Lepaskan aku penjahat! Apa maumu!” Aisyah berteriak histeris, ketakutan. Air matanya mengalir.
“Ini semua salah ayahmu. Kalau saja dia mau menjual tiga hotel yang di bali itu kepada bos besar kami, tentu Kami tidak akan mengambil langkah picik seperti ini. Tapi apa mau dikata? Ayahmu telah memilih pilihannya sendiri.”
“Ketiga hotel itu bukan milik ayahku, dia cuma wakil direktur, tidak lebih!”
“Kamu tidak tahu apa-apa soal urusan ini. Meskipun ayahmu hanya seorang wakil direktur, tapi semua surat kepemilikan hotel-hotel itu sudah dikuasakan kepadanya. Memang hebat ayahmu, akupun mengakuinya. Dengan kejujuran dan kerja kerasnya dia sampai diberi kepercayaan sebesar itu.”
“Lalu kalian mau memaksa ayahku untuk menjual ketiga hotel itu dengan mengancam akan membunuhku? Hah!”
“Hahaha, pintar juga kau rupanya.” Tertawa jahat.
“Trik kuno! Orang bodoh pun tahu skenario usang seperti itu!”
Jambrong menatap Aisyah semakin tajam. Giginya bergerutuk.
“Iya, skenario ini memang kuno dan usang, tapi ini selalu ampuh.”
Jambrong lalu memegang dagu Aisyah. Menatap wajahnya dalam-dalam, lalu tersenyum.
“Cantik juga kau ini.” Senyum jambrong melebar.
“Jangan sentuh aku, Penjahat!” Aisyah mengelakkan kepalanya.
“Aku bisa melakukan apapun yang aku mau. Kang Kobat sedang ke Gunungpati menjemput bos besar, di sini hanya ada kau dan aku. Kang Kobat memang bilang agar kau tidak diapa-apakan, tapi jika hanya mencicipi bibirmu saja pasti tak akan ada bekasnya bukan?”
Jambrong mendekatkan wajahnya ke wajah Aisyah. Aisyah memalingkan wajahnya. Jambrong lalu memegang kepala Aisyah. Kepala Aisyah kini dalam kuasanya. Aisyah menutup mulutnya rapat-rapat. Matanya terpejam. Laki-laki berbrewok lebat itu kembali mendekatkan wajahnya, semakin dan semakin dekat dengan wajah Aisyah. Tinggal beberapa centi lagi bibirnya akan mendarat di mulut Aisyah yang masih tertutup rapat.
BLAKKK!!!
Sebuah balok kayu menghantam punggung Jambrong, sangking kerasnya sampai patah menjadi dua. Ia tersungkur ke lantai. Tubuhnya tak bergerak, sepertinya pingsan.
“Adlan? Bagaimana bisa?” Aisyah kaget melihat kedatangan Adlan, suaranya tercekat.
“Penjelasannya nanti saja.”
Adlan langsung sibuk melepas ikatan yang melekatkan tubuh Aisyah dengan kursi yang didudukinya.
“Adlan awas!” Teriak Aisyah.
Bogem mentah langsung menghantam punggung Adlan. Jambrong ternyata tidak pingsan, dia masih sadar. Sekarang giliran Adlan yang tersungkur di atas lantai. Jambrong segera menghampiri Adlan yang masih meringis kesakitan. Ia mencengkram kuat leher Adlan dengan kedua tangannya. Adlan benar-benar tak berdaya di bawah tindihan laki-laki bertubuh besar itu. Tangannya berusaha melepaskan cekikan yang membuatnya tak bisa bernafas.
Pergulatan itu sangat tidak seimbang. Ukuran badan Adlan dan Jambrong  terpaut jauh berbeda. Adlan semakin payah. Tangan kanannya menggerayangi lantai di sekitarnya, mencari apa saja yang bisa diambil. Dapat. Potongan balok kayu tadi terjamah olehnya. Adlan segera mengayunkannya ke kepala Jambrong sekeras-kerasnya. Jambrong terguling ke samping. Darah meleleh dari luka hantaman tersebut, mengecat sebagian wajah, telinga, leher, dan bajunya dengan warna merah.
“Anak SMA bangsat!” Teriaknya.
Jambrong mengambil pisau dari balik celananya. Adlan bersiap. Ia meningkatkan konsentrasi bertarungnya. Kini lawanku memegang senjata, aku harus lebih waspada. Jambrong lalu menyerang secara membabibuta. Dengan lincah Adlan menghindari tiap serangannya. Tubuh besar Jambrong membuat gerakan dan serangannya tak terlalu gesit.
Satu hujaman pisau mengarah ke leher Adlan, ia merunduk, lalu dengan keras menghantamkan kepalan tangan kanannya ke bagian vital Jambrong.
AAAAHHH!!!!
Jambrong meraung kesakitan. Pisaunya terlepas, jatuh ke lantai. Ia berlutut dengan kedua tangan memegangi alat vitalnya. Adlan melompat, tendangan berputarnya mendarat keras di pelipis kanan Jambrong. Jambrong terguling di atas lantai. Dengan payah ia berusaha bangkit. Adlan segera mengambil kursi kayu di salah satu pojok ruangan lalu menghantamkannya sampai hancur ke kepala bagian belakang Jambrong. Jambrong kembali tersungkur. Darah mengalir dari luka  di bagian belakang kepalanya.
Kini ia tak bergerak sama sekali. Adlan bernafas tersengal-sengal. Ia tendang-tendang lemah tubuh Jambrong, memastikan kalau dia benar-benar tidak akan bangun lagi. Adlan lalu berbalik arah, berjalan mendekati Aisyah yang masih terikat di kursi. Aisyah menangis, air matanya deras mengalir.
“Kenapa menangis?” Adlan jongkok, melepaskan simpul tali di bagian betis Aisyah.
“Aku takut.” Kata Aisyah sesunggukan.
“Semua sudah aman, tak ada yang perlu ditakutkan selama kita bergerak lebih cepat dari kedatangan ketiga temannya tadi.” Dengan sigap Adlan melepaskan lilitan demi lilitan tali yang menyatukan tubuh Aisyah dengan kursi.
“Aku tidak takut dengan kedatangan mereka, aku takut kamu kenapa-napa.”
Adlan terhenyak. Gerakannya terhenti. Ia menatap Aisyah. Aisyah melihat Adlan dengan bola mata yang masih banjir dengan tangisan.
“Aku akan baik-baik saja.” Adlan meneruskan pekerjaannya, melepaskan lilitan yang tinggal sedikit.
“Selesai! Ayo cepat kita pergi dari sini!” Adlan melangkah ke pintu.
Aisyah masih tetap duduk.
“Ini bukan urusanmu, Adlan, ini urusan keluargaku. Aku tak mau kamu ikut-ikutan masuk ke dalam bahaya. Jika aku pergi bersamamu, pasti mereka juga akan mengincarmu.” Tambah Aisyah.
Adlan membalik badan, berjalan mendekati Aisyah yang belum juga berdiri dari kursinya. Adlan lalu jongkok tepat di hadapan Aisyah. Pandangannya ke lantai.
“Jika aku ingin aman, aku tidak akan repot-repot mengikutimu sampai ke sini. Aisyah, ketahuilah, aku akan melakukan apa saja, bahkan menerjang bahaya sekalipun asal aku bisa memastikan kalau kamu baik-baik saja.”
Adlan mengangkat pandangannya. Air mata Aisyah masih mengalir, namun kini sebuah senyuman telah membentang menghiasi bibirnya. Ia tak mampu mengucapkan sepatah kata pun kala mendengar kalimat yang keluar dari mulut Adlan. Kalimat yang mewakili perasaan Adlan yang sebenarnya. Ia tahu kalau Adlan juga mencintainya, dan ia pun tahu Adlan akan tetap membiarkan cinta itu tak terungkap. Orang seperti Adlan pasti lebih memilih cintanya tetap suci dan terjaga, indah bersemayam di dalam hati sampai takdir memberikan jalan yang indah dan terhormat bagi cintanya itu.
“Bagaimana? Kamu mau ikut denganku?” Tanya Adlan.
Dengan senyuman yang masih membentang, Aisyah mengangguk.
“Ayo!”
Adlan bangkit, berjalan cepat ke arah pintu. Aisyah mengikutinya di belakang. Sekalian melangkah, Aisyah mengambil tasnya yang tergeletak di samping sofa.
“Tunggu sebentar!” Adlan menghentikan langkah.
Ia mengeluarkan ponsel dari saku celana abu-abunya. Menyalakan flash, lalu kembali berjalan.
@@@@
Di tengah jalanan yang gelap bertepi pepohonan jati nan rindang, Ninja putih itu membelah hitamnya malam dengan dua mata terangnya. Dengan laju 125Km/jam angin malam serasa sangat kencang menabrak kaca helm si pengemudi, Adlan. Aisyah yang membonceng di belakang hanya bisa menutup matanya rapat-rapat. Rambut panjangnya berkelebat hebat ke belakang. Tangannya mencengkram erat seragam putih Adlan. Adlan dan Aisyah memamg berboncengan, tapi tubuh keduanya tak saling menempel, terpisahkan oleh kedua tas gendong mereka. Adlan memakainya di punggung, sedangkan Aisyah di bagian depan tubuhnya.
“Adlan, bisa kamu pelankan kecepatannya? Aku kedinginan.” Teriak Aisyah.
Adlan tak merespon sama sekali. Sepertinya suara Aisyah terbawa kabur ke belakang oleh angin jalanan yang begitu kencang. Ia pun mengulanginya lebih keras.
“Adlan! Bisa lebih pelan tidak? Aku kedinginan!”
“Apa!” Teriak Adlan. Ia membuka kaca helmnnya.
“Pelankan motornya! Aku kedinginan!”
Adlan pun menurunkan kecepatan motor, 93 km/jam.  Motor terus melaju di jalanan gelap yang panjang. Setelah beberapa menit, rentetan lampu jalanan berwarna kuning terlihat di depan sana. Ninja memasuki jalanan terang, namun tepian jalannya masih di dominasi oleh pepohonan rindang. Hanya sekali dua bangunan nampak terlintasi. Aisyah melihat cairan warna merah merembes dari lengan kiri seragam Adlan.
“Adlan, sepertinya luka di lenganmu terbuka lagi.”
“Tak apa, aku baik-baik saja, kita harus terus menjauh dari mereka.”
“Tapi darahnya keluar banyak.”
“Aku bisa menahan sakitnya kok, jangan khawatir.”
Aisyah pun terdiam. Rasa khawatirnya atas keadaan Adlan terungkapkan oleh setetes air mata, mengalir melewati pipi lalu terbawa angin terbang jauh ke belakang.
Kini motor memasuki kawasan kota. Jalanan nampak lebih ramai dengan berlalu-lalangnya berbagai jenis kendaraan, dari yang beroda dua seperti yang dinaiki Adlan dan Aisyah, sampai yang beroda enam, truk-truk kontainer.
“Aisyah, kamu bawa uang tidak?” Tanya Adlan.
“Tidak, kenapa memangngya?”
“Bensinnya mau habis.”
“Kalau begitu kita cari mesin ATM, uangku masih ada di kartu ATM.”
Adlan pun memperlambat lagi motornya, mencari-cari mesin ATM. Sejurus kemudian ninja putih menepi ke sebuah mesin ATM di samping Indomaret. Aisyah turun dari motor, Adlan juga. Aisyah masuk ke ruang mesin ATM, sementara Adlan duduk menunggu di depan ATM.
Setelah lima menit Aisyah keluar. Ia mendapati Adlan tertidur dengan posisi memeluk lutut. Helmnya ditaruh di samping kanan bersama tasnya. Saat hendak membangunkan Adlan, Aisyah melihat darah di lengan kiri Adlan menetes semakin banyak.
“Adlan, bangun! Darahmu keluar banyak sekali. Kita harus ke rumah sakit dulu untuk membetulkan jahitan lukamu.”
Adlan terbangun, melihat lengan kirinya.
“Tak perlu, Aisyah, aku bisa menahannya. Yang harus Kita lakukan adalah menjauh secepatnya, jika Kita ke rumah sakit maka akan ada banyak waktu yang terbuang.”
“Jangan seperti itu, Adlan! Kalau terus dibiarkan terbuka darahmu akan keluar lebih banyak. Pokoknya Kita harus ke rumah sakit sekarang juga, titik!” Emosi Aisyah tersulut, terlihat jelas dalam kemarahannya itu ada sebuah kekhawatiran yang tersirat.
“Tidak, Aisyah, kamu tenanglah, aku tidak apa-apa, kita harus...”
“Pokoknya kalau tidak ke rumah sakit aku tak mau ikut kamu lagi!” Kedua mata Aisyah berkaca-kaca.
Adlan menghela nafas.
“Baiklah, Kita ke rumah sakit setelah mengisi bensin.” Mengalah.
Mereka pun melanjutkan perjalanan, mencari pom bensin terdekat. Tak jauh dari tempat mereka berhenti tadi terdapat sebuah pom bensin, mereka berhenti di situ. Ada dua motor lain yang juga sedang mengantri untuk mengisi bahan bakar.
Selesainya mengisi full perut ninja dengan pertamax, Adlan dan Aisyah melanjutkan perjalanan. Kini Aisyah yang menentukan arah. Dia pernah tinggal di daerah yang tidak terlalu jauh dari situ, jadi Ia tahu beberapa tempat penting di daerah tersebut, termasuk rumah sakit terdekat.
@@@@
Aisyah duduk menunggu di sebuah kursi panjang di depan ruang bedah. Jam tangannya menunjukkan pukul sepuluh lebih lima belas menit, itu berarti sudah dua puluh menit terhitung sejak Adlan masuk ruang bedah. Seragam putih abu-abunya begitu kusut dan berantakan. Ia terkantuk-kantuk di atas kursi. Tiba-tiba Hpnya berdering. Aisyah menerima panggilan tersebut.
“Aisyah! Kamu di mana sekarang?” Suara seorang laki-laki dewasa dari seberang sana.
“Papa, Aisyah baik-baik saja, Pah. Jangan khawatir, sekarang Aisyah sedang dalam perjalanan pulang.”
“Barusan Papa menerima telepon dari Gatot, rival bisnis Papa. Katanya dia telah menculikmu. Dia meminta Papa menjual beberapa hotel yang ada di Bali. Dia mengancam akan membunuhmu kalau Papa tak melakukannya. Papa bingung harus berbuat apa, soalnya dia juga melarang Papa menghubungi polisi dengan ancaman yang sama.”
“Papa tenang saja, Aisyah sekarang dalam keadaan aman. Salah satu teman Aisyah mengikuti mobil yang membawa Aisyah sampai ke tempat di mana Aisyah disekap. Dia telah menyelamatkan Aisyah, Pah. Sekarang Kami masih di rumah sakit, lengan teman Aisyah itu terluka.”
“Syukurlah kalau begitu. Papa akan...”
Suara terputus. Layar smartphone Aisyah mati, kehabisan baterai. Aisyah mengucap hamdalah. Meski percakapan dengan Papanya belum selesai, tapi paling tidak sekarang Papanya tahu kalau dia dalam keadaan aman. Aisyah menyimpan Hpnya ke dalam tas.
Setengah jam lebih menunggu perut Aisyah mulai konser. Lapar. Ia lalu pergi ke luar rumah sakit, membeli dua kebab turki di depan indomaret yang terletak 20 meter dari rumah sakit. Ia juga membeli dua botol air mineral dari Indomaret tersebut. Selesainya berbelanja untuk santap malam, Aisyah berjalan kembali ke ruma sakit. Di pagar depan rumah sakit terpampang jelas tulisan RUMAH SAKIT GRAHA MEDIKA. Tulisan tersebut sangat mudah dilihat dari jalan raya.
Saat Aisyah kembali ke kursi tunggu ruang bedah, Adlan sudah selesai dari penjahitan lengannya. Ia duduk di kursi yang tadi diduduki Aisyah.
“Adlan, sudah selesai?” Menghampiri Adlan lalu duduk di sebelahnya.
“Alhamdulillah sudah. Ayo kita lanjutkan perjalanan.” Ajak Adlan.
“Kita makan dulu, aku sudah beli dua kebab.” Aisyah mengambil satu kebab dari kantong plastik, menyodorkannya ke Adlan.
Adlan terbengong.
“Ayo ambil, kamu lapar kan? Kalau aku sih lapar.” Senyum manisnya terlontar.
Adlan pun menerima kebab tersebut.
“Terimakasih.” Katanya singkat.
Mereka berdua lalu menyantap kebab itu dengan lahap. Bumbu lapar yang tertabur menambah kelezatan santap malam mereka. Gigitan demi gigitan membuat kebab yang mereka santap semakin berkurang ukurannya.
“Adlan.” Aisyah memecah kelengangan.
Adlan menengok, kenapa?
“Terimakasih banyak.” Aisyah menatap wajah Adlan lembut.
Adlan segera menundukkan pandangannya. Ia hanya menjawab dengan senyuman, lalu kembali mengunyah kebabnya.
Gigitan demi gigitan terus mengecilkan ukuran kebab mereka sampai akhirnya ludes. Aisyah memberikan sebotol air mineral dingin kepada Adlan, bintik-bintik air menyelimuti semua bagian botolnya. Ia pun mengambil satu lagi di kantong plastik untuk dirinya. Mereka meneguknya dengan penuh kenikmatan, segar.
“Adlan, sepertinya aku tak kuat jika harus melanjutkan perjalanan, aku lelah sekali.”
Sekilas Adlan melihat wajah Aisyah. Pucat.
“Kita mau istirahat di mana?”
“Tiga ratus meter dari rumah sakit ini ada tempat kos, semoga saja masih ada dua kamar kosong.”
“Kalau tidak ada?” Adlan cemas. Tak mungkin bermalam sekamar kan? Protesnya dalam hati.
“Kita cari yang lain.” Tersenyum, tahu maksud pertanyaan Adlan.
“Baiklah, semoga saja masih ada.”
@@@@
Ninja putih keluar dari gerbang rumah sakit, masuk ke jalan raya. Adlan dan Aisyah mengarah ke timur dengan kecepatan sedang. Hanya beberapa menit saja mereka telah sampai di kosan yang dimaksud Aisyah. Mereka turun dari motor, berjalan ke rumah pemilik kos.
“Assalamualaikum?” Aisyah mengetuk pintu.
“Aisyah, lihat!” Adlan menunjuk tombol bel rumah yang terpasang di pojok atas pintu. Ia berdiri tiga langkah di belakang Aisyah.
“Hehe, maaf, aku tidak lihat.” Menggaruk kepala.
Aisyah menekan tombol bel. Ting nong, bunyi bel terdengar dari dalam  rumah. Sesaat kemudian seorang perempuan berusia empat puluhan membuka pintu.
“Ada apa, Nak?” Tanya pemilik kos.
“Kami mau menyewa dua kamar, Bu, apa masih ada?”
“Aduh, mohon maaf, Nak, kamarnya cuma tersisa satu.”
Aisyah menengok ke arah Adlan, Bagaimana? Adlan menggelengkan kepala.
“Ya sudah, Bu, kami cari yang lain saja.”
Adlan dan Aisyah berjalan ke motor, sedangkan Ibu kos kembali masuk ke rumahnya.
“Coba kita ke utara, tiga ratusan meter dari sini ada motel, semoga masih ada dua kamar.”
“Motel? Uangnya cukup?”
“Semoga saja cukup.”
Adlan menaiki motor.
“Ayo naik, Aisyah.”
“Sebentar.” Aisyah memegangi dadanya. Ekspresi wajahnya menahan rasa sakit.
“Kamu baik-baik saja?” Tanya Adlan, cemas.
Uhuk…uhukk.. Darah menyembur dari mulut Aisyah. Ia berusaha menutupinya dengan telapak tangan.
“Astaghfirullah! Kamu kenapa Aisyah?” Adlan segera turun dari motornya.
“Tidak, aku tidak apa-apa. Ayo cepat kita ke motel itu.”
Uhukk.. Darah segar kembali memuncrat dari mulut Aisyah. Adlan segera naik kembali ke motor, perasaannya cemas bercampur bingung. Aisyah pun naik ke motor.
“Ayo cepat, Adlan.” Kalimat Aisyah melemah.
Adlan segera menjalankan motor. Aisyah berpegangan erat pada seragam putih Adlan. Dengan lemah Aisyah menunjukkan arahnya. Tak lama kemudian mereka sampai di motel. Tepat saat Adlan menghentikan motor, Aisyah terjatuh. Pingsan.
@@@@
Ruangan itu tak terlalu luas, juga tak terlalu sempit. Ada sebuah ranjang yang cukup untuk dua orang. Sofa terletak dua meter di kanan ranjang, lengkap dengan meja dan televisi untuk bersantai. Di sebelah TV ada sebuah dispenser. Kamar mandi pun tersedia di dalam kamar motel tersebut. Tiga lampu kamar menyala terang di langit-langit berwarna putih. Satu lampu tidur tepat di samping kiri ranjang. AC menyala, mesinnya berdengung mengatur suhu ruangan, 26°C. Lantainya yang terbuat dari keramik putih bercorak biru dan merah silih berganti terlihat serasi dengan pintu kamar berwarna cokelat yang sengaja dibiarkan terbuka. Jam dinding kamar menunjukkan pukul dua belas malam.
Adlan duduk di sofa. Ia kebingungan memikirkan keadaan Aisyah yang kini terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang. Badannya begitu letih, terlebih setelah menggendong Aisyah dari tempatnya terjatuh tadi sampai ke kamar yang disewanya itu. Pembayaran kamar telah dilunasi untuk semalam. Uang yang ada di dompet Aisyah hanya cukup untuk menyewa satu kamar.
Adlan merasakan matanya semakin berat. Lama kelamaan akhirnya terpejam.
“Astaghfirullah! Aku belum sholat maghrib dan isya.” Terbangun dari nyaris tidur-nya.
Adlan beranjak ke kamar mandi guna membersihkan badannya dari darah dan keringat. Di kamar mandi telah tersedia handuk dan peralatan mandi yang lain. Adlan mengganti ­putih abu-abunya dengan seragam olahraga yang tadi ia gunakan saat pelajaran Pak Felix.
Ketika keluar dari kamar mandi, Adlan mendapati Aisyah telah siuman.
“Aisyah, kamu sudah siuman? Bagaimana keadaanmu?” Nada pertanyaannya cemas.
Ia menghampiri Aisyah, duduk di tepi ranjang.
“Aku tidak apa-apa, Adlan. Jangan khawatir, aku sudah biasa seperti ini, insyaAllah besok juga sudah baikan.”
“Tempo hari aku menemukan saputangan biru bertulis A.Z, di lipatan dalamnya ada bercak-bercak darah. Awalnya aku ragu orang seceria dan seaktif kamu adalah pemiliknya. Tapi sekarang jelas sudah, kamulah Si Pemilik sapu tangan berdarah itu. Memangnya penyakit apa yang kamu derita? Dan separah apa?”
Aisyah terdiam. Suara kamar menjadi sangat lengang. Hanya suara AC yang terdengar bergemuruh.
“Kata dokter aku terkena kanker paru-paru. Terakhir kali aku periksakan penyakitnya sudah mencapai stadium tiga.” Kalimatnya memecah kelengangan.
“Lalu, sekarang kamu bawa obatnya?”
“Ada di kantong samping tasku.”
Adlan bangkit dari tempatnya untuk mengambil botol obat yang Aisyah maksud. Ia juga mengambil segelas air putih dari dispenser.
“Ini, minumlah.” Memberikan obat dan air putih kepada Aisyah. Ia berusaha tetap menjaga pandangannya.
“Terimakasih.” Aisyah menerimanya.
Ia  mengambil dua butir pil putih, lalu menelannya dengan bantuan air.
“Kamu tahu, obat ini hanya untuk meringankan rasa sakit dan memperlambat perkembangan kanker.” Jelas Aisyah.
“Maksudmu...”
“Ya, penyakitku tak bisa disembuhkan.” Sela Aisyah.
Adlan menelan ludah, tidak bisa disembuhkan?
“Kedua orang tuaku tak mengatahui hal ini. Selain dokter, Hanya Bi Hafsah, pembantu yang sudah seperti ibu bagiku yang tahu tentang penyakitku ini. Dan sekarang, kamulah orang ketiga yang tahu tentang penyakitku.”
Adlan terdiam selama beberapa saat. Alisnya mengernyit.
“Tidak, pasti ada jalan untuk menyembuhkan penyakitmu.”
“Sebenarnya memang ada, dengan operasi pengangkatan sel kanker.”
“Kenapa tidak kamu lakukan?”
“Sudah terlambat, kankernya sudah menjalar, presentase kegagalan operasi tersebut lebih besar dari presentase keberhasilannya.”
“Apa yang akan terjadi jika operasinya gagal?”
Aisyah tersenyum. Adlan tahu maksud dari senyuman itu, kematian. Mata Adlan berkaca-kaca. Sesaat kemidian sebutir air mata mengalir di pipinya. Ia segera menyekanya.
“Seberapa lama obat itu bisa memperlambat perkembangan kanker sampai stadium akhir?”
“Tak lebih dari tiga tahun.”
“Terhitung sejak kapan?”
“Empat bulan yang lalu.”
Adlan shock mendengar hal itu. Dalam tunduk kepalanya terlihat sebuah pandangan yang tiba-tiba datar. Ruangan menjadi hening. Hanya suara gemuruh AC yang terdengar. Adlan menyeka air matanya yang kembali meleleh.
“Hei, jangan menangis, aku yang punya penyakit saja kuat, dasar cengeng!” Aisyah tersenyum, meledek Adlan, berusaha membuatnya tegar sebagaimana dirinya.
Adlan masih terdiam. Mulutnya terkunci rapat. Milyaran kata yang ada di otaknya mendadak hilang. Mengetahui orang yang dicintai dalam penderitaan memang menyakitkan, terlebih jika penderitaan itu akan mengantarkannya pada kematian.
“Adlan, aku belum sholat maghrib dan isya, kamu mau menemaniku berjamaah? Aku tak mau jika harus kehilangan dua puluh tujuh lipatan pahala sholat.” Senyum manisnya terlontar.
Adlan mengangguk pelan, pandangannya masih datar ke lantai. Aisyah bangkit dari ranjang, berjalan menuju kamar mandi. Ia membawa serta seragam olahraga yang tadi pagi ia kenakan.
Setelah lima belas menit Aisyah keluar, sekarang ia memakai seragam olahraga. Adlan masih mengerjakan sholat sunah. Aisyah mengambil mukena di dalam tasnya, mengenakannya, lalu berdiri di belakang Adlan. Sesaat kemudian Adlan selesai. Ketika salam ia melihat Aisyah telah berdiri di belakangnya dalam balutan mukena putih. Adlan pun berdiri.
“Kita sholat isya dulu, setelah itu kita qodho sholat maghrib.” Kata Adlan. Aisyah mengangguk.
“Allahu akbar.”
Adlan memulai sholatnya. Aisyah mengikuti di belakang. Mereka pun langsung tenggelam dalam khusyu penghambaan di penghujung malam. Air mata Adlan mengalir. Suara bacaan fatihahnya tercekat, sesunggukan. Dalam hatinya dia terus memohonkan kesembuhan untuk perempuan yang jadi makmumnya saat itu, Aisyah. lelehan air matanya begitu deras menetes ke lantai.
Di belakang Adlan, Aisyah pun mengucurkan deras air matanya. Mukena bagian dagunya basah. Namun demikian sebuah senyuman menyunging di wajahnya, sebuah senyum syukur. Senyum tersebut mengembang dengan sendirinya sebagai ungkapan  terimakasih yang terluap atas nikmat yang telah diberikan untuknya. Meskipun Allah memberikan penyakit yang akan membatasi umurnya, tapi Dia juga mengirimkan seorang guardian angel untuk memastikan kebahagiaan dan keselamatannya di sisa-sisa umurnya yang tak lama lagi. Ia sangat bersyukur karena telah dipertemukan dengan Adlan.
Bagi Aisyah, Adlan adalah kado terbaik dari Allah yang ia tunggu-tunggu kedatangannya, kado yang dikirim sebagai penghancur karang permasalahan yang selalu membebaninya. Kini, dengan keberadaan Adlan dalam guratan takdir hidupnya, Aisyah tak lagi takut menghadapi kematian. Ia siap menjumpai kematian kapan saja kematian itu menginginkannya. Baginya, kebersamaan dengan Adlan di detik-detik itu  merupakan kebahagiaan terbesar yang Allah tuliskan dalam lembaran takdirnya, kebahagiaan yang lebih dari cukup untuk menghapus semua deritanya selama ini, bahkan yang akan datang termasuk kematiannya.
Rakaat demi rakaat, fatihah demi fatihah, juga doa demi doa terus dirajut oleh Adlan dan Aisyah di kamar itu sampai akhirnya salam penutup mengakhiri peribadatan mereka.
“Aisyah, kamu istirahatlah, pastikan kalau besok pagi tubuhmu telah pulih. Kita akan meneruskan perjalanan usai sholat subuh.” Kepala Adlan menoleh ke samping kanan, pandangannya ke lantai.
“Iya.” Sahut Aisyah di belakangnya.
Aisyah beranjak dari lantai tempatnya bersimpuh, berjalan ke ranjang. Saat hendak melepas mukena, Adlan mencegahnya. Ia meminta agar Aisyah tetap mengenakannya saat tidur. Ia takut setan akan merasuki akal sehatnya jika Aisyah tertidur hanya dengan seragam dan training olahraga saja, apalagi rambutnya terjuntai bebas tak tertutup. Aisyah mengiyakan, ia pun tidur dengan tetap memakai mukena putihnya. Tak lupa selimut ranjang juga ia tutupkan ke sekujur tubuh agar lebih hangat dan terjaga.
Sementara itu Adlan berdiri lagi, melanjutkan pelunasan hutangnya kepada Allah. Ia memulai takbir qodho sholat asarnya yang tadi ia kerjakan dengan hurmat al waqti[2] saat membuntuti mobil yang menculik Aisyah.
@@@@












[1]Dikutip dari tulisan Darwis tere-liye.
[2]Sholat hurmat al waqti adalah sholat yang dikerjakan seadanya untuk menghormati kewajiban sholat ketika waktunya tiba. Sholat hurmat al waqti di kerjakan saat seseorang tidak bisa memenuhi syarat-syarat sah sholat seperti suci dari hadats dan najis, tidak menemukan tempat yang suci dan pas untuk gerakan sholat, tidak ada pakaian suci yang bisa ia gunakan untuk menutup auratnya dsb, padahal waktu sholat wajib telah datang. Dan Si Pelaku harus mengqodonya saat ia bisa memenuhi syarat-syarat sholat tersebut. Maktabah Syamilah, Al majmu’ syarh al muhazzab, juz 2, hal 306.

Bagian Kedua

PEMESANAN 082322504931