Jumat, 20 Mei 2009. Saat yang sangat
menegangkan bagi 906 siswa SMP yang empat hari lalu mengikuti tes seleksi
Smansawi kloter terakhir. Sejak pukul 05.30 selepas subuh tadi para panitia
penyeleksi dibantu beberapa anggota pengurus OSIS sudah sibuk menempeli
kertas-kertas hasil tes Senin lalu.
Kertas-kertas tersebut ditempel pada papan-papan yang disusun memanjang di aula
sekolah. Jam 06.30 satu persatu siswa berseragam putih biru mulai berdatangan.
Mereka langsung sibuk mencari-cari namanya sendiri di antara 906 nama yang
tertulis di kertas-kertas pengumuman tersebut.
Satu persatu kertas mereka periksa
dengan teliti. Berdesakan dan saling dorong, berharap namanya ada pada daftar
dua ratus peringkat awal, karena jika nama mereka berada di bawah peringkat 200, itu berarti
mereka berada di posisi cadangan. Cadangan dimulai dari peringkat 201 sampai
906. Mereka akan menjadi pengganti apabila dari 200 siswa yang diterima ada
yang mengundurkan diri atau tidak bisa melengkapi persyaratan-persyaratan yang
diminta. Tapi itu hampir tidak mungkin terjadi. Sehingga bisa dikatakan,
Cadangan = Tidak diterima.
Meskipun hari masih pagi, udara pun
sejuk, tapi banyak diantara mereka yang berkeringat deras, bahkan sebagian anak
perempuan bedaknya luntur, sebagian lagi ketiaknya basah. Ada yang seketika
berteriak HOREE..!! AKU PERINGKAT TUJUH, HORE! AKU PERINGKAT TIGA PULUH, HORE! AKU
DITERIMA, dan banyak HORE lain yang mengikuti. Mereka mulai menemukan namanya
masing-masing. Suasana kegembiraan terlihat jelas, namun tidak sedikit juga
anak-anak yang berwajah kesal, sedih, dan frustasi karena tidak diterima.
Adlan lebih memilih berangkat agak
siang. Jam 08.15 dia baru sampai di Smansawi. Ia menduga keadaan sudah mulai
sepi. Ketika sampai di aula sekolah, ternyata masih ada sekitar tiga puluhan
siswa yang masih sibuk mencari cari nama mereka di Papan. Adlan tidak langsung
nimbrung mencari nama, dia lebih memillih duduk santai terlebih dahulu di
sebuah kursi panjang tepat di sebelah utara papan-papan. Ia keluarkan smartphone-nya
dari saku celana. Kabel headset dicolokkan, telinga disumpal dengan headset, lalu,
klik, Critical Acclaim_A7X.
Di posisi yang teramat rileks itu Adlan
menonton tingkah anak-anak SMP yang sibuk hilir mudik di depannya, mengamati
dengan cemas daftar-daftar nama dari satu papan ke papan lainnya. Ia jadi
berpikir betapa antusiasnya anak-anak itu untuk bersekolah di sekolah sebergengsi
ini.
Masih sangat lekat di ingatannya memori
empat hari lalu, ketika ia bersama anak-anak SMP lain berjibaku melawan dua
puluh lima soal IPS, dua puluh lima soal IPA, dua puluh lima soal matematika,
dua puluh lima soal B. Indonesia, dua puluh lima soal B. Inggris, dan dua puluh
lima soal psikotes hanya dalam waktu dua jam.
Suasana kala itu benar-benar
menegangkan, panas, dan berkeringat meskipun ruangannya ber-AC. Bukan cuma
karena kesemua soal yang mereka hadapi itu memang benar-benar telah dipilih
sebagai eliminator paling tangguh, tapi juga karena guru yang bertugas
mengawasi tes seleksi saat itu begitu menyeramkan dan killer. Kumisnya tebal
seperti tokoh Pak Raden dalam film Si Unyil, sorot matanya tajam dan galak
seperti herder, cincin akik hitam yang melingkar di jari tengah kedua tangannya
menambah aura mistis yang memancar dari dalam diri lelaki berambut gersang di
bagian depan kepalanya itu. Tapi di antara semua penampilan eksentriknya, yang
paling mengganggu adalah parfumnya. Tak jarang ada siswa yang berubah raut
wajahnya menjadi frustasi hanya gara-gara mencium aroma parfumnya yang angker.
Selain kengerian-kengerian yang telah
disebutkan di atas, lelaki tersebut juga memiliki kemampuan yang luar biasa. Ia
bisa mengubah atmosfer ber-AC di ruangan itu menjadi hawa jahanam hanya dengan
sekali menyalak,
“Sekali lagi lirak-lirik, saya congkel
matamu!”
Lima belas menit berlalu tiga lagu
telah habis diputar, Adlan pun menghentikan proyeksi film horor di kepalanya.
Kini Papan pengumuman benar-benar sepi, hanya menyisakan dua anak perempuan,
satu berjilbab dan yang satu lagi tidak, yang tidak berjilbab rambutnya panjang
sepunggung, namun demikian keduanya sama-sama memakai seragam SMP yang
tertutup.
Merasa keadaan mulai kondusif Adlan pun
ikut nimbrung. Dia mulai mencari namanya di daftar paling kiri, daftar dua
puluh peringkat teratas.
“Yes! Perhitunganku benar. Total nilai
sembilan puluh empat.”
Dia segera mengeluarkan smartphone-nya
dari saku baju, mengetik pesan singkat sambil tetap berdiri di depan daftar dua
puluh peringkat teratas tadi.
Mi,
Adlan lolos. Alhamdulillah dapat peringkat ke..
“Maaf,
bisa geser sedikit? Kami mau melihat daftar yang ini.” Kata anak berkerudung.
Tangannya menunjuk daftar 20 nama peringkat teratas di depan Adlan. Anak
berambut panjang berdiri di sampingnya.
“Oh iya, silahkan!” Adlan bergeser
mempersilahkan.
Saat Adlan hendak melanjutkan SMSnya,
siswi berkerudung tadi berteriak,
“Aisyah, aku peringkat lima belas!!”
Begitu antusias.
Temannya, Aisyah, menyambut teriakan
antusias itu dengan teriakan yang lebih antusias lagi,
“Iya, Nisa. Aku peringkat dua!!!”
Keduanya lalu melompat-lompat
kegirangan. Berpelukan. Mereka tak bisa menahan tawa luapan kegembiraan. Aisyah
sampai berkaca-kaca matanya. Adlan yang melihat luapan kebahagiaan itu akhirnya
menyimpan kembali HPnya ke dalam saku. Dia mendekati Aisyah dan Nisa lalu
berkata,
“Selamat yah, Aisyah, Nisa, peringkat
yang mengagumkan.” Tersenyum.
Aisyah dan Nisa menyambut hangat ucapan
selamat tersebut.
“Iya, terimakasih. Kalau kamu bagaimana?
Namamu ada di daftar dua ratus siswa yang diterima kan?” Tanya Aisyah sembari
menyeka air matanya.
“Alhamdulillah, iya. Baiklah, sekali
lagi selamat yah. Aku duluan.” Jawab Adlan sambil melangkah meninggalkan Nisa
dan Aisyah.
“Hey, nama kamu siapa?” Tanya NIsa.
“Namaku tercantum bersama nama kalian
di kertas yang sama.” Jawab Adlan, misterius. Ia terus berjalan ke tempat
parkir.
Di atas motornya, setelah menstarter
motor Adlan mengeluarkan kembali HPnya. Melanjutkan SMS yang tadi tertunda, Satu,
Lalu send. Dia memasukkan kembali HPnya ke dalam saku kemudian tancap gas.
Pulang.
@@@@
Jam 10.58 bebek Smash biru ditenggerkan
di teras rumah. Dengan begitu riangnya Adlan berlari ke dapur, tempat yang ia
yakini Umi pasti ada di sana. Begitu sampai di dapur, ternyata sepi, bahkan
kompor gas pun tak menyala. Hari ini Umi tidak memasak?
Gumamnya. Dia langsung pergi ke ruang tengah, meja makan. Ternyata Umi di situ.
Ada satu hal yang membuat matanya langsung terbelalak, di atas meja telah
terhidang dua puluh tusuk sate ayam favoritnya. Wajah dan sorot matanya berbinar,
mata tak berkedip memandangi. Lubang hidung melebar, menghirup dalam-dalam
aroma sate yang sangat menusuk sampai ke
perut. Mulutnya melongo, liurnya hampir menetes.
“Ini hadiahnya, Sang Juara.” Kata Umi
memecah konsentrasi Adlan yang tertuju pada tusukan-tusukan sate itu.
“Sate ayaaamm…!!!”
Tanpa ba bi bu Adlan langsung
merangsek duduk di kursi makan, membantai tusuk demi tusuk sate yang terkapar
di atas piring saji warna putih. Mulutnya blepotan. Umi hanya tersenyum melihat
kebuasan Adlan melahap hadiahnya.
“Pelan-pelan, Adlan! Nanti tersedak.”
Umi mengingatkan.
“Iya, Mi, tenang saja!” Jawabnya dengan
mulut yang penuh dengan lumatan daging.
“Tadi Abah sudah Umi kabari kalau kamu dapat
peringkat pertama. Abah bilang mau membelikanmu sesuatu sepulangnya dari kantor
nanti.” Umi memberi tahu.
“Dibelikan sesuatu? Apa, Mi?” Tanya
Adlan. Mulutnya masih penuh.
“Entahlah. Tunggu saja nanti. Terus
Abah juga bilang kalau hari ini pulang sore, jadi kamu berangkat jumatannya
sendirian.”
“Hhe’em.. iya, Mi.” Mulutnya terus
mengunyah.
“Kalau
satenya sudah habis, mandi, terus siap-siap ke masjid. Umi mau istirahat
dulu di kamar.”
“Siap Ibu Ratu!” Menghormat ala tentara
Inggris.
Semenjak kelahiran Adlan kehidupan
keluarga Dewi semakin dan semakin membaik. Tidak hanya membawa kebahagiaan untuk
umi dan abahnya, namun juga membawa keberuntungan berturut-turut bagi keluarga
kecil itu.
Lima tahun setelah kelahiran Adlan sang
Abah diangkat menjadi PNS setelah sekian lama mengabdi sebagai honorer, gajih
bulanannya pun naik seiring dengan kenaikan pangkatnya. Dua tahun berikutnya ia
mendapat beasiswa S2 dan mampu menyelesaikan magister ilmu politiknya tepat
waktu. Lalu di umur Adlan yang ke sembilan tahun, semakin lengkaplah
kebahagiaan keluarga itu dengan kehadiran penghuni baru, adik Adlan yang bernama
Fadli.
Adlan tumbuh menjadi anak yang cerdas,
atau lebih tepatnya jenius. Otaknya seperti alat rekam, apapun yang dia lihat,
dengar, cium, atau rasa akan melekat kuat di ingatannya. Saat umurnya tujuh
tahun dia dibawa silaturahmi ke Kyai Hadi, beliau berpesan kepada Abah dan Umi,
“Anak kalian memiliki cahaya yang
terang di dalam dadanya, jagalah dia dari kegelapan maksiat agar cahayanya
tidak redup.”
Semenjak kelas satu SD Adlan selalu
meraih juara pertama setiap kali pembagian raport. Ia benar-benar mengagumkan,
selalu menunjukkan kepada siapapun guru yang pernah mengajarnya bahwa dia
adalah anak yang cemerlang. Mereka terkagum dengan kecepatan daya tangkap
otaknya, juga kemampuannya mengolah informasi yang baru didapat sehingga bisa
langsung dikombinasikan dengan informasi-informasi lain yang sudah terlebih
dulu ada di dalam kepalanya.
Kemampuan Adlan yang sedemikian wow
itu bahkan tak jarang membuat guru pengajarnya mati kutu gara-gara pertanyaan
kritisnya. Salah satunya terjadi saat ia duduk di kelas tiga SD, ketika guru
agamanya bercerita tentang Nabi Ibrahim a.s yang menghancurkan patung-patung
raja Namrud dengan sebuah kapak.
“Pak, kok Nabi Ibrahim bilang kalau
yang menghancurkan patung-patung itu adalah patung yang paling besar? Bukankah
itu bohong? Lalu kenapa Nabi Ibrahim berbohong? Padahal Nabi Ibrahim kan
seorang rasul? Bukankah salah satu sifat wajib bagi rasul adalah shiddiq yang
artinya jujur?”
Satu kelas menjadi hening mendengar
pertanyaan berbobot yang begitu saja keluar dengan derasnya dari mulut Adlan. Bahkan
gurunya pun tercekat, dua detik mulutnya sempat menganga, memperlihatkan
kerak-kerak gigi bagian dalamnya yang kuning. Sang guru tak mampu menjawab
pertanyaan itu dengan jawaban yang pasti, namun demi menjaga harga diri di
depan murid-murid yang saat itu menatapnya dengan tatapan super penasaran
–sebagian dengan mata belekan,- akhirnya ia mengarang sendiri jawabannya.
“Ya karena... terkadang bohong itu
diperbolehkan saat keadaannya genting.” Katanya penuh mantap.
Anak-anak satu kelas manggut-manggut oooh
kecuali Adlan, otaknya masih belum mau menerima jawaban sesimpel itu.
“Berarti kalau Adlan memecahkan spion
motor bapak lalu dipaksa mengaku, Adlan boleh berbohong yah Pak?” ekspresinya
polos.
“Oh, kalau itu jelas tidak boleh.”
“Kenapa tidak boleh Pak? Katanya dalam
keadaan genting boleh berbohong?”
Gurunya semakin bingung, makin ia
menjawab makin ia mati kutu dengan pertanyaan Adlan berikutnya. Senjata makan
tuan. Karena tidak menemukan jawaban lain akhirnya ia pun berkata,
“Karena itu motor Bapak.”
Semenjak kejadian tanya jawab itu,
hampir setiap hari ada saja guru yang mengeluh karena spion motornya pecah.
Mulai dari guru matematika, guru bahasa Jawa, guru Penjas, dan guru-guru yang
lain termasuk kepala sekolah. Hanya guru agama saja yang tak pernah mengeluhkan
hal itu.
@@@@

Tidak ada komentar:
Posting Komentar