Rabu, 19 Juli 2017

6. Mimpi aneh



”SIAAP GRAK!”
Seru pemimpin upacara. Semuanya berdiri tegak, pandangan lurus ke depan, tangan setengah mengepal, dua telapak kaki membentuk sudut 90° dengan tumit sebagai pusat sudutnya.
Pagi itu, Senin, 23 Mei 2009, Smansawi mengadakan upacara bendera sekaligus pembukaan acara MOS. Udara Slawi masih sangat sejuk, belum banyak terkontaminasi asap kendaraan bermotor. Terlebih keadaan di lapangan Smansawi, udaranya terasa sangat menyegarkan dan agak dingin karena keberadaan puluhan pohon hijau nan rindang yang tertanam di tepi-tepi lapangan. Ditambah lagi dua pohon berukuran tanggung –tinggi 7 meter- yang tertanam di dua taman panjang yang menyekat lapangan menjadi dua bagian. Angin pagi berhembus lembut menggoyangkan dedaunan hijau, membuatnya seperti menari melambai-lambai, menyapa para peserta MOS yang berdiri bershaf-shaf sesuai kelas. Antara satu kelas dengan kelas yang lain terpisah jarak dua lengan, disekat oleh ketua kelas yang bertindak sebagai komandan kompi,  penginstruksi komando kepada barisan kelasnya masing-masing.
Sementara itu dewan guru berdiri rapi membentuk barisan tersendiri, terpisah dari barisan-barisan siswa. Kepala Sekolah yang bertindak sebagai pembina upacara berdiri di atas mimbar. Mimbar upacara yang terbuat dari kayu itu terletak lima langkah di kanan tiang bendera. Tepat tujuh langkah di depan mimbar, Kak Gilang berdiri tegak di tengah lapangan sebagai pemimpin upacara.
Setelah pengibaran merah putih, Kepala Sekolah, Ibu Sri Rejeki Ningsih, memberikan beberapa patah kata sebagai nasihat. Beliau mengingatkan para siswa untuk menghadapi tahun ajaran baru ini dengan semangat yang lebih membara dari tahun ajaran lalu. Di akhir sambutan, Ibu Sri Rejeki Ningsih membuka acara MOS secara resmi. Beliau mengetuk mikrofon sebanyak tiga kali sebagai ganti dari pemukulan gong. Semua bertepuk tangan. Lapangan yang tadinya hening, khidmat mendengar kalimat-kalimat Bu Sri Rejeki Ningsih, kini ramai membahana, riuh bergemuruh oleh suara tepukan tangan yang silih bergantian. Satu dua siswa bersiul keras, membuat kondisi lapangan semakin meriah.
Adlan berada di shaf keempat, barisan sebelah timur lapangan. Tepat di shaf terdepan barisannya, Aisyah sedang berdiri tegak. Posisi yang sangat strategis bagi Adlan untuk memandangi Aisyah tanpa ketahuan. Lima menit sudah mata Adlan belum sekalipun berkedip, terbius oleh pesona wajah Aisyah yang semakin menawan terkena terpaan sinar matahari pagi.
Astaghfirullah, apa-apaan mataku ini! Terbuai memandangi perempuan yang tak halal untukku!
Adlan tersadar. Dia langsung menundukkan kepala, memejamkan matanya rapat-rapat, lalu menarik nafas dalam-dalam untuk kemudian ia hembuskan kembali. Hatinya terus beristighfar. Ia segera teringat dengan pesan Umi,
“Adlan, sebagai seorang laki-laki kamu harus pintar menjaga pandangan. Tundukkanlah pandanganmu terhadap hal-hal yang tidak halal bagimu. Matamu ini hanyalah sebuah titipan, jangan kamu salah gunakan. Sama seperti ketika kamu dititipi baju oleh orang, lalu kamu kotori baju tersebut, apakah orang itu akan senang?”
“Pasti marah lah, Mi.” Jawabnya saat itu, polos.
“Jika orang itu saja marah gara-gara baju titipannya kamu kotori, apalagi Allah? Tentu Dia akan jauh lebih marah ketika mata titipanNya kamu kotori dengan melihat perkara-perkara yang dilarangNya.”
Adlan begitu menyesal. Dia merunduk, mengucapkan istighfar tanpa henti, sampai akhirnya salah satu pengurus OSIS yang bertugas mengawasi barisan belakang para siswa baru menegurnya,
“Hei, posisi siap! Pandangan ke depan!” Suaranya tertahan.
”Iya, Kak. Maaf.” Adlan memperbaiki posisi siapnya, mengangkat pandangan lurus ke depan. Kini dia melarang keras matanya untuk menyerong 45° ke kanan, tempat Aisyah berdiri.
@@@@
Acara MOS hari pertama sangat padat. Kegiatan pertama, setiap siswa baru harus berkeliling sekolah, mencari minimal empat puluh guru dan staf TU (Tata Usaha) untuk dimintai tanda tangan. Kemudian di sesi kedua mereka harus mencari minimal sepuluh dari lima puluh kakak kelas yang telah ditentukan panitia untuk dimintai data dirinya secara lengkap. Beberapa kakak kelas memang agak usil. Ketika mereka dimintai data diri oleh siswa baru, mereka tidak mau memberikannya sampai syarat-syarat yang mereka berikan dilaksanakan terlebih dahulu. Ada yang minta dipijit, ada yang menyuruh lompat kodok dari ujung lapangan ke ujung lapangan yang lain, ada yang minta dirayu dengan kalimat-kalimat gombal, dan masih banyak sayarat-syarat aneh yang lain.
Begitu pula Adlan. Dia pun tak luput dari keusilan-keusilan tersebut. Ketika meminta data diri seorang kakak kelas, dia diberi syarat untuk marah-marah sama tiang bendera.
Harus dengan ekspresi marah yang totalitas, kalau tidak, Kakak tidak akan memberikan data diri, ancam Si Kakak Kelas.
Mau tak mau Adlan pun harus melakukannya. Ia pergi ke tempat dimana tiang bendera terpancang,
“Hai tiang jelek! Kamu ini apa-apaan sih! Berdiri di tengah lapangan, mengganggu orang lewat! Sudah kurus, pucat, jelek lagi. Ngrusak pemandangan ngerti! Mending cantik kayak Julie Estle!”
Orang-orang tertawa melihat ekspresi marah Adlan yang full totallity. Akhirnya kakak kelas itu pun memberikan data dirinya.
Adlan benar-benar capek, disuruh inilah, disuruh itulah, terlebih posisinya sebagai ketua regu, benar-benar menuntut dirinya untuk bekerja dan berpikir lebih dari teman-temannya yang lain. Namun sedikit banyaknya hal itu justru membantu pematangan jiwa kepemimpinannya. Kemampuan otaknya yang sangat cepat dalam memahami sesuatu termasuk karakteristik setiap individu yang ia hadapi membuatnya bisa bersikap lebih cepat dan tepat. Tak ayal teman-teman yang berada dibawah panji kepemimpinannya sangat kompak dan patuh terhadap komandonya.
Di setiap keputusannya, Adlan selalu melihat kemampuan perindividu teman-temannya, dia membagikan tugas sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Lebih dari itu, dia mampu mengkombinasikan keenam temannya yang memiliki karakteristik dan keahlian yang berbeda-beda, sehingga mereka bekerja sebagai satu kesatuan yang utuh dan saling bersinergi. Karena itulah dari sembilan perlombaan antar regu yang diadakan oleh panitia MOS, baik yang berkaitan dengan kekompakan regu atau kemampuan per individual, kelompoknya berhasil menjadi juara pertama di tujuh perlombaan, sedang dua yang lain mereka harus mencukupkan diri dengan posisi kedua dan ketiga.
Bagi Adlan, berposisi sebagai ketua regu cukup membuat kemampuan alaminya sebagai seorang characteristic reader semakin terasah. Selain membaca karakter keenam temannya untuk mengompakkan regu, Adlan juga berlatih –secara tidak sengaja- membaca karakteristik anak-anak lain yang menjadi rivalnya dalam sembilan perlombaan tersebut, sehingga dia bisa melihat kelemahan musuh-musuhnya untuk dihadapkan dengan kelebihan-kelebihan regunya.
Di sore hari ketiga MOS upacara penutupan dilaksanakan. Bu Ani yang berdiri sebagai Wakil Kepala Sekolah menutup acara MOS, dan sekaligus secara resmi membuka acara GMB. Dalam upacara tersebut, Adlan dan keenam temannya maju ke tengah lapangan untuk mendapatkan penghargaan sebagai kelompok MOS terbaik tahun itu. Mereka bersorak riang, menerima sejumlah uang dan sebuah piagam penghargaan, lalu kembali ke barisan semula diiringi liuk riuh tepuk tangan regu-regu yang lain.
@@@@
Seusai sholat isya, Adlan langsung beranjak ke kamar.  Dia rebahkan badannya yang serasa remuk itu di atas ranjang. Capek sekali. Tiga hari mengikuti MOS ala Smansawi ternyata tidak seperti yang ia duga sebelumnya, benar-benar menguras tenaga dan pikiran. Belum lagi besok sampai tiga hari ke depan, GMB yang akan diadakan di Bumi Perkemahan Martoloyo desa Suniarsih telah menunggu untuk lebih melumat tubuh dan otaknya. Ya, lebih melumat dari pada MOS, karena dia tidak akan punya waktu untuk beristirahat nyaman di atas ranjang kamarnya tiap malam seperti saat MOS. Tenda parasit akan menggantikan dinding rumahnya saat ia tertidur di malam hari, tikar tipis akan menggantikan kasur empuknya saat berbaring, kelima temannya akan menggantikan bantal gulingnya yang nyaman, dan puncaknya, suara peluit komando yang memekik telinga akan menggantikan suara lembut Umi saat membangunkannya untuk tahajud setiap jam setengah empat pagi.
Adlan harus mempersiapkan tubuhnya untuk itu semua. Anggota regunya telah berkurang satu. Waiz Al Qorni, wakil ketua regunya sekarang terkapar sakit. Tubuhnya tak kuat lagi mengikuti kegiatan orientasi yang tinggal tiga hari itu, begitulah kabar yang Adlan dapat dari Waiz lewat SMS yang barusan masuk.
Saat memejamkan mata, seperti biasa, bayangan Aisyah menerobos masuk ke kepala Adlan tanpa permisi. Adlan teringat sapu tangan berdarah yang belum sempat ia tanyakan kepada Aisyah. Sapu tangan itu masih tersimpan di laci meja belajarnya. Matanya terbuka lagi.
Aku tidak yakin kalau sapu tangan itu milik Aisyah. Mana mungkin gadis seceria dia menyimpan penyakit dalam yang parah? Tapi inisial itu? Bagaimana kalau A.Z itu benar-benar Aisyah az-Zahra? Lalu penyakit apa yang dia derita sampai-sampai dia membutuhkan sapu tangan untuk menutupi darah-darah itu? Padahal kan lazimnya sapu tangan, orang selalu membawanya setiap saat. Berarti kemungkinan yang paling logis adalah darahnya sering keluar. Ah! Seandainya saja kegiatan MOS tak sepadat itu, tentu sudah aku tanyakan sejak hari Senin lalu. Risaunya dalam hati.
Adlan nampak begitu peduli dengan keadaan Aisyah, sampai-sampai rasa penat yang meliputi badannya terlupakan sesaat kala ia berpikir tentang kesehatan Aisyah. Matanya belum terpejam, masih memandangi langit-langit kamar yang terbuat dari anyaman bambu bermotif khas Jawa klasik. Hanya suara kipas angin yang terdengar jelas. Lamat-lamat suara Umi membaca al Quran di ruang sholat begitu lirih, jarak antara kamar Adlan dan ruang sholat yang agak jauhlah penyebabnya. Ditambah pintu kamarnya yang tertutup rapat, hanya dua ventilasi udara di atas pintu yang bersedia mempersilahkan suara bacaan al Quran Umi merambat masuk ke kamar Adlan.
Suasana di luar rumah pun begitu tenang. Langit sangat bersih dari gelayutan awan. Trilyunan bintang gemintang terlihat begitu jelas, menemani kesendirian Si Bulan sabit. Sesekali angin semilir menimbulkan suara gesekan lembut antara dedaunan pohon di pekarangan samping rumah. Semua keadaan itu seolah teracik sempurna, menambah kelezatan mata Adlan saat tertutup. Berbagai lintasan di kepalanya pun terhenti, termasuk lintasan-lintasan wajah Aisyah. Dan terakhir, bumbu capek yang sangat mengundang selera tidur itu membuatnya semakin jauh menerobos kelezatan alam bawah sadar.
@@@@
“Adlan, ayo tangkap aku!” Aisyah berlari riang diantara pepohonan jati besar, menembus semak belukar yang semakin lebat.
“Aisyah, tunggu! Jangan pergi ke tengah hutan! Berbahaya!” seru Adlan sambil terus mengejar Aisyah. Dia mengerahkan semua tenaganya untuk berlari, namun rasanya derap kaki Aisyah terlalu cepat. Ia semakin tertinggal jauh di belakang. Aisyah lalu menghilang diantara semak-semak yang lebat. Adlan kebingungan mencari-cari Aisyah. Kesana kemari ia sibak semua belukar yang menghalangi. Sesaat kemudian suara Aisyah kembali terdengar,
“Adlan! Tolong aku!”
Adlan segera berlari menuju sumber suara. Rasa takutnya begitu besar. Dia takut sesuatu yang buruk terjadi pada Aisyah. Dia terus berlari menyibaki belukar di depannya, tak peduli dengan duri-duri yang menyobek beberapa bagian tangannya sampai berdarah-darah. Ia pun akhirnya keluar dari semak belukar. Di depan matanya kini terlihat Aisyah yang sedang terkatung-katung di bibir tebing. Aisyah terus berteriak meminta tolong,
“Adlan, tolong aku!”
Tanpa pikir panjang Adlan langsung berlari demi meraih tangan Aisyah. Sejurus sebelum dia meraih tangan Aisyah, terdengar teriakan lain dari sisi tebing yang satunya. Adlan mengenal suara itu, sangat akrab di telinganya. Ketika Adlan menoleh, ia melihat Umi yang juga sedang terkatung di bibir tebing.
“Adlan, tolong Umi!”
Adlan benar-benar bingung. Dilema yang ia hadapi terlalu sulit. Siapa yang harus ia tolong duluan? Aisyah yang sudah di depan mata, ataukah Umi yang keadaannya sudah sangat miris karena hanya tersisa satu tangan saja yang masih mencengkram bibir tebing? Adlan berpikir cepat. Dia memutuskan untuk menolong Aisyah terlebih dahulu. Ia tarik tangan Aisyah sekuat tenaganya.
“Adlan, cepat tolong Umi!”
teriakan Umi semakin kencang, keadaannya semakin genting, hanya ujung-ujung jemarinya yang masih bertahan mencengkram bibir tebing.  Adlan mengerahkan semua tenaganya. Setelah bersusah payah Aisyah pun bisa diangkat, separuh badannya sudah berada di zona aman. Adlan menyuruh Aisyah untuk berpegangan terlebih dahulu di sebuah batu. Adlan segera berlari ke arah Umi, berlari sangat kencang. Ketika ia hendak meraih tangan Umi, jemari Umi terlepas dari bibir tebing, Umi terjatuh. Adlan melihat tubuh Umi melayang-layang semakin tak terlihat ditelan gelapnya jurang.
“Adlaaan!!!”
Teriakan Umi masih terdengar, menggaung-gaung dari dalam jurang. Adlan shock. Matanya terbelalak memandangi jurang gelap itu. Mulutnya menganga kaget, jantungnya berdegup sangat kencang, tangannya masih terjulur ingin meraih, namun apa mau dikata, jemari Umi terlebih dahulu terlepas dari bibir tebing. Air matanya perlahan meleleh. Tiba-tiba suara Umi terdengar kembali,
“Adlan! Adlaan! Bangun Adlan! Sudah hampir subuh, tahajud dulu!”
Adlan tebangun dari tidurnya. Bajunya basah kuyup karena keringat, padahal kipas angin masih menyala kencang. Jantungnya berdegup sangat cepat. Nafasnya tersengal-sengal. Rentetan mimpi yang barusan ia alami sangat jelas, seperti kenyataan saja. Bahkan air matanya pun ternyata benar-benar meleleh keluar. Ia mengusapnya.
“Alhamdulillah, cuma mimpi.” Mengusap keringat di dahinya.
Ia melihat jam kamarnya. Empat kurang lima belas menit, dua puluh menit lagi Mang Komar baru akan mengumandangkan azan subuh. Adlan beranjak ke kamar mandi. Dia mengambil air wudhu agar batinnya lebih tenang. Dia mengganti bajunya yang basah keringat dengan baju takwa.
Di ruang sholat, Abah dan Umi sudah sedari tadi larut dalam dzikir dan sholat malam. Adlan yang baru masuk ke ruang sholat kemudian melakukan takbirotul ihrom, sholat tahajud. Perasaannya masih belum tenang. Bayangan mimpi menakutkan tadi masih menghantui kepalanya. Ia mencoba merobek-robek bayangan tersebut dengan pisau kekhusyuannya, lalu menghapusnya dengan kalimat-kalimat indah yang mengagungkan Tuhan semesta Alam, kalimat tasbih, takbir, dan dzikir-dzikir lain dalam sholatnya.
Subuh masih sepuluh menit lagi, Adlan menyempatkan sholat witir tiga rokaat sebagai penutup tahajudnya. Tak berselang lama setelah salam sholat witirnya, suara azan Mang Komar terdengar, mengalun lembut menembus kabut tipis dan hawa dingin subuh di luar rumah. Suaranya merayap di atas genting-genting perumahan penduduk, memecah keheningan atmosfer pagi. Adlan membangunkan Fadli yang masih pulas memeluk bantal gulingnya. Setelah berkali-kali dibangunkan tak kunjung bangun, Adlan pun menggendongnya ke kamar mandi. Fadli baru terbangun ketika Adlan mengusapkan air ke wajah mungilnya itu. Matanya masih terpicing satu. Dia lalu mengambil wudu dengan pengawasan Adlan.
Usai berwudu, Fadli dan Adlan beranjak ke ruang sholat. Abah dan Umi sudah dalam posisi berdiri, siap memulai sholat. Setelah dua kakak beradik itu bergabung dalam shaf, sholat subuh berjamaah pun dimulai. Abah yang bertindak sebagai imam bacaan fatihahnya begitu fasih, setiap huruf keluar dari makhorij-nya[1] secara tepat. Juga mad, idhghom, izhar, dan hukum-hukum bacaan yang lainnya terbaca sempurna.
Sholat terus berjalan dengan penuh kekhusyuan. Semuanya benar-benar meresapi prosesi penghambaan diri yang penuh kekhidmatan itu, hanya Fadli seorang yang masih terkantuk-kantuk. Ia menjaga kesadarannya agar tidak jatuh tertidur ditengah sholat seperti yang dialaminya tempo hari. Begitu salam, ia langsung ambruk, tertidur di pangkuan Adlan. Adlan mendudukannya kembali.
“Baca doa dulu, baru dilanjutkan tidurnya.” Perintahnya.
Dengan penuh kantuk, Fadli pun melafalkan doa andalannya,
“BismiLlahirrahmanirrahim, Robbighfirli wa liwaalidayya warhamhuma kamaa robbayaani shoghiro, amin.” Lalu langsung ambruk lagi ke pangkuan Adlan, tertidur pulas. Adlan mengelus rambut adiknya itu dengan penuh kasih sayang.
Abah memimpin bacaan wirid, mulai dari aurod ba’da sholat al maktubah,[2] doa fajar, wirdul lathif lil imam al haddad, dan ditutup dengan hizbun nawawi.[3]Usai wirid harian itu selesai dibaca, mereka saling bersalaman satu sama lain.
Abah lalu bersiap pergi ke kantor, sedangkan Umi keluar membeli ponggol[4] dan gorengan untuk sarapan pagi. Sementara itu, Adlan masih di dalam ruang sholat dengan Fadli di pangkuannya. Ia masih memegang kitab wirid saku dalil al muslim, berniat untuk meneruskan wiridnya dengan membaca hizib as-saiyfi.
Pikirnya, GMB di alam terbuka yang akan ia ikuti sebentar lagi itu tidak mungkin selamanya aman. Binatang buas, binatang beracun, jurang, dan kawasan berbahaya lainnya, semuanya ada di sana. Belum lagi gangguan dari preman-preman desa setempat dan hal-hal halus yang biasanya kental di area perhutanan seperti itu. Sebab itulah dia mempersiapkan penjagaan diri yang kuat dengan membaca hizib[5] tersebut, hizib yang ia dapatkan ijazahnya dari Kyai Hadi. Saat memberikan ijazah hizib sayfi, Kyai Hadi berpesan agar tidak membacanya kecuali kalau benar-benar dibutuhkan. Konon, barang siapa yang membaca hizib sayfi sampai tuntas, dengan izin Allah dia akan mendapatkan penjagaan yang sangat kuat dari segala marabahaya. Allah akan mengirim untuknya ribuan bahkan jutaan malaikat sebagai penjaga.
Hal seperti itu memang bukanlah sesuatu yang zahir yang bisa dilihat secara kasat mata, namun pengalamanlah yang menjadi bukti atas benar tidaknya anggapan itu. Berkali-kali Adlan merasakan manfaat hizib tersebut. Seperti saat kelas dua SMP, ketika dia sedang hiking bersama teman-teman dan gurunya di salah satu gunung di Bumi Jawa, seekor harimau loreng tiba-tiba muncul di hadapannya. Adlan terjatuh kaget, sementara yang lainnya langsung kabur menyelamatkan diri. Ia benar-benar ketakutan. Ia berpikir kalau saat itu adalah hari terakhirnya melihat dunia. Harimau lalu mendekat. Bunyi nafasnya terdengar jelas, menggelegarkan suara yang menyeramkan. Ketika harimau itu hendak menerkam, tiba-tiba saja hewan buas itu lari ketakutan tanpa sebab yang jelas. Adlan menduga kalau hizib sayfi yang ia baca sebelumnyalah penyebabnya.
Di saat yang lain, ketika Adlan pulang les malam-malam melewati jalanan Dukuhwaru  yang gelap dan sepi, tiba-tiba ada tiga sepeda motor yang memepetnya dari belakang, depan, dan samping, menggiringnya untuk menepi. Mau tak mau Adlan pun menepikan motornya. Masing-masing sepeda motor yang memepetnya itu dinaiki oleh dua orang dengan masker menutupi wajah sebatas hidung. Hanya mata mereka yang terlihat jelas. Mereka memaksa Adlan untuk menyerahkan Smash-nya. Adlan menolak. Salah satu begal itu lalu mengeluarkan pisau lipat dari belakang celananya. Ketika dia menghujamkan pisau tersebut ke tubuh Adlan, entah kenapa pisaunya malah terpelanting ke atas. Muka orang itu seketika berubah menjadi pucat pasi, lebih pasi dari muka Adlan yang ketakutan. Orang itu kemudian lari tunggang langgang meninggalkan motornya. Kelima kawannya pun ikut lari ketakutan tanpa sebab yang jelas. Pikirnya, itu mungkin penjagaan yang Allah berikan karena hizib sayfi yang ia baca dua hari sebelumnya.
Dan masih ada beberapa kejadian aneh yang Adlan alami karena membaca hizib tersebut. Sepertinya Allah ingin menunjukkan kekuasaanNya kepada Adlan dengan menghadapkannya kepada bahaya-bahaya yang seharusnya mengantarkannya pada gerbang kematian, namun malah kemudian diselamatkan dengan cara-cara yang luar biasa dan mengagumkan, cara-cara yang tidak masuk akal.
Mungkin itulah salah satu dari berbagai sebab yang menjadikan keberanian Adlan tumbuh semakin besar, tak takut dengan bahaya apapun. Dengan seringnya dihadapkan pada marabahaya, lalu entah bagaimana caranya dia bisa selamat, maka dia pun semakin yakin dengan penjagaan Allah. Dia sangat percaya bahwa tak ada satu marabahaya pun yang bisa menyentuhnya selama Allah tidak berkehendak. Ia sadar sepenuhnya akan nasihat yang pernah ia dengar dari Kyai Hadi,
“Adlan, bertakwalah kepada Allah, takutlah hanya kepadaNya. Jangan sekali-kali kamu takut pada marabahaya, karena marabahaya itu mahluk, sama seperti kita. Buatlah marabahaya itu yang justru takut kepada kita dengan ketakwaan dan rasa takut kita kepada Tuhan Pencipta marabahaya.”
@@@@



[1]Tempat tempat di dalam mulut yang berfungsi sebagai sumber keluarnya huruf hija’iyah.
[2]Wirid yang biasa dibaca setelah sholat lima waktu.
[3]Beberapa kumpulan wirid yang biasa di baca oleh thoriqoh ‘Alawiyyin, lihat kitab dalil al muslim milik al habib Hasan bin Ahmad Baaharun.
[4]Nasi pincuk khas beberapa daerah di Tegal yang hanya tersedia di pagi hari. Dijajakkan dalam keadaan masih hangat, dengan irisan tempe dan urap sebagai pendampingnya.
[5]Hizib merupakan rangkaian bacaan doa yang panjang. Selain dikemas dengan sastra Arab yang tinggi, Biasanya hizib juga terdiri dari beberapa kutipan ayat al Quran dan hadits nabi. Tergolong sebagai wirid yang keras, harus ada ijazah dari seorang Mursyid (guru spiritual) jika ingin mengamalkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagian Kedua

PEMESANAN 082322504931