Jumat, 10 Desember 1993…
Di
malam yang teramat gelap dentuman-dentuman guntur terus beriringan, sahut
menyahut menemani derasnya guyuran hujan. Kilat-kilat putih seperti serabut
menyambar tak beraturan, membuat terang-gelap seisi desa. Keadaan malam itu
sempurna mencekam saat deruan angin ribut yang kekuatannya mampu menggoyangkan
pohon-pohon dengan diameter 20-25 cm menumbangkan sebuah pohon mangga yang
cukup besar. Suara gedebuknya saat menyentuh tanah begitu keras, berdebam bak
raksasa Buto Ijo –Hulk versi jawa- terjatuh saat kakinya tak sengaja menginjak
kulit pisang raksasa, jebakan si cerdik nan jelita Timun Mas.
Pohon
tersebut tumbang tepat di halaman depan sebuah rumah kecil. Beruntung batang
utamanya yang besar tidak sampai menghantam bangunan seluas 7x10 m² itu,
hanya beberapa rantingnya yang dengan usil menjawili sebagian genting di
beranda rumah hingga berjatuhan.
Seorang
laki-laki umur 30-an keluar dari pintu depan rumah, membawa sepeda dames-nya
melewati ranting-ranting mangga tumbang itu tak peduli.
“Mas!
Cuacanya sangat buruk, tak usah kau hujan-hujanan menerjang badai, bahaya,
banyak pohon tumbang, sakit perutku ini cuma sakit perut biasa!” teriak seorang
perempuan dengan perut buncit dari dalam rumah, duduk tak berdaya di sebuah
dipan kayu.
“Tidak, sakit
perutmu itu bukan sakit perut biasa, sudah dua belas bulan lebih jabang bayi
itu belum juga keluar, dan malam ini tepat malam ketujuh belas dari bulan kedua
belas masa mengandungmu, malam Jumat Pon, Kyai Hadi bilang anak kita akan lahir
malam ini!”
“Allaaahu
akbarr!!” tiba-tiba perempuan itu meraung kesakitan sembari memegangi perutnya.
Rok di bagian sensitifnya terlihat basah. Ketubannya pecah.
“Aku akan
meminta ibu ke sini, lalu langsung menjemput Mak Suyem di desa Randusari,
bertahanlah!”
Laki-laki itu
langsung merangsek keluar melewati rimbunan ranting pohon mangga, lalu segera
mengayuh sepedanya di tengah guyuran hujan yang menyapu atmosfer begitu
derasnya.
Ya Allah,
selamatkan istri dan anakku! Rintih laki-laki itu sembari mengayuh keras
sepedanya. Derasnya guyuran hujan menyamarkan air mata kekhawatirannya yang
mengalir sama deras.
Di zaman itu
hampir semua hal masih serba tradisional, jangankan dokter kandungan
profesional, bidan saja hanya ada seorang di daerah kecamatan Pagerbarang,
bidan muda Tri Astuti. Dalam keadaan genting seperti itu menjemput bidan Tri
Astitu jelas bukan hal yang tepat. Bukan karena tempatnya saja yang cukup jauh,
namun juga karena medannya yang sangat sulit dan berbahaya jika dilalui saat
badai besar seperti itu. Banyak pepohonan tumbang di jalan karena terpaan
angin, jalanan becek karena masih banyak yang belum kena proyek pengaspalan
sehingga membuat semua jenis kendaraan dari mulai mobil, dokar –kereta kuda-,
dan motor akan sulit untuk dikendarai, apalagi sepeda ontel jenis Dames. Tapi
sebuah alasan yang membuat rintangan-rintangan tadi menjadi tak terlalu berarti
hanyalah satu, waktu.
Di saat
seperti itu satu-satunya hal yang bisa dan paling tepat dilakukan adalah
menjemput dukun beranak yang tersedia melimpah ruah di seluruh pelosok desa
kabupaten Tegal. Hampir semua desa memiliki satu sampai dua dukun beranak,
bahkan sampai ada yang tiga. Namun demikian desa yang sama sekali tak memiliki
perbendaharan dukun beranak pun masih ada, seperti desa Pesarean, Karanglo, dan
Gumayun.
@@@@
“Ayo Nok[1],
dorong terus, tekan, ngeden!” teriak Mak Suyem untuk yang keseratus tiga belas
kalinya. Keringat Mak Suyem berkucuran deras, tak kalah deras dengan hujan di
luar rumah yang semakin menderu. Ia tak henti-hentinya melongok dengan cemas ke
dalam kain tapih penutup tubuh bagian bawah perempuan yang sudah sempurna pucat
mukanya akibat terus melakukan kontraksi selama tiga jam itu.
Setelah terus
menerus ditekan keluar akhirnya kepala sang jabang bayi mulai terlihat
mengintip meski masih malu-malu.
“Ayo Nok,
sudah hampir keluar kepalanya!” teriak Mak Suyem sambil terus melihat kepala
bayi yang masih keluar masuk.
“Bu, Dewi
tidak kuat lagi.” Lirih perempuan itu sambil menatap ibunya yang sedari tadi
menggenggam erat tangan kirinya.
“Tetaplah
berjuang, Dewi, tinggal sedikit lagi.” Support ibunya dengan sorot mata yang
meyakinkan.
“Iya
sayang, teruslah berjuang, demi anak yang telah lama kita tunggu kehadirannya,
dan demi aku.” Tambah suami Dewi yang
berada di sisi kanan ranjang, menggenggam erat tangan kanannya dengan air mata berlinang.
Dewi
kembali bersiap melakukan kontraksi untuk kesekian kalinya, namun kali ini
berbeda. Pertama ia menarik nafas dalam-dalam, mengumpulkan arus-arus harapan
yang mengalir dari tangan ibu dan suaminya, kemudian memusatkan semuanya ke
dalam satu titik di dalam dirinya, menyatukannya dengan sebuah inner power yang
hanya dimiliki oleh calon ibu di saat-saat genting seperti itu, dan terakhir
memantiknya dengan sepercik hangat api cinta. Mulanya bergemuruh, namun semakin
lama semakin mereda, semakin tenang, senyap, hening, hening, hening, hening,
dan...
“HHHAAAAAA!!!!”
Meledaklah
jutaan mega volt kekuatan dari dalam diri Dewi, meluap-luap tak terkira seperti
daya yang ditimbulkan oleh sebuah ledakan bintang purba, bermilyar kali lipat
dari sekumpulan reaktor nuklir yang meledak, kekuatan yang sangat dahsyat.
Itulah kekuatan sejati seorang ibu, kekuatan mega dahsyat yang mampu
menghancurkan apapun, kekuatan mengerikan yang sebenarnya tersimpan di dalam
sosok yang dianggap lemah dan tak berdaya, perempuan.
“Ayo
terus, Nok, kepalanya sudah separuh keluar!” teriak Mak Suyem semakin kencang.
Dewi pun semakin mengerahkan kekuatan mega dahsyatnya, semakin dan semakin
dahsyat, sampai akhirnya,
Eaaa..
eaaa..
Sebuah
suara rengekan paling merdu yang pernah ada di alam semesta ini terdengar,
memekakkan telinga dengan suasana indah surgawi. Bayi merah yang telah lama
menghuni rahim Dewi itu akhirnya menyambut udara alam dunia, datang dengan
membawa sejuta kebahagiaan untuk kedua orang tuanya, neneknya, dan bahkan Mak
Suyem yang bukan siapa-siapanya.
Semuanya
tersenyum, lega, gembira, dan berjuta rasa bahagia lainnya, bahkan Dewi dan
suaminya tak mampu membendung air mata mereka. Dewi meminta bayinya yang masih
berlumuran darah itu dari tangan Mak Suyem.
“Akan
kita namai siapa mas?” tanya Dewi sambil memeluk lembut sang bayi.
“Aku
sudah menyiapkannya jauh hari, dia akan kita namai Adlan Dzul Izzi, seorang
adil yang memiliki kemuliaan, bagaimana menurutmu?”
“Aku
setuju, Mas.” Jawab Dewi dengan air mata yang masih mengalir.
“Dan
mulai saat ini kamu tidak boleh memanggilku dengan sebutan mas lagi...”
Dewi
menatapnya bingung.
“Mulai
sekarang, kamu harus memanggilku abah, Umi.” Lanjutnya.
Dewi
pun tersenyum, ada ribuan makna tersirat di dalam senyum itu, namun kesemuanya
itu tetaplah bermakna global yang satu, bahagia.
@@@@

Tidak ada komentar:
Posting Komentar