Sabtu, 15 Juli 2017

1. Prolog


Jumat, 10 Desember 1993…
                Di malam yang teramat gelap dentuman-dentuman guntur terus beriringan, sahut menyahut menemani derasnya guyuran hujan. Kilat-kilat putih seperti serabut menyambar tak beraturan, membuat terang-gelap seisi desa. Keadaan malam itu sempurna mencekam saat deruan angin ribut yang kekuatannya mampu menggoyangkan pohon-pohon dengan diameter 20-25 cm menumbangkan sebuah pohon mangga yang cukup besar. Suara gedebuknya saat menyentuh tanah begitu keras, berdebam bak raksasa Buto Ijo –Hulk versi jawa- terjatuh saat kakinya tak sengaja menginjak kulit pisang raksasa, jebakan si cerdik nan jelita Timun Mas.
                Pohon tersebut tumbang tepat di halaman depan sebuah rumah kecil. Beruntung batang utamanya yang besar tidak sampai menghantam bangunan seluas 7x10 m² itu, hanya beberapa rantingnya yang dengan usil menjawili sebagian genting di beranda rumah hingga berjatuhan.
                Seorang laki-laki umur 30-an keluar dari pintu depan rumah, membawa sepeda dames-nya melewati ranting-ranting mangga tumbang itu tak peduli.
                “Mas! Cuacanya sangat buruk, tak usah kau hujan-hujanan menerjang badai, bahaya, banyak pohon tumbang, sakit perutku ini cuma sakit perut biasa!” teriak seorang perempuan dengan perut buncit dari dalam rumah, duduk tak berdaya di sebuah dipan kayu.
                “Tidak, sakit perutmu itu bukan sakit perut biasa, sudah dua belas bulan lebih jabang bayi itu belum juga keluar, dan malam ini tepat malam ketujuh belas dari bulan kedua belas masa mengandungmu, malam Jumat Pon, Kyai Hadi bilang anak kita akan lahir malam ini!”
                “Allaaahu akbarr!!” tiba-tiba perempuan itu meraung kesakitan sembari memegangi perutnya. Rok di bagian sensitifnya terlihat basah. Ketubannya pecah.
                “Aku akan meminta ibu ke sini, lalu langsung menjemput Mak Suyem di desa Randusari, bertahanlah!”
                Laki-laki itu langsung merangsek keluar melewati rimbunan ranting pohon mangga, lalu segera mengayuh sepedanya di tengah guyuran hujan yang menyapu atmosfer begitu derasnya.
                Ya Allah, selamatkan istri dan anakku! Rintih laki-laki itu sembari mengayuh keras sepedanya. Derasnya guyuran hujan menyamarkan air mata kekhawatirannya yang mengalir sama deras.
                Di zaman itu hampir semua hal masih serba tradisional, jangankan dokter kandungan profesional, bidan saja hanya ada seorang di daerah kecamatan Pagerbarang, bidan muda Tri Astuti. Dalam keadaan genting seperti itu menjemput bidan Tri Astitu jelas bukan hal yang tepat. Bukan karena tempatnya saja yang cukup jauh, namun juga karena medannya yang sangat sulit dan berbahaya jika dilalui saat badai besar seperti itu. Banyak pepohonan tumbang di jalan karena terpaan angin, jalanan becek karena masih banyak yang belum kena proyek pengaspalan sehingga membuat semua jenis kendaraan dari mulai mobil, dokar –kereta kuda-, dan motor akan sulit untuk dikendarai, apalagi sepeda ontel jenis Dames. Tapi sebuah alasan yang membuat rintangan-rintangan tadi menjadi tak terlalu berarti hanyalah satu, waktu.
                Di saat seperti itu satu-satunya hal yang bisa dan paling tepat dilakukan adalah menjemput dukun beranak yang tersedia melimpah ruah di seluruh pelosok desa kabupaten Tegal. Hampir semua desa memiliki satu sampai dua dukun beranak, bahkan sampai ada yang tiga. Namun demikian desa yang sama sekali tak memiliki perbendaharan dukun beranak pun masih ada, seperti desa Pesarean, Karanglo, dan Gumayun.
@@@@
                “Ayo Nok[1], dorong terus, tekan, ngeden!” teriak Mak Suyem untuk yang keseratus tiga belas kalinya. Keringat Mak Suyem berkucuran deras, tak kalah deras dengan hujan di luar rumah yang semakin menderu. Ia tak henti-hentinya melongok dengan cemas ke dalam kain tapih penutup tubuh bagian bawah perempuan yang sudah sempurna pucat mukanya akibat terus melakukan kontraksi selama tiga jam itu.
                Setelah terus menerus ditekan keluar akhirnya kepala sang jabang bayi mulai terlihat mengintip meski masih malu-malu.
                “Ayo Nok, sudah hampir keluar kepalanya!” teriak Mak Suyem sambil terus melihat kepala bayi yang masih keluar masuk.
                “Bu, Dewi tidak kuat lagi.” Lirih perempuan itu sambil menatap ibunya yang sedari tadi menggenggam erat tangan kirinya.
                “Tetaplah berjuang, Dewi, tinggal sedikit lagi.” Support ibunya dengan sorot mata yang meyakinkan.
                “Iya sayang, teruslah berjuang, demi anak yang telah lama kita tunggu kehadirannya, dan demi aku.”  Tambah suami Dewi yang berada di sisi kanan ranjang, menggenggam erat tangan kanannya dengan air mata berlinang.
                Dewi kembali bersiap melakukan kontraksi untuk kesekian kalinya, namun kali ini berbeda. Pertama ia menarik nafas dalam-dalam, mengumpulkan arus-arus harapan yang mengalir dari tangan ibu dan suaminya, kemudian memusatkan semuanya ke dalam satu titik di dalam dirinya, menyatukannya dengan sebuah inner power yang hanya dimiliki oleh calon ibu di saat-saat genting seperti itu, dan terakhir memantiknya dengan sepercik hangat api cinta. Mulanya bergemuruh, namun semakin lama semakin mereda, semakin tenang, senyap, hening, hening, hening, hening, dan...
                “HHHAAAAAA!!!!”
                Meledaklah jutaan mega volt kekuatan dari dalam diri Dewi, meluap-luap tak terkira seperti daya yang ditimbulkan oleh sebuah ledakan bintang purba, bermilyar kali lipat dari sekumpulan reaktor nuklir yang meledak, kekuatan yang sangat dahsyat. Itulah kekuatan sejati seorang ibu, kekuatan mega dahsyat yang mampu menghancurkan apapun, kekuatan mengerikan yang sebenarnya tersimpan di dalam sosok yang dianggap lemah dan tak berdaya, perempuan.
                “Ayo terus, Nok, kepalanya sudah separuh keluar!” teriak Mak Suyem semakin kencang. Dewi pun semakin mengerahkan kekuatan mega dahsyatnya, semakin dan semakin dahsyat, sampai akhirnya,
                Eaaa.. eaaa..
                Sebuah suara rengekan paling merdu yang pernah ada di alam semesta ini terdengar, memekakkan telinga dengan suasana indah surgawi. Bayi merah yang telah lama menghuni rahim Dewi itu akhirnya menyambut udara alam dunia, datang dengan membawa sejuta kebahagiaan untuk kedua orang tuanya, neneknya, dan bahkan Mak Suyem yang bukan siapa-siapanya.
                Semuanya tersenyum, lega, gembira, dan berjuta rasa bahagia lainnya, bahkan Dewi dan suaminya tak mampu membendung air mata mereka. Dewi meminta bayinya yang masih berlumuran darah itu dari tangan Mak Suyem.
                “Akan kita namai siapa mas?” tanya Dewi sambil memeluk lembut sang bayi.
                “Aku sudah menyiapkannya jauh hari, dia akan kita namai Adlan Dzul Izzi, seorang adil yang memiliki kemuliaan, bagaimana menurutmu?”
                “Aku setuju, Mas.” Jawab Dewi dengan air mata yang masih mengalir.
                “Dan mulai saat ini kamu tidak boleh memanggilku dengan sebutan mas lagi...”
                Dewi menatapnya bingung.
                “Mulai sekarang, kamu harus memanggilku abah, Umi.” Lanjutnya.
                Dewi pun tersenyum, ada ribuan makna tersirat di dalam senyum itu, namun kesemuanya itu tetaplah bermakna global yang satu, bahagia.
@@@@



[1] Panggilan untuk perempuan yang lebih muda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagian Kedua

PEMESANAN 082322504931