Kamis, 20 Juli 2017

9. Penculikan


Langit timur mulai memancar terang. Sinarnya putih menyeruak, redup dan damai. Matahari bersembunyi malu di balik gumpalan awan-awan tebal. Suasana pagi yang teduh itu benar-benar penuh ketentraman. Angin semilir berhembus sejuk dari arah sawah di selatan desa Surokidul. Ranting-ranting dan dedaunan di pohon  menari-nari indah. Dedaunannya bergesekan menciptakan  suara gemerisik berirama alam. Di pelataran samping sebuah rumah Smash biru sedang menyala, memanaskan mesin.
“Adlan berangkat dulu, Mi.” mencium punggung telapak tangan Umi, dibalik, lalu mencium bagian dalam telapaknya. Umi kemudian mencium kening Adlan.
“Kamu yakin lenganmu benar-benar sudah kering?”
“Asal tidak terbentur atau tertekan keras, insyAllah akan baik-baik saja.”
“Berarti belum benar-benar kering kalau begitu.”
“Tak apa, Mi, yang penting sudah bisa untuk naik motor. Doakan saja Adlan.”
“Ya sudah, hati-hati.”
“Iya, Mi, assalamualaikum.”
“Wa’alaikum salam”
Adlan menaiki motornya. Gigi dimasukkan, lalu gas ditarik perlahan. Motor berjalan keluar pelataran. Ban mulai menggilas batu-batu jalanan komplek. Sejurus kemudiann motor masuk ke jalan raya Abimanyu. Gas ditarik penuh. Hanya butuh setengah menit untuk speedometer mencapai angka 110 Km/jam.
Tangan kanan Adlan tak sekalipun mengendurkan tarikannnya. Satu persatu motor, mobil, dan kendaraan lain yang searah disalip dengan mudah. Matanya tersorot tajam, tak lepas mengarah ke jalanan di depannya. Adlan tak sadar kalau jarum bahan bakar telah menyentuh strip merah. Motor terus melaju dengan kecepatan penuh, sampai akhirnya mesin tiba-tiba mati mendadak. Matanya sekejap melirik ke indikator bahan bakar,
“Astaghfirullah! Bensinnya habis?”
Adlan segera menginjak gigi motornya agar lose, sama seperti menekan kopling. Laju motor perlahan mengurang, 100 Km/jam, 95 Km/jam, 90 Km/jam, terus dan terus berkurang.
@@@@
Smansawi mulai menampakkan kesibukannya. Anak-anak berbondong-bondong memasuki gerbang utama sekolah. Satpam sekolah terlihat sibuk mengatur lalu lintas di depan Smansa, membantu para siswa menyeberang jalan. Terlihat sebuah Alphard putih berhenti di tepi jalan, tepat di depan gereja katolik di samping Smansa. Gadis cantik berbalut kerudung putih berenda bunga keluar dari pintu belakang mobil. Ia berjalan menyusuri trotoar depan Smansa lalu masuk ke gerbang utama bersama siswa-siswi yang lain. Langkahnya terus menapaki batako demi batako pelataran depan sekolah. Serambi-serambi kelas satu persatu dilaluinya sampai tiba di depan ruangan bertuliskan Lab. Biologi. Ia pun masuk ke ruangan itu.
Keadaan kelas sudah ramai dengan obrolan anak-anak. Ada yang membahas Naruto, ada yang asik membicarakan artis-artis korea, ada juga yang hanya bengong menopang dagu di atas meja kelas.
“Aisyah? Ini kamu?” sambut salah satu gadis berseragam putih abu-abu tertutup, lengkap dengan jilbab putihnya yang lebar.
“Iya, Salma, ini aku.”
“Aku tidak sedang bermimpi kan?” Saut gadis di sebelah Salma.
“Apa perlu aku cubit tanganmu, Melani?”
“Kamu?” Gadis ketiga yang duduk satu meja dengan Melani dan Salma menunjuk keheranan.
“Kamu apa, Zahra?”
“Kamu cantik sekali, seperti bukan Aisyah yang kemarin.” Lanjut Zahra.
Muka Aisyah merona merah, senyum malunya tersungging mendengar pujian dari teman-temannya. Aisyah lalu duduk di kursi keempat meja tersebut. Mereka langsung tenggelam dalam pembicaraan ngalor-ngidul seperti yang lain.
“Anisa tidak berangkat denganmu Aisyah?” Tanya Melani.
“Dia sedang tidak enak badan. Dia tidak masuk hari ini.”
“Yaah, berarti kita gagal nge-game bareng di MC dong?”
“Tidak, kita tetap nge-game di MC sepulang sekolah nanti. Aku sudah terlanjur bilang ke sopirku agar menjemputku sore-sorean.”
Mereka melanjutkan percakapan dengan tema yang lain, busana. Dalam hal ini Melani yang lebih banyak mendominasi percakapan, dia lah yang paling up to date tentang segala bentuk dan model busana remaja. Di sepanjang percakapan Zahra terus memperhatikan Aisyah. Matanya tak sekejap pun berlabuh selain di wajah Aisyah. Bahkan kipas angin kelas pun tak kuasa membuat matanya berkedip. Aisyah menyadari hal itu.
“Kenapa, Zahra? Ada yang aneh denganku?”
Zahra terhenti dari lamunannya.
“Eh, tidak, tidak ada kok, Syah. Aku cuma iri sama kamu.”
“Iri? Iri kenapa?”
“Aku belum pernah melihat perempuan berkerudung yang secantik kamu.”
“Aduh, jangan terlalu berlebihan kalau memuji, Zahra, aku jadi malu.”
“Tapi sayangnya ini bukan pujian, Aisyah, ini kejujuran.” Zahra tersenyum.
“Zahra saja jatuh cinta sama kamu gara-gara kamu memakai kerudung, apalagi Adlan?” Celetuk Melani.
Wajah Aisyah mendadak merah.
“Apaan sih kamu.” Aisyah menahan senyum.
“Ciee, Aisyah salting.” Salma menggoda.
“Iih, apanya yang salting sih, aku biasa saja kok.” Wajah Aisyah makin memerah, terutama di bagian pipi.
“Itu buktinya, pipimu jadi merah.” Salma menunjuk pipi Aisyah.
Aisyah menutup kedua pipinya dengan telapak tangan, tersipu malu luar biasa.
“Sudah, sudah, kasihan Aisyah, bisa-bisa dia pingsan gara-gara terusan kita ledek.” Zahra akhirnya membela.
Di tengah-tengah hangat perbincangan berbumbu ledekan tersebut, Bu Muzayanah datang.
“Assalamualaikum anak-anak?”
“Waalaikum salam wa rahmatullahi wa barokatuh.” Jawab anak-anak serempak.
“Bagaimana kabar kalian?” Tanya Bu Muzayanah, memulai dengan keakraban.
“Alhamdulillah baik, Bu.” Jawab anak-anak kompak.
“Baiklah, hari ini kita akan mempelajari bab tentang hewan avertebrata, kalian baca dulu materinya di halaman tiga puluh empat sampai empat puluh dua.”
Anak-anak lalu membuka buku paket biologinya sesuai dengan halaman yang diinstruksikan Bu Muzayanah. Mereka mulai sibuk membaca isi materi tentang avertebrata dan semua yang berkaitan dengannya. Aisyah celingukan ke samping dan ke belakang,
Mungkin lengannya belum sembuh, gumam Aisyah dalam hati.
Sepuluh menit telah berlalu. Bu Muzayanah mulai menerangkan materi. Penjelasannya sangat detail. Sesekali anak-anak mencatat hal yang mereka anggap penting. Di tengah-tengah penjelasan tiba-tiba Adlan datang,
“Assalamualaikum?” Adlan menghampiri Bu Muzayanah. Seragam putihnya basah oleh keringat.
“Maaf atas keterlambatan saya, Bu. Motor Saya kehabisan bensin di tengah jalan, dan Saya terpaksa menuntunnya sampai ke sekolah karena tak menemukan SPBU.”
“Iya, tidak apa-apa. Silahkan duduk.” Bu Muzayanah ramah mempersilahkan Adlan.
“Terimakasih, Bu.”
Adlan menuju ke kursi yang masih kosong, tepat di sebelah Waiz. Saat hendak duduk, sekilas ia melihat ada anak baru yang duduk di kursi dekat patung anatomi rangka manusia, duduk bersama Salma, Melani, dan Zahra. Adlan menaruh tasnya di atas meja lalu duduk.
“Pembahasannya apa, Iz? Halaman berapa?” Tanya Adlan sambil mengeluarkan buku paket biologinya dari tas.
“Avertebrata, halaman tiga empat sampai empat dua. Bagaimana lenganmu, Lan?”
“Alhamdulillah, lukanya sudah kering, meskipun belum total. Dari mana kamu tahu lenganku luka?”
“Semuanya tahu tentang keadaan yang menimpamu. Kemarin anak-anak ramai membicarakan keheroikanmu di Suniarsih.”
“Apa? Siapa yang cerita?”
“Awalnya Aisyah bercerita kepada Nisa, lalu Salma dan teman-temannya yang lain ikut mendengarkan. Terus mereka menceritakannya lagi ke yang lain sampai kejadian itu menjadi Hot news di kelas kita.”
“Astaghfirullah, kok jadi begini, sih?”
“Kenapa memangnya?”
“Ya aku malu lah.”
“Kok malu sih? Harusnya kamu bangga bisa menyelamatkan harga diri seorang perempuan, cantik lagi.” Waiz tersenyum, meledek Adlan.
“Aduh, Iz, kamu apa-apaan sih.”
“Hei mas-mas yang di pojok, jangan sibuk bicara sendiri yah!” Bu Muzayanah memperingatkan dengan suara lembutnya yang khas.
Waiz dan Adlan langsung tertunduk malu, meminta maaf.
“Kamu sih.” Adlan menyikut Waiz.
Mereka lalu mendengarkan penjelasan yang diuraikan Bu Muzayanah. Di tengah penjelasan, Adlan penasaran dengan siswi baru yang duduk bersama dengan teman-teman Aisyah itu. Ia menoleh ke meja di pojok kanan. Matanya ia tujukan ke arah siswi baru itu.
“Subhanallah! Aisyah?” Gumamnya lirih. Seolah tak percaya dengan apa yang barusan ia lihat, Adlan mengucek matanya lalu melihat kembali ke pojok kanan.
“Ya Allah, benar, itu Aisyah, cantik sakali dia. Kerudung putih yang ia pakai membuatnya jauh lebih cantik dan anggun. Apa seperti ini kecantikan bidadari surga yah?” Katanya dalam hati.
Mata Adlan seolah tertarik kuat oleh magnet yang dipancarkan wajah Aisyah. Pesona kecantikan alaminya yang terbalut indah oleh kerudung putih membuat Adlan enggan memindahkan pandangannya. Aisyah lalu menengok ke arah Adlan. Pandangan keduanya bertemu. Seketika Adlan dan Aisyah langsung memalingkan pandangan. Wajah keduanya memerah. Senyum tipis tersungging dari bibir Aisyah. Ia merundukkan kepalanya, menyembunyikan rona wajahnya yang tersipu malu. Sedangkan Adlan menutupi senyumnya dengan tangan sambil berpura-pura memperhatikan  Bu Muzayanah yang masih sibuk menerangkan.
Bel jam kedua berbunyi. Anak-anak keluar dari kelas biologi menuju ke kelas terbuka, olahraga. Mereka pergi ke ruang ganti di sebelah kantin. Tak lama setelah itu, dengan pakaian yang telah berubah menjadi kaos olahraga berwarna biru langit mereka berlarian ke lapangan timur. Pak Felix Suhendar telah berdiri menunggu di tepi lapangan. Anak-anak langsung membentuk barisan. Putra di sebelah kanan, sedang putri di kiri.
Pak Felix menerangkan teknik-teknik dasar dalam melempar bola basket. Berbagai teori dijelaskan dengan lugas dan tegas, dari mulai cara memegang bola, posisi kaki, posisi siku sampai cara melompat. Setelah dikira cukup, Pak Felix mengabsen satu persatu anak kelas X.9 untuk mempraktekkan teori-teori tadi. Satu persatu maju sesuai urutan absennya sampai anak terakhir. Pak Felix lalu menutup pertemuan.
Istirahat masih lima belas menit lagi, anak-anak dibebaskan untuk beristirahat lebih awal. Di antara mereka ada yang pergi ke kantin, ada yang ke toilet, ada yang langsung ke ruang ganti, dan ada pula yang ke masjid.
Waiz mengajak Adlan ke masjid. Dengan senang hati dia menyambut ajakan Waiz. Semilir angin di teras masjid pasti akan membuat seragam olahraga mereka cepat kering, pikir Waiz.
Sambil menghilangkan keringat, mereka berdua berbincang, duduk-duduk di teras masjid.
“Lan, siang ini kamu ada acara?”
“Tidak ada, kenapa memangnya?”
“Aku ingin cerita sesuatu.”
“Cerita apa?”
“Aku sedang ada masalah, aku butuh solusi.”
“Sepertinya penting sekali, masalah apa kalau boleh tahu?”
“Nanti saja ceritanya, setelah jam pulang kita ke MC, kita bicara sambil minum es dawet di food zone, bisa kan?”
“Oke, tapi kita ke sana pakai Ninjamu yah? Motorku kehabisan bensin.”
“Bisa, nanti sekalian kita beli bensin buat motormu.”
“Satu lagi.”
“Apa?”
“Aku yang nyetir.”
“Kamu bisa nyetir Ninja? Berat loh. Apa lagi lenganmu belum pulih benar kan?”
“Jangan remehkan kemampuanku, kamu lihat saja nanti. Kalau masalah lengan jangan khawatir, jahitannya sudah kering kok.”
“Baiklah kalau begitu.”
Bel istirahat berbunyi. Adlan dan Waiz pergi ke ruang ganti. Setelah itu mereka kembali lagi ke masjid untuk sholat dhuha.
@@@@
TENG!! TENG!!
Jam 13.25 bel pulang berbunyi. Suara bel yang biasanya terdengar biasa saja, kali itu berbeda. Suara tersebut telah menyelamatkan anak-anak kelas X.9 dari kebakaran otak. Materi aritmetika yang dijelaskan oleh Pak Agung Sujayanto benar-benar menuntut otak untuk berputar lebih cepat. Mereka memacu isi kepala mereka dengan kecepatan penuh selama satu jam full.
“Kita langsung ke MC?” Tanya Waiz.
“Ayo, mana kunci motormu?”
Waiz meregoh saku celananya. Kunci Ninja 4 taknya ia serahkan kepada Adlan. Mereka berdua lalu berjalan ke luar kelas bersama yang lain, langkah kaki keduanya mengarah ke tempat parkir siswa.
@@@@
“Kamu yakin bisa?” Tanya Waiz yang duduk di jok belakang.
“Jangan remehkan Aku, Iz. Kubuktikan kalau caraku mengendarai lebih baik darimu.”
Adlan lalu menstarter mesin. Sebagi pemanasan, gas ditarik full. Suara garang keluar dari knalpot Yoshimura Sang Ninja. Kopling ditarik, gigi dimasukkan.
“Siap?” Tanya Adlan.
“Dari tadi.” Jawab Waiz tak peduli. Telunjuknya mengorek-ngorek telinga, gatal.
BRUUUMMM..!!!
“Wooyy!! Pelan-pelan nyetirnya!” Teriak Waiz, ia terkaget. Tangannya mencengkram erat baju Adlan. Dari parkiran sampai ke gerbang sekolah saja kecepatan motor sampai 65 Km/jam.
“Gila kamu, Lan! Jangan ngebut nyetirnya!”
“Ngebut? Ini belum apa-apa, Iz. Aku tunjukkan seperti apa ngebut itu.” Senyum jahatnya mengembang, hehe.
BRUUUMM!!! Ban depan motor terangkat. Waiz tersentak ke belakang, kaget. Untung cengkraman tangannya kuat, jadi ia tidak sampai terjatuh.
“AAAAHHH!!! Aku masih ingin hidup! Aku belum kawin, Gendeng!” teriakan waiz sangat keras.
Motor berakselerasi sangat cepat, dalam waktu empat detik kecepatannya sudah mencapai 135 Km/jam.
@@@@
Waiz membawa dua gelas besar es cendol, menaruhnya di meja depan Adlan.
“Pokoknya pulang nanti aku yang nyetir, titik!” Waiz menggerutu kesal. Menarik kursi di sebelah Adlan lalu duduk.
“Hahaha, iya-iya, tenang Bro, jangan marah-marah begitu, damai, peace!” Tertawanya lepas melihat ekspresi ketakutan yang masih melekat di wajah Waiz.
Waiz hanya mendengus kesal.
Mereka mulai menyantap es cendol di depan mereka sesendok-sesendok. Suara musik dari game zone yang tak terlalau jauh dari tempat duduk mereka menjadi background percakapan. Mereka ngobrol kesana-kemari, membahas banyak hal.
“Apa yang mau kamu ceritakan, Iz?”
Setelah lima belas menit obrolan ngalor-ngidul, akhirnya Adlan menyinggung tema utama yang menyebabkan keberadaan mereka di situ.
“Jadi begini, Lan..” Waiz menelan es cendol yang tersisa di mulutnya. Ia menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya kembali. Cerita dimulai.
“Sejak kelas satu SMP aku sudah pacaran dengan seseorang. Aku dan dia sangat dekat, kami saling mencintai satu sama lain. Aku selalu membantunya setiap kali dia membutuhkanku, begitu pula sebaliknya. Aku sudah sangat serius dengannya. Aku bilang padanya kalau selulus SMP akan mendaftar ke Smansawi, lalu melanjutkan ke perguruan tinggi ikatan dinas agar bisa langsung mendapat pekerjaan. Aku ingin secepatnya menikahinya. Dia hanya tersenyum mendengar planning masa depanku. Aku menganggap itu sebagai tanda persetujuan darinya. akupun berusaha keras agar bisa masuk Smansawi. Saat melihat pengumuman hasil tes, aku senang sekali. Aku diterima, bahkan aku berada di posisi sepuluh besar. akupun mengabari dia. Dan, Kebahagiaanku semakin besar ketika tahu ternyata dia juga diterima di Smansawi.”
“Memangnya kamu tidak tahu sebelumnya kalau dia mendaftar di Smansawi?” Adlan memotong.
“Awalnya aku mengira dia akan mendaftar di SMA 3 Slawi, tapi ternyata takdir berkata lain. Temannya yang baru datang dari luar kota memaksanya untuk menemaninya mendaftar di Smansawi. Akhirnya dia pun mau setelah mendapat persetujuan dari orang tuanya. Aku pikir dengan berada di sekolah yang sama, hubunganku dengannya akan semakin dekat. Tapi ternyata aku salah, semenjak hari pengumuman itu hubungan kami malah semakin renggang. Dia selalu menghindar dariku. Setiap kali aku SMS tak pernah dibalas. Aku pikir dia sedang tidak ada pulsa, maka akupun menelponnya. Panggilanku direject. Berkali-kali aku menelponnya hasilnya tetap sama. Lalu tadi pagi dia mengirim SMS. Dia bilang kalau dia ingin putus. Aku kaget, aku tak tahu kenapa tiba-tiba dia meminta hal itu. Dia tak memberitahuku apa alasannya. Dia mengambil keputusan secara sepihak. Berkali-kali aku tanyakan alasannya dia hanya bilang, “tak ada sebab atau alasan apapun, aku cuma ingin putus. Itu saja.” Aku bingung, Lan. Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak ingin hubungan yang sudah berjalan tiga tahun hancur begitu saja.”
Adlan terdiam. Dia bingung mau memberi solusi seperti apa. Pacaran saja tidak pernah, bahkan dia sangat menjaga diri dari hal itu, sekarang malah ada orang yang minta solusi masalah pacaran. Adlan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Apa kamu sudah bicara secara langsung dengannya? Mungkin dengan bertemu, semua bisa dicari kejelasannya.”
“Rencananya hari ini aku mau mengajaknya ke sini, membicarakan hal itu sambil menikmati es cendol. Tapi ternyata dia tidak berangkat. Jadi dari pada uang yang aku bawa lebih ini tak terpakai, aku ajak saja kamu kesini, siapa tahu kamu bisa memberiku solusi.”
Adlan menyantap satu sendok cendol. Ooh, ternyata ini alasannya mentraktirku, huh. Tapi tak mengapa lah, yang penting gratis.
“Kalau boleh tahu, pacarmu itu siapa sih?” Tanya Adlan, mulutnya penuh dengan cendol.
“Dia sekelas dengan kita, kamu juga mengenalnya kok.”
“Ya siapa?” Bersiap menelan cendol di mulutnya.
“Anisa.”
Uhukk!!! Adlan tersedak. Ia kaget mendengar nama itu. Sebagian cendol di mulutnya tersembur ke meja, sisanya langsung ia telan tanpa dikunyah lagi, dan, satu bulir cendol masuk ke saluran hidungnya.
“Aduh! Hidungku kemasukan cendol!” Adlan menekan-nekan hidungnya.
“Coba kamu sedot kuat-kuat lewat hidung, biar cendolnya masuk ke mulut!” instruksi gugup Waiz.
Tanpa pikir panjang Adlan langsung melakukannya.
“Masih nyangkut!”
“Sekarang, coba tiup keluar kencang-kencang lewat hidung!” Instruksi kedua Waiz.
Adlan melakukannya, meniup kuat-kuat lewat hidung. Satu kali gagal. Dua kali cendol mulai bergerak mendekati saluran luar hidung. Tiga kali cendol keluar dari lubang hidung sebelah kiri, menembak begitu kencang ke arah lantai. Ada benda hijau lain yang menyertainya.
“Alhamdulillah, keluar juga.” Adlan membersihkan hidung dan mulutnya dengan tisu yang tersedia di meja.
“Makanya hati-hati, kalau mau bicara cendolnya ditelan dulu!” Tegur Waiz.
“Iya-iya, habis cendolnya enak sih.” Masih sibuk membersihkan hidungnya.
Jangan-jangan ada hubungannya dengan SMS Anisa yang kemarin. Apa mungkin Anisa ingin putus dengan Waiz gara-gara aku? Gumam Adlan dalam hati. Telunjuknya terus sibuk membersihkan bagian dalam hidungnya dengan tisu.
“Terus bagaimana menurutmu?”
“Bagaimana apanya?” Sehelai tisu masih tersumpal di lubang hidung Adlan.
“Masalahku tadi.”
“Masalah yang mana?” Wajahnya polos.
“Masalahku dengan Anisa, Adlan!” Waiz kesal. Ia mencabut tisu yang menyumpal di hidung Adlan. Cairan hijau memercik mengenai tangannya.
“Aduh, sial! Ingus!”
Waiz segera mengambil tisu di meja, membersihkan tangannya, jijik.
“Hahaha, santai, Bro! jangan terbawa emosi begitu, aku cuma mencoba membuat suasana sedikit lebih cair.”
“Iya cair, seperti ingusmu!”
“Loh, jangan fitnah kamu, Iz! Ingusku kental kok.”
“Aah! Sudahlah! Kita kembali ke masalahku tadi.” Mengambil satu tisu lagi.
“Lalu menurutmu aku harus bagaimana, Lan?”
Adlan berhenti tertawa. Ia menarik nafas, lalu membetulkan posisi duduknya, lebih tegak.
“Memang benar, wanita itu sulit ditebak. Emosi mereka sangat labil, itulah sebabnya mereka sulit menjaga komitmen. Aku tidak heran jika Anisa atau perempuan lain melakukan hal seperti itu, apalagi hubungan kalian hanya sebatas pacaran, belum ada ikatan apapun yang mengikat kalian secara sah. Jika kalian berpisah, sama sekali tak ada beban moral yang harus ditanggung. Kamu tidak jadi duda, Anisa pun tak harus menyandang gelar janda. Kalau menurutku, lebih baik kamu ikhlaskan saja dia, toh kalau kamu tetap mempertahankan hubungan kalian, belum tentu Anisa akan tetap menerimamu bukan? Kalau menurut logika sehatku, mencintai orang yang tak mencintai kita itu sakit. Semua yang manis akan terasa pahit, semua keceriaan akan terganti dengan kesedihan, semangat hidup semakin memudar, hingga akhirnya semua nikmat dan anugerah Allah yang sebenarnya terbentang luas dan tersedia melimpah untuk kita tak akan terasa. Terasa saja tidak apalagi disyukuri. Sebagai teman, aku menyarankanmu untuk menjadi laki-laki sejati. Jangan biarkan dirimu tumbang hanya karena seorang wanita. Percayalah, jika Anisa memang cinta sejatimu, kelak dia pasti akan kembali lagi kepadamu dengan cara yang mengagumkan, dan jika bukan dia orangnya, maka akan ada seseorang yang jauh lebih baik darinya[1], yang bisa kamu cintai dengan halal, yang bisa kamu belai dengan halal, yang akan memenuhi hidupmu dengan kebahagiaan, bukan sebaliknya. Ingatlah, urusan cinta yang sejati itu selalu sederhana, kawan, jangan kamu persulit sendiri.” Kini Adlan terlihat lebih dewasa dari sebelumnya.
“Tapi itu sulit, Lan. Aku terlalu sayang sama Anisa.”
“Jangan kamu paksakan, pelan-pelan saja, berjalannya waktu pasti akan menghapus luka yang ada di hatimu.”
“Aku tidak bisa, Lan.” Mata Waiz mulai berkaca-kaca.
“Kamu bukan tidak bisa, Iz, tapi tidak mau. Kamu masih kalah dengan nafsumu yang ingin terus mempertahankan Anisa. Bukalah matamu, jangan sampai logikamu dibutakan oleh cinta, itu hanya pantas untuk laki-laki lemah.”
“Entahlah, mungkin kamu benar. Karena cinta logikaku jadi buta, karena cinta aku jadi lemah, dan karena cinta pula, aku masih ingin Anisa tetap di sampingku.” Air mata Waiz meleleh.
“Sepertinya percuma saja aku terus menerus memberikan saran kepada orang yang tak bisa berpikir denga logika normalnya. Lebih baik kamu pikirkan saja dulu nasihatku. Untuk sekarang ini cara pikirmu, ucapanmu, dan suasana hatimu masih didominasi oleh cinta, kamu belum bisa berpikir jernih. Nanti kalau keadaanmu sudah stabil, baru ambillah langkahmu. Dan jangan lupa, sebagai seorang muslim kamu juga harus menimbang-nimbang keputusanmu dengan neraca syariat.”
Waiz terdiam lama, memikirkan apa yang Adlan ucapkan. Sejenak kemudian dia mengangguk, setuju. Ia mengusap air matanya.
“Terimakasih, Lan. Pendapatmu sangat logis, Logikaku pun menerimanya, tapi perasaanku masih mati-matian menolak. Semoga Allah membantuku untuk melepaskan diri  dari jerat yang menyakitkan ini.”
Adlan mengamini harapan Waiz. Mereka lalu menyendoki kembali cendol yang masih tersisa. Lima menit kemudian cendol pun habis. Waiz beranjak dari tempat duduknya untuk membayar dua gelas es cendol di kasir. Ketika berdiri, sepatunya menginjak lantai yang basah karena cendol yang tersembur saat Adlan tersedak tadi. Ia terpeleset, jatuh. Tangan kanannya membentur meja, dan tangan kirinya menghujam keras ke lantai. Aaaahh!!! Teriaknya kesakitan.
“Innalillah!” Reflek Adlan.
Ia segera menolong temannya itu, mendudukkan Waiz di kursinya lagi. Waiz memegangi tangan kirinya, meringis kesakitan.
“Kamu tidak apa-apa, Iz?”
“Sepertinya tangan kiriku keseleo.”
“Tapi masih bisa digerakkan kan?”
“Masih, tapi sakit.”
“Terus kamu pulangnya bagaimana?”
“Sepertinya kita harus bertukar motor dulu, Lan. Aku tak mungkin bisa mengendarai motor berkopling dengan tangan kiri seperti ini.”
“Baiklah kalau begitu.”
@@@@
“Kamu yakin bisa ?” Tanya Adlan dari atas Ninja putih.
“Jangan remehkan aku, kalau hanya Smash seperti ini sih gampang meskipun dengan tangan satu.” Jawab Waiz dari atas Smash biru milik Adlan.
Waiz melajukan motor. Perlahan tapi pasti, motor keluar dari parkiran sekolah menuju gerbang utama. Tangan kanannya tersendat kaku memegang stir. Adlan mengikuti dari belakang.
Di depan gerbang, Adlan dan Waiz menghentikan motor. Mereka berdua berjabat tangan. Setelah itu Waiz melajukan motor ke lajur selatan, pelan. Adlan memperhatikan temannya itu dari atas tunggangannya. Sepertinya Waiz memang mampu mengandarai motorku, pikirnya. Waiz lalu hilang di tikungan.
Adlan memasang tali helmnya. Ia menarik gas, mengarahkan motor ke arah yang berlawanan dengan Waiz tadi, ke lajur utara. Beberapa meter motor berjalan, Adlan melihat Aisyah sedang berdiri di depan sana. Nampaknya sedang menunggu jemputan. Adlan berhenti, ia mengamati Aisyah dari jauh.
Tiba-tiba sebuah mobil Avanza hitam berhenti persis di depan Aisyah berdiri. Satu orang bertubuh tinggi besar keluar dari pintu belakang. Dengan sigap ia meringkus Aisyah, membawanya masuk ke dalam mobil. Pintu mobil di tutup. Avanza langsung melaju kencang ke arah utara.
Aisyah diculik. Kejadiannya begitu cepat. Adlan langsung tancap gas mengejar Avanza hitam itu. Mesin Ninja meraung garang. Roda depan terangkat beberapa jengkal selama lima detik lalu jatuh lagi mencengkram aspal jalanan.
Mobil melaju sangat kencang di depan sana. Adlan menggeber tunggangannya sampai di kisaran 147 Km/jam. Hanya butuh waktu dua menit, jarak Adlan dengan mobil tersebut sudah semakin dekat. Adlan mengurangi kecepatan guna menjaga jarak. Ia terus membuntuti Avanza itu dari belakang.
Aku tak mungkin memepet agar mobil berhenti, tungganganku jelas kalah body. Yang bisa ku lakukan hanya terus membuntuti dan menjaga jarak, menunggu sampai mereka berhenti, pikirnya.
Mobil melintas di pantura, melaju ke arah timur. Matahari mulai tenggelam. Mobil terus melaju ke arah Pekalongan. Adlan setia membuntuti di belakang dengan jarak yang cukup aman dari kecurigaan pembuntutan.
Hari semakin petang, kini mobil telah sampai di Semarang. Di jalanan yang bertepi hutan jati, mobil berbelok ke kiri, masuk ke jalan yang lebih kecil. Pepohonan semakin lebat. Jalannya sudah tidak lagi beraspal. Mobil berjalan semakin pelan memasuki kawasan bebas penduduk. Suasananya gelap, tak ada penerangan sama sekali selain lampu mobil.
Adlan mematikan lampu motornya agar tidak ketahuan. Ia berada tiga puluhan meter di belakang mobil, berjalan dengan mengingat rute  yang dilalui mobil Avanza. Sesaat kemudian mobil berhenti. Dari kejauhan Adlan pun menghentikan motornya. Empat orang keluar dari mobil. Tubuh mereka tinggi besar seperti tukang pukul. Satu diantaranya memanggul Aisyah di pundak kirinya. Aisyah tak sadarkan diri. Rambutnya menjuntai ke bawah, tak lagi tertutup kerudung. Seseorang yang berjalan paling depan menerangi jalan dengan senter. Adlan masih mengawasi dari kejauhan. Mereka lalu masuk ke sebuah rumah kayu.
Adlan mengeluarkan smartphone-nya dari saku celana. Ia lalu berjalan ke rumah kayu tersebut dengan flash ponselnya sebagai penerang jalan. Di kawasan tersebut hanya rumah kayu itu yang memancarkan cahaya lampu, putih redup di tengah-tengah kegelapan hutan. Jelas bukan dari listrik perumahan karena tidak ada satu rumah pun di sekelilingnya, juga kabel atau tiang listrik, yang ada hanya hamparan pohon jati.
Adlan mencari celah untuk mengintip ke dalam rumah kayu. Ia melihat Aisyah dalam keadaan terikat di sebuah kursi kayu. Mulut dan matanya tertutup. Ia masih belum sadarkan diri. Kepalanya jatuh lemas ke pundak kiri. Sebuah lampu neon charge diletakkan di atas meja di tengah ruangan sebagai satu-satunya sumber cahaya. Tiga orang nampak sedang melepas penat, duduk bersender di sebuah sofa panjang. Seorang lagi sedang mencoba menghubungi seseorang dengan ponselnya. Laki-laki berjaket kulit warna cokelat dengan rambut kuncir itu terlihat kesal. Ia mengibas-ngibaskan Hpnya, mencari sinyal. Setelah beberapa menit telepon akhirnya tersambung.
“Halo, Bos. Target sudah ada di tangan, tinggal menunggu perintah selanjutnya.”
Kemudian orang itu diam, kepalanya manggut-manggut mendengarkan suara dari seberang sana.
“Iya, Bos, sudah.” Katanya.
Kembali mendengarkan. Kali ini dia berjalan mendekati meja tengah.
“Tidak, Bos. Target sesuai dengan foto yang bos berikan. Awalnya Kami memang kebingungan karena dia memakai kerudung, tapi setelah Kami amati lebih dekat ternyata benar, dia Aisyah, anak wakil direktur perusahaan yang menjadi rival utama perusahaan bos.”
Oh, ternyata mereka orang  suruhan rival bisnis Papanya Aisyah, gumam Adlan.
Orang itu  masih diam mendengarkan. Manggut-manggut.
“Oke, Bos. Siap!”
Telepon lalu ditutup.
“Andre, Cimong, ikut aku! Dan kamu, Jambrong, jaga baik-baik anak itu. Ingat, jangan kamu apa-apakan dia!” Perintah Si Rambut kuncir.
“Siap, Kang!” Jawab laki-laki dengan brewok lebat dan tato kepinding di lengan kanannya.
Dua orang berdiri dari sofa, satu bergaya rambut klimis rapi, dan yang satu lagi botak. Keduanya lalu keluar dengan Si Rambut kuncir. Adlan bersembunyi di balik dinding samping rumah kayu itu. Keadaan yang gelap membuat persembunyiannya benar-benar sempurna. Tiga penjahat itu berjalan ke arah mobil Avanza tanpa sedikitpun menyadari keberadaan Adlan. Setelah masuk mobil, mereka lalu pergi entah kemana.
Adlan kembali mengintip ke dalam rumah kayu. Lelaki bernama Jambrong itu nampak sibuk dengan ponselnya. Sesaat kemudian ia merogoh ke dalam jaket hitam yang dikenakannya, mengeluarkan pistol dan menaruhnya di atas meja.
Sepertinya setiap orang dari mereka memegang senjata, gumamnya lirih.
Ia kembali mengamati ke dalam ruangan, menunggu kesempatan yang tepat untuk membebaskan Aisyah. Jambrong sekarang berdiri dari sofa, berjalan mendekati Aisyah yang masih tak sadarkan diri. Ia membuka penutup mata Aisyah, lalu lakban di mulutnya. Lakban itu begitu rekat. Saat Jambrong membukanya, Aisyah tersadar dan langsung menjerit kesakitan.
“Menjeritlah sekeras-kerasnya! Tak akan ada yang mendengarmu di tengah hutan seperti ini.” Jambrong tersenyum jahat. Pandangannya tajam mengarah ke wajah Aisyah.
“Lepaskan aku penjahat! Apa maumu!” Aisyah berteriak histeris, ketakutan. Air matanya mengalir.
“Ini semua salah ayahmu. Kalau saja dia mau menjual tiga hotel yang di bali itu kepada bos besar kami, tentu Kami tidak akan mengambil langkah picik seperti ini. Tapi apa mau dikata? Ayahmu telah memilih pilihannya sendiri.”
“Ketiga hotel itu bukan milik ayahku, dia cuma wakil direktur, tidak lebih!”
“Kamu tidak tahu apa-apa soal urusan ini. Meskipun ayahmu hanya seorang wakil direktur, tapi semua surat kepemilikan hotel-hotel itu sudah dikuasakan kepadanya. Memang hebat ayahmu, akupun mengakuinya. Dengan kejujuran dan kerja kerasnya dia sampai diberi kepercayaan sebesar itu.”
“Lalu kalian mau memaksa ayahku untuk menjual ketiga hotel itu dengan mengancam akan membunuhku? Hah!”
“Hahaha, pintar juga kau rupanya.” Tertawa jahat.
“Trik kuno! Orang bodoh pun tahu skenario usang seperti itu!”
Jambrong menatap Aisyah semakin tajam. Giginya bergerutuk.
“Iya, skenario ini memang kuno dan usang, tapi ini selalu ampuh.”
Jambrong lalu memegang dagu Aisyah. Menatap wajahnya dalam-dalam, lalu tersenyum.
“Cantik juga kau ini.” Senyum jambrong melebar.
“Jangan sentuh aku, Penjahat!” Aisyah mengelakkan kepalanya.
“Aku bisa melakukan apapun yang aku mau. Kang Kobat sedang ke Gunungpati menjemput bos besar, di sini hanya ada kau dan aku. Kang Kobat memang bilang agar kau tidak diapa-apakan, tapi jika hanya mencicipi bibirmu saja pasti tak akan ada bekasnya bukan?”
Jambrong mendekatkan wajahnya ke wajah Aisyah. Aisyah memalingkan wajahnya. Jambrong lalu memegang kepala Aisyah. Kepala Aisyah kini dalam kuasanya. Aisyah menutup mulutnya rapat-rapat. Matanya terpejam. Laki-laki berbrewok lebat itu kembali mendekatkan wajahnya, semakin dan semakin dekat dengan wajah Aisyah. Tinggal beberapa centi lagi bibirnya akan mendarat di mulut Aisyah yang masih tertutup rapat.
BLAKKK!!!
Sebuah balok kayu menghantam punggung Jambrong, sangking kerasnya sampai patah menjadi dua. Ia tersungkur ke lantai. Tubuhnya tak bergerak, sepertinya pingsan.
“Adlan? Bagaimana bisa?” Aisyah kaget melihat kedatangan Adlan, suaranya tercekat.
“Penjelasannya nanti saja.”
Adlan langsung sibuk melepas ikatan yang melekatkan tubuh Aisyah dengan kursi yang didudukinya.
“Adlan awas!” Teriak Aisyah.
Bogem mentah langsung menghantam punggung Adlan. Jambrong ternyata tidak pingsan, dia masih sadar. Sekarang giliran Adlan yang tersungkur di atas lantai. Jambrong segera menghampiri Adlan yang masih meringis kesakitan. Ia mencengkram kuat leher Adlan dengan kedua tangannya. Adlan benar-benar tak berdaya di bawah tindihan laki-laki bertubuh besar itu. Tangannya berusaha melepaskan cekikan yang membuatnya tak bisa bernafas.
Pergulatan itu sangat tidak seimbang. Ukuran badan Adlan dan Jambrong  terpaut jauh berbeda. Adlan semakin payah. Tangan kanannya menggerayangi lantai di sekitarnya, mencari apa saja yang bisa diambil. Dapat. Potongan balok kayu tadi terjamah olehnya. Adlan segera mengayunkannya ke kepala Jambrong sekeras-kerasnya. Jambrong terguling ke samping. Darah meleleh dari luka hantaman tersebut, mengecat sebagian wajah, telinga, leher, dan bajunya dengan warna merah.
“Anak SMA bangsat!” Teriaknya.
Jambrong mengambil pisau dari balik celananya. Adlan bersiap. Ia meningkatkan konsentrasi bertarungnya. Kini lawanku memegang senjata, aku harus lebih waspada. Jambrong lalu menyerang secara membabibuta. Dengan lincah Adlan menghindari tiap serangannya. Tubuh besar Jambrong membuat gerakan dan serangannya tak terlalu gesit.
Satu hujaman pisau mengarah ke leher Adlan, ia merunduk, lalu dengan keras menghantamkan kepalan tangan kanannya ke bagian vital Jambrong.
AAAAHHH!!!!
Jambrong meraung kesakitan. Pisaunya terlepas, jatuh ke lantai. Ia berlutut dengan kedua tangan memegangi alat vitalnya. Adlan melompat, tendangan berputarnya mendarat keras di pelipis kanan Jambrong. Jambrong terguling di atas lantai. Dengan payah ia berusaha bangkit. Adlan segera mengambil kursi kayu di salah satu pojok ruangan lalu menghantamkannya sampai hancur ke kepala bagian belakang Jambrong. Jambrong kembali tersungkur. Darah mengalir dari luka  di bagian belakang kepalanya.
Kini ia tak bergerak sama sekali. Adlan bernafas tersengal-sengal. Ia tendang-tendang lemah tubuh Jambrong, memastikan kalau dia benar-benar tidak akan bangun lagi. Adlan lalu berbalik arah, berjalan mendekati Aisyah yang masih terikat di kursi. Aisyah menangis, air matanya deras mengalir.
“Kenapa menangis?” Adlan jongkok, melepaskan simpul tali di bagian betis Aisyah.
“Aku takut.” Kata Aisyah sesunggukan.
“Semua sudah aman, tak ada yang perlu ditakutkan selama kita bergerak lebih cepat dari kedatangan ketiga temannya tadi.” Dengan sigap Adlan melepaskan lilitan demi lilitan tali yang menyatukan tubuh Aisyah dengan kursi.
“Aku tidak takut dengan kedatangan mereka, aku takut kamu kenapa-napa.”
Adlan terhenyak. Gerakannya terhenti. Ia menatap Aisyah. Aisyah melihat Adlan dengan bola mata yang masih banjir dengan tangisan.
“Aku akan baik-baik saja.” Adlan meneruskan pekerjaannya, melepaskan lilitan yang tinggal sedikit.
“Selesai! Ayo cepat kita pergi dari sini!” Adlan melangkah ke pintu.
Aisyah masih tetap duduk.
“Ini bukan urusanmu, Adlan, ini urusan keluargaku. Aku tak mau kamu ikut-ikutan masuk ke dalam bahaya. Jika aku pergi bersamamu, pasti mereka juga akan mengincarmu.” Tambah Aisyah.
Adlan membalik badan, berjalan mendekati Aisyah yang belum juga berdiri dari kursinya. Adlan lalu jongkok tepat di hadapan Aisyah. Pandangannya ke lantai.
“Jika aku ingin aman, aku tidak akan repot-repot mengikutimu sampai ke sini. Aisyah, ketahuilah, aku akan melakukan apa saja, bahkan menerjang bahaya sekalipun asal aku bisa memastikan kalau kamu baik-baik saja.”
Adlan mengangkat pandangannya. Air mata Aisyah masih mengalir, namun kini sebuah senyuman telah membentang menghiasi bibirnya. Ia tak mampu mengucapkan sepatah kata pun kala mendengar kalimat yang keluar dari mulut Adlan. Kalimat yang mewakili perasaan Adlan yang sebenarnya. Ia tahu kalau Adlan juga mencintainya, dan ia pun tahu Adlan akan tetap membiarkan cinta itu tak terungkap. Orang seperti Adlan pasti lebih memilih cintanya tetap suci dan terjaga, indah bersemayam di dalam hati sampai takdir memberikan jalan yang indah dan terhormat bagi cintanya itu.
“Bagaimana? Kamu mau ikut denganku?” Tanya Adlan.
Dengan senyuman yang masih membentang, Aisyah mengangguk.
“Ayo!”
Adlan bangkit, berjalan cepat ke arah pintu. Aisyah mengikutinya di belakang. Sekalian melangkah, Aisyah mengambil tasnya yang tergeletak di samping sofa.
“Tunggu sebentar!” Adlan menghentikan langkah.
Ia mengeluarkan ponsel dari saku celana abu-abunya. Menyalakan flash, lalu kembali berjalan.
@@@@
Di tengah jalanan yang gelap bertepi pepohonan jati nan rindang, Ninja putih itu membelah hitamnya malam dengan dua mata terangnya. Dengan laju 125Km/jam angin malam serasa sangat kencang menabrak kaca helm si pengemudi, Adlan. Aisyah yang membonceng di belakang hanya bisa menutup matanya rapat-rapat. Rambut panjangnya berkelebat hebat ke belakang. Tangannya mencengkram erat seragam putih Adlan. Adlan dan Aisyah memamg berboncengan, tapi tubuh keduanya tak saling menempel, terpisahkan oleh kedua tas gendong mereka. Adlan memakainya di punggung, sedangkan Aisyah di bagian depan tubuhnya.
“Adlan, bisa kamu pelankan kecepatannya? Aku kedinginan.” Teriak Aisyah.
Adlan tak merespon sama sekali. Sepertinya suara Aisyah terbawa kabur ke belakang oleh angin jalanan yang begitu kencang. Ia pun mengulanginya lebih keras.
“Adlan! Bisa lebih pelan tidak? Aku kedinginan!”
“Apa!” Teriak Adlan. Ia membuka kaca helmnnya.
“Pelankan motornya! Aku kedinginan!”
Adlan pun menurunkan kecepatan motor, 93 km/jam.  Motor terus melaju di jalanan gelap yang panjang. Setelah beberapa menit, rentetan lampu jalanan berwarna kuning terlihat di depan sana. Ninja memasuki jalanan terang, namun tepian jalannya masih di dominasi oleh pepohonan rindang. Hanya sekali dua bangunan nampak terlintasi. Aisyah melihat cairan warna merah merembes dari lengan kiri seragam Adlan.
“Adlan, sepertinya luka di lenganmu terbuka lagi.”
“Tak apa, aku baik-baik saja, kita harus terus menjauh dari mereka.”
“Tapi darahnya keluar banyak.”
“Aku bisa menahan sakitnya kok, jangan khawatir.”
Aisyah pun terdiam. Rasa khawatirnya atas keadaan Adlan terungkapkan oleh setetes air mata, mengalir melewati pipi lalu terbawa angin terbang jauh ke belakang.
Kini motor memasuki kawasan kota. Jalanan nampak lebih ramai dengan berlalu-lalangnya berbagai jenis kendaraan, dari yang beroda dua seperti yang dinaiki Adlan dan Aisyah, sampai yang beroda enam, truk-truk kontainer.
“Aisyah, kamu bawa uang tidak?” Tanya Adlan.
“Tidak, kenapa memangngya?”
“Bensinnya mau habis.”
“Kalau begitu kita cari mesin ATM, uangku masih ada di kartu ATM.”
Adlan pun memperlambat lagi motornya, mencari-cari mesin ATM. Sejurus kemudian ninja putih menepi ke sebuah mesin ATM di samping Indomaret. Aisyah turun dari motor, Adlan juga. Aisyah masuk ke ruang mesin ATM, sementara Adlan duduk menunggu di depan ATM.
Setelah lima menit Aisyah keluar. Ia mendapati Adlan tertidur dengan posisi memeluk lutut. Helmnya ditaruh di samping kanan bersama tasnya. Saat hendak membangunkan Adlan, Aisyah melihat darah di lengan kiri Adlan menetes semakin banyak.
“Adlan, bangun! Darahmu keluar banyak sekali. Kita harus ke rumah sakit dulu untuk membetulkan jahitan lukamu.”
Adlan terbangun, melihat lengan kirinya.
“Tak perlu, Aisyah, aku bisa menahannya. Yang harus Kita lakukan adalah menjauh secepatnya, jika Kita ke rumah sakit maka akan ada banyak waktu yang terbuang.”
“Jangan seperti itu, Adlan! Kalau terus dibiarkan terbuka darahmu akan keluar lebih banyak. Pokoknya Kita harus ke rumah sakit sekarang juga, titik!” Emosi Aisyah tersulut, terlihat jelas dalam kemarahannya itu ada sebuah kekhawatiran yang tersirat.
“Tidak, Aisyah, kamu tenanglah, aku tidak apa-apa, kita harus...”
“Pokoknya kalau tidak ke rumah sakit aku tak mau ikut kamu lagi!” Kedua mata Aisyah berkaca-kaca.
Adlan menghela nafas.
“Baiklah, Kita ke rumah sakit setelah mengisi bensin.” Mengalah.
Mereka pun melanjutkan perjalanan, mencari pom bensin terdekat. Tak jauh dari tempat mereka berhenti tadi terdapat sebuah pom bensin, mereka berhenti di situ. Ada dua motor lain yang juga sedang mengantri untuk mengisi bahan bakar.
Selesainya mengisi full perut ninja dengan pertamax, Adlan dan Aisyah melanjutkan perjalanan. Kini Aisyah yang menentukan arah. Dia pernah tinggal di daerah yang tidak terlalu jauh dari situ, jadi Ia tahu beberapa tempat penting di daerah tersebut, termasuk rumah sakit terdekat.
@@@@
Aisyah duduk menunggu di sebuah kursi panjang di depan ruang bedah. Jam tangannya menunjukkan pukul sepuluh lebih lima belas menit, itu berarti sudah dua puluh menit terhitung sejak Adlan masuk ruang bedah. Seragam putih abu-abunya begitu kusut dan berantakan. Ia terkantuk-kantuk di atas kursi. Tiba-tiba Hpnya berdering. Aisyah menerima panggilan tersebut.
“Aisyah! Kamu di mana sekarang?” Suara seorang laki-laki dewasa dari seberang sana.
“Papa, Aisyah baik-baik saja, Pah. Jangan khawatir, sekarang Aisyah sedang dalam perjalanan pulang.”
“Barusan Papa menerima telepon dari Gatot, rival bisnis Papa. Katanya dia telah menculikmu. Dia meminta Papa menjual beberapa hotel yang ada di Bali. Dia mengancam akan membunuhmu kalau Papa tak melakukannya. Papa bingung harus berbuat apa, soalnya dia juga melarang Papa menghubungi polisi dengan ancaman yang sama.”
“Papa tenang saja, Aisyah sekarang dalam keadaan aman. Salah satu teman Aisyah mengikuti mobil yang membawa Aisyah sampai ke tempat di mana Aisyah disekap. Dia telah menyelamatkan Aisyah, Pah. Sekarang Kami masih di rumah sakit, lengan teman Aisyah itu terluka.”
“Syukurlah kalau begitu. Papa akan...”
Suara terputus. Layar smartphone Aisyah mati, kehabisan baterai. Aisyah mengucap hamdalah. Meski percakapan dengan Papanya belum selesai, tapi paling tidak sekarang Papanya tahu kalau dia dalam keadaan aman. Aisyah menyimpan Hpnya ke dalam tas.
Setengah jam lebih menunggu perut Aisyah mulai konser. Lapar. Ia lalu pergi ke luar rumah sakit, membeli dua kebab turki di depan indomaret yang terletak 20 meter dari rumah sakit. Ia juga membeli dua botol air mineral dari Indomaret tersebut. Selesainya berbelanja untuk santap malam, Aisyah berjalan kembali ke ruma sakit. Di pagar depan rumah sakit terpampang jelas tulisan RUMAH SAKIT GRAHA MEDIKA. Tulisan tersebut sangat mudah dilihat dari jalan raya.
Saat Aisyah kembali ke kursi tunggu ruang bedah, Adlan sudah selesai dari penjahitan lengannya. Ia duduk di kursi yang tadi diduduki Aisyah.
“Adlan, sudah selesai?” Menghampiri Adlan lalu duduk di sebelahnya.
“Alhamdulillah sudah. Ayo kita lanjutkan perjalanan.” Ajak Adlan.
“Kita makan dulu, aku sudah beli dua kebab.” Aisyah mengambil satu kebab dari kantong plastik, menyodorkannya ke Adlan.
Adlan terbengong.
“Ayo ambil, kamu lapar kan? Kalau aku sih lapar.” Senyum manisnya terlontar.
Adlan pun menerima kebab tersebut.
“Terimakasih.” Katanya singkat.
Mereka berdua lalu menyantap kebab itu dengan lahap. Bumbu lapar yang tertabur menambah kelezatan santap malam mereka. Gigitan demi gigitan membuat kebab yang mereka santap semakin berkurang ukurannya.
“Adlan.” Aisyah memecah kelengangan.
Adlan menengok, kenapa?
“Terimakasih banyak.” Aisyah menatap wajah Adlan lembut.
Adlan segera menundukkan pandangannya. Ia hanya menjawab dengan senyuman, lalu kembali mengunyah kebabnya.
Gigitan demi gigitan terus mengecilkan ukuran kebab mereka sampai akhirnya ludes. Aisyah memberikan sebotol air mineral dingin kepada Adlan, bintik-bintik air menyelimuti semua bagian botolnya. Ia pun mengambil satu lagi di kantong plastik untuk dirinya. Mereka meneguknya dengan penuh kenikmatan, segar.
“Adlan, sepertinya aku tak kuat jika harus melanjutkan perjalanan, aku lelah sekali.”
Sekilas Adlan melihat wajah Aisyah. Pucat.
“Kita mau istirahat di mana?”
“Tiga ratus meter dari rumah sakit ini ada tempat kos, semoga saja masih ada dua kamar kosong.”
“Kalau tidak ada?” Adlan cemas. Tak mungkin bermalam sekamar kan? Protesnya dalam hati.
“Kita cari yang lain.” Tersenyum, tahu maksud pertanyaan Adlan.
“Baiklah, semoga saja masih ada.”
@@@@
Ninja putih keluar dari gerbang rumah sakit, masuk ke jalan raya. Adlan dan Aisyah mengarah ke timur dengan kecepatan sedang. Hanya beberapa menit saja mereka telah sampai di kosan yang dimaksud Aisyah. Mereka turun dari motor, berjalan ke rumah pemilik kos.
“Assalamualaikum?” Aisyah mengetuk pintu.
“Aisyah, lihat!” Adlan menunjuk tombol bel rumah yang terpasang di pojok atas pintu. Ia berdiri tiga langkah di belakang Aisyah.
“Hehe, maaf, aku tidak lihat.” Menggaruk kepala.
Aisyah menekan tombol bel. Ting nong, bunyi bel terdengar dari dalam  rumah. Sesaat kemudian seorang perempuan berusia empat puluhan membuka pintu.
“Ada apa, Nak?” Tanya pemilik kos.
“Kami mau menyewa dua kamar, Bu, apa masih ada?”
“Aduh, mohon maaf, Nak, kamarnya cuma tersisa satu.”
Aisyah menengok ke arah Adlan, Bagaimana? Adlan menggelengkan kepala.
“Ya sudah, Bu, kami cari yang lain saja.”
Adlan dan Aisyah berjalan ke motor, sedangkan Ibu kos kembali masuk ke rumahnya.
“Coba kita ke utara, tiga ratusan meter dari sini ada motel, semoga masih ada dua kamar.”
“Motel? Uangnya cukup?”
“Semoga saja cukup.”
Adlan menaiki motor.
“Ayo naik, Aisyah.”
“Sebentar.” Aisyah memegangi dadanya. Ekspresi wajahnya menahan rasa sakit.
“Kamu baik-baik saja?” Tanya Adlan, cemas.
Uhuk…uhukk.. Darah menyembur dari mulut Aisyah. Ia berusaha menutupinya dengan telapak tangan.
“Astaghfirullah! Kamu kenapa Aisyah?” Adlan segera turun dari motornya.
“Tidak, aku tidak apa-apa. Ayo cepat kita ke motel itu.”
Uhukk.. Darah segar kembali memuncrat dari mulut Aisyah. Adlan segera naik kembali ke motor, perasaannya cemas bercampur bingung. Aisyah pun naik ke motor.
“Ayo cepat, Adlan.” Kalimat Aisyah melemah.
Adlan segera menjalankan motor. Aisyah berpegangan erat pada seragam putih Adlan. Dengan lemah Aisyah menunjukkan arahnya. Tak lama kemudian mereka sampai di motel. Tepat saat Adlan menghentikan motor, Aisyah terjatuh. Pingsan.
@@@@
Ruangan itu tak terlalu luas, juga tak terlalu sempit. Ada sebuah ranjang yang cukup untuk dua orang. Sofa terletak dua meter di kanan ranjang, lengkap dengan meja dan televisi untuk bersantai. Di sebelah TV ada sebuah dispenser. Kamar mandi pun tersedia di dalam kamar motel tersebut. Tiga lampu kamar menyala terang di langit-langit berwarna putih. Satu lampu tidur tepat di samping kiri ranjang. AC menyala, mesinnya berdengung mengatur suhu ruangan, 26°C. Lantainya yang terbuat dari keramik putih bercorak biru dan merah silih berganti terlihat serasi dengan pintu kamar berwarna cokelat yang sengaja dibiarkan terbuka. Jam dinding kamar menunjukkan pukul dua belas malam.
Adlan duduk di sofa. Ia kebingungan memikirkan keadaan Aisyah yang kini terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang. Badannya begitu letih, terlebih setelah menggendong Aisyah dari tempatnya terjatuh tadi sampai ke kamar yang disewanya itu. Pembayaran kamar telah dilunasi untuk semalam. Uang yang ada di dompet Aisyah hanya cukup untuk menyewa satu kamar.
Adlan merasakan matanya semakin berat. Lama kelamaan akhirnya terpejam.
“Astaghfirullah! Aku belum sholat maghrib dan isya.” Terbangun dari nyaris tidur-nya.
Adlan beranjak ke kamar mandi guna membersihkan badannya dari darah dan keringat. Di kamar mandi telah tersedia handuk dan peralatan mandi yang lain. Adlan mengganti ­putih abu-abunya dengan seragam olahraga yang tadi ia gunakan saat pelajaran Pak Felix.
Ketika keluar dari kamar mandi, Adlan mendapati Aisyah telah siuman.
“Aisyah, kamu sudah siuman? Bagaimana keadaanmu?” Nada pertanyaannya cemas.
Ia menghampiri Aisyah, duduk di tepi ranjang.
“Aku tidak apa-apa, Adlan. Jangan khawatir, aku sudah biasa seperti ini, insyaAllah besok juga sudah baikan.”
“Tempo hari aku menemukan saputangan biru bertulis A.Z, di lipatan dalamnya ada bercak-bercak darah. Awalnya aku ragu orang seceria dan seaktif kamu adalah pemiliknya. Tapi sekarang jelas sudah, kamulah Si Pemilik sapu tangan berdarah itu. Memangnya penyakit apa yang kamu derita? Dan separah apa?”
Aisyah terdiam. Suara kamar menjadi sangat lengang. Hanya suara AC yang terdengar bergemuruh.
“Kata dokter aku terkena kanker paru-paru. Terakhir kali aku periksakan penyakitnya sudah mencapai stadium tiga.” Kalimatnya memecah kelengangan.
“Lalu, sekarang kamu bawa obatnya?”
“Ada di kantong samping tasku.”
Adlan bangkit dari tempatnya untuk mengambil botol obat yang Aisyah maksud. Ia juga mengambil segelas air putih dari dispenser.
“Ini, minumlah.” Memberikan obat dan air putih kepada Aisyah. Ia berusaha tetap menjaga pandangannya.
“Terimakasih.” Aisyah menerimanya.
Ia  mengambil dua butir pil putih, lalu menelannya dengan bantuan air.
“Kamu tahu, obat ini hanya untuk meringankan rasa sakit dan memperlambat perkembangan kanker.” Jelas Aisyah.
“Maksudmu...”
“Ya, penyakitku tak bisa disembuhkan.” Sela Aisyah.
Adlan menelan ludah, tidak bisa disembuhkan?
“Kedua orang tuaku tak mengatahui hal ini. Selain dokter, Hanya Bi Hafsah, pembantu yang sudah seperti ibu bagiku yang tahu tentang penyakitku ini. Dan sekarang, kamulah orang ketiga yang tahu tentang penyakitku.”
Adlan terdiam selama beberapa saat. Alisnya mengernyit.
“Tidak, pasti ada jalan untuk menyembuhkan penyakitmu.”
“Sebenarnya memang ada, dengan operasi pengangkatan sel kanker.”
“Kenapa tidak kamu lakukan?”
“Sudah terlambat, kankernya sudah menjalar, presentase kegagalan operasi tersebut lebih besar dari presentase keberhasilannya.”
“Apa yang akan terjadi jika operasinya gagal?”
Aisyah tersenyum. Adlan tahu maksud dari senyuman itu, kematian. Mata Adlan berkaca-kaca. Sesaat kemidian sebutir air mata mengalir di pipinya. Ia segera menyekanya.
“Seberapa lama obat itu bisa memperlambat perkembangan kanker sampai stadium akhir?”
“Tak lebih dari tiga tahun.”
“Terhitung sejak kapan?”
“Empat bulan yang lalu.”
Adlan shock mendengar hal itu. Dalam tunduk kepalanya terlihat sebuah pandangan yang tiba-tiba datar. Ruangan menjadi hening. Hanya suara gemuruh AC yang terdengar. Adlan menyeka air matanya yang kembali meleleh.
“Hei, jangan menangis, aku yang punya penyakit saja kuat, dasar cengeng!” Aisyah tersenyum, meledek Adlan, berusaha membuatnya tegar sebagaimana dirinya.
Adlan masih terdiam. Mulutnya terkunci rapat. Milyaran kata yang ada di otaknya mendadak hilang. Mengetahui orang yang dicintai dalam penderitaan memang menyakitkan, terlebih jika penderitaan itu akan mengantarkannya pada kematian.
“Adlan, aku belum sholat maghrib dan isya, kamu mau menemaniku berjamaah? Aku tak mau jika harus kehilangan dua puluh tujuh lipatan pahala sholat.” Senyum manisnya terlontar.
Adlan mengangguk pelan, pandangannya masih datar ke lantai. Aisyah bangkit dari ranjang, berjalan menuju kamar mandi. Ia membawa serta seragam olahraga yang tadi pagi ia kenakan.
Setelah lima belas menit Aisyah keluar, sekarang ia memakai seragam olahraga. Adlan masih mengerjakan sholat sunah. Aisyah mengambil mukena di dalam tasnya, mengenakannya, lalu berdiri di belakang Adlan. Sesaat kemudian Adlan selesai. Ketika salam ia melihat Aisyah telah berdiri di belakangnya dalam balutan mukena putih. Adlan pun berdiri.
“Kita sholat isya dulu, setelah itu kita qodho sholat maghrib.” Kata Adlan. Aisyah mengangguk.
“Allahu akbar.”
Adlan memulai sholatnya. Aisyah mengikuti di belakang. Mereka pun langsung tenggelam dalam khusyu penghambaan di penghujung malam. Air mata Adlan mengalir. Suara bacaan fatihahnya tercekat, sesunggukan. Dalam hatinya dia terus memohonkan kesembuhan untuk perempuan yang jadi makmumnya saat itu, Aisyah. lelehan air matanya begitu deras menetes ke lantai.
Di belakang Adlan, Aisyah pun mengucurkan deras air matanya. Mukena bagian dagunya basah. Namun demikian sebuah senyuman menyunging di wajahnya, sebuah senyum syukur. Senyum tersebut mengembang dengan sendirinya sebagai ungkapan  terimakasih yang terluap atas nikmat yang telah diberikan untuknya. Meskipun Allah memberikan penyakit yang akan membatasi umurnya, tapi Dia juga mengirimkan seorang guardian angel untuk memastikan kebahagiaan dan keselamatannya di sisa-sisa umurnya yang tak lama lagi. Ia sangat bersyukur karena telah dipertemukan dengan Adlan.
Bagi Aisyah, Adlan adalah kado terbaik dari Allah yang ia tunggu-tunggu kedatangannya, kado yang dikirim sebagai penghancur karang permasalahan yang selalu membebaninya. Kini, dengan keberadaan Adlan dalam guratan takdir hidupnya, Aisyah tak lagi takut menghadapi kematian. Ia siap menjumpai kematian kapan saja kematian itu menginginkannya. Baginya, kebersamaan dengan Adlan di detik-detik itu  merupakan kebahagiaan terbesar yang Allah tuliskan dalam lembaran takdirnya, kebahagiaan yang lebih dari cukup untuk menghapus semua deritanya selama ini, bahkan yang akan datang termasuk kematiannya.
Rakaat demi rakaat, fatihah demi fatihah, juga doa demi doa terus dirajut oleh Adlan dan Aisyah di kamar itu sampai akhirnya salam penutup mengakhiri peribadatan mereka.
“Aisyah, kamu istirahatlah, pastikan kalau besok pagi tubuhmu telah pulih. Kita akan meneruskan perjalanan usai sholat subuh.” Kepala Adlan menoleh ke samping kanan, pandangannya ke lantai.
“Iya.” Sahut Aisyah di belakangnya.
Aisyah beranjak dari lantai tempatnya bersimpuh, berjalan ke ranjang. Saat hendak melepas mukena, Adlan mencegahnya. Ia meminta agar Aisyah tetap mengenakannya saat tidur. Ia takut setan akan merasuki akal sehatnya jika Aisyah tertidur hanya dengan seragam dan training olahraga saja, apalagi rambutnya terjuntai bebas tak tertutup. Aisyah mengiyakan, ia pun tidur dengan tetap memakai mukena putihnya. Tak lupa selimut ranjang juga ia tutupkan ke sekujur tubuh agar lebih hangat dan terjaga.
Sementara itu Adlan berdiri lagi, melanjutkan pelunasan hutangnya kepada Allah. Ia memulai takbir qodho sholat asarnya yang tadi ia kerjakan dengan hurmat al waqti[2] saat membuntuti mobil yang menculik Aisyah.
@@@@












[1]Dikutip dari tulisan Darwis tere-liye.
[2]Sholat hurmat al waqti adalah sholat yang dikerjakan seadanya untuk menghormati kewajiban sholat ketika waktunya tiba. Sholat hurmat al waqti di kerjakan saat seseorang tidak bisa memenuhi syarat-syarat sah sholat seperti suci dari hadats dan najis, tidak menemukan tempat yang suci dan pas untuk gerakan sholat, tidak ada pakaian suci yang bisa ia gunakan untuk menutup auratnya dsb, padahal waktu sholat wajib telah datang. Dan Si Pelaku harus mengqodonya saat ia bisa memenuhi syarat-syarat sholat tersebut. Maktabah Syamilah, Al majmu’ syarh al muhazzab, juz 2, hal 306.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagian Kedua

PEMESANAN 082322504931