Selasa, 18 Juli 2017

4. Tangisan Kerinduan


“Assalamualaikum warohmatullah, assalamualaikum wrohmatullah.”
Abah yang sebagai imam sholat maghrib mengahiri peribadatan di awal malam itu. Umi, Adlan, dan Fadli mengikuti di belakang. Satu demi satu dari mereka saling bersalaman. Benar-benar simbol keharmonisan sebuah keluarga yang sakinah.
Mereka punya sebuah kebiasaan baik yang dilakukan setiap antara maghrib dan isya, yaitu; jangan sampai ada gadget yang menyala, baik itu HP, komputer, laptop –yang baru dibeli-, dan yang utama adalah televisi. Abah dan Umi menggunakan waktu tersebut untuk memberikan pendidikan agama untuk Adlan dan Fadli. Mereka menitik beratkan pembelajaran pada hal membaca al Quran dan bagaimana berakhlak mulia seperti junjungan mereka, RasuluLlah Muhammad SAW.
Pembelajaran semacam ini adalah sebuah hal penting yang sudah dianggap remeh oleh sebagian besar orang tua, pendidikan moral dan agama di rumah. Mereka merasa cukup dengan mata pelajaran agama di sekolah anak-anak mereka yang hanya dua jam seminggu, itu pun tidak efektif. Apalagi kebanyakan guru pengampu pelajaran agama di sekolah umum hanya menitik beratkan pembelajaran pada teori, tidak sampai praktek dan implementasinya. Padahal pendidikan agamalah yang menjadi characteristic builder paling krusial bagi setiap individu. Karenanyalah  anak tahu bagaimana harus menjalani kewajibannya sebagai seorang muslim, hal yang akan mengarahkannya menjadi  insan berakhlak mulia, paham bagaimana dia harus berbakti kepada orang tua, pandai dengan apa  yang harus ia lakukan kepada saudara-saudaranya sesama muslim, bahkan juga mengajarkan toleransi antar umat beragama, saling membantu dengan mereka dalam hal-hal sosial.
Selain itu, manfaat dari pendidikan seperti ini –orang tua mementori anaknya- juga akan berimbas baik pada kedekatan hubungan mereka. Mereka bisa bercanda, tertawa bersama, dan bahkan sharing antara anak dengan orang tua. Dengan hal seperti inilah sebuah keluarga akan memiliki keakraban yang sangat erat. Sangat berbeda dengan keluarga yang tidak memiliki waktu untuk berkumpul bersama. Hasilnya, anak-anak akan merasa canggung untuk sharing, meminta pendapat orang tua saat menemui hal yang  tidak bisa mereka putuskan sendiri, apalagi menceritakan masalah-masalah pribadinya. Terkadang hal seperti ini akan mengarahkan seorang anak untuk mencari orang lain sebagai tempat curhat dan berbagi. Ketika mereka menemukan orang yang mau mendengar keluh kesahnya, mereka akan dengan senang hati menerima saran-saran dan nasehatnya. Mereka akan lebih dekat dengan orang itu dari pada orang tua mereka sendiri, mereka akan lebih nyaman dengan orang itu. Apakah tidak menyakitkan bagi seorang anak jika sosok yang mau mengerti mereka justru bukan orang tua mereka sendiri? Lalu seandainya mereka salah menemukan orang untuk berbagi, bisa jadi mereka malah mendapatkan nasehat-nasehat yang justru akan membuat hidup mereka hancur dan semakin berantakan.
Itulah hal yang Abah sadari betul-betul. Sebagai kepala keluarga Abah harus benar-benar memastikan kuatnya benteng pertahanan jiwa dan mental anak-anaknya, sehingga jika kelak mereka berhadapan dengan problematika hidup yang keras, mereka tidak akan mudah jatuh dan terpuruk, apalagi sampai mencari pelarian yang salah, alkohol, drugs, free sex, atau bahkan bunuh diri.
Setengah jam setelah Abah bercerita panjang lebar tentang perjuangan RasuluLlah bersama Sayyidina Abu Bakar, saat  mereka berhijrah dan bersembunyi di dalam gua tsur, suara Mang Komar mengumandangkan azan isya pun menyeruak, menembus dinding-dinding rumah penduduk. Mendung yang sejak tadi menjadi atap abu-abu di petala langit mulai menjatuhkan jutaan bahkan milyaran tetes air. Awalnya hanya gerimis kecil, tak berselang lama kemudian serangan milyaran tetes air itu semakin deras. Seperti peluru-peluru yang dijatuhkan dari langit, tetesan-tetesan itu menghujami atap rumah Adlan begitu keras, menimbulkan suara berisik dan bergemuruh. Cuacanya dingin dan lembab.
Seusai sholat isya, Abah menyuruh Adlan dan Fadli untuk belajar di kamar masing-masing. Abah melarang mereka menyalakan televisi karena petir begitu sering menyambar.
Tak butuh waktu lama bagi udara yang dingin untuk menyelimuti Fadli dengan rasa kantuk. Ia pun tertidur di atas ranjang bersama beberepa buku pelajarannya. Sementara Adlan, setelah membaca beberapa buku tentang sosiologi dan sains, ia membuka laptop barunya. Toshiba hitam tipe satelite. Begitu tombol power ditekan langsung terlihat wellcome screen terbaru dari windows seven, Eternity Version. Satu persatu aplikasi ia jajal. Sepertinya Abah benar-benar mengerti kebutuhannya. Laptopnya telah terisi berbagai macam  aplikasi dan E-book yang akan membantunya dalam proses belajar, juga terinstal beberapa game untuk hiburan seperti Counter Strike, Feeding Fenzy, Winning Eleven, dan dua game strategy pengasah otak.
Tak terasa sudah jam sebelas malam. Hujan masih turun, namun tak sederas saat isya tadi. Dari tadi Adlan sedang asik bermain Chess Master –catur-, salah satu dari dua game strategi yang ada di laptop barunya. Tujuh kali bermain di tingkat master, dua kali kalah di awal permainan, sedang sisanya  adalah kemenangan. Permainan yang lumayan sulit, sampai-sampai Adlan butuh dua kali permainan untuk membaca style bermain musuhnya itu. Udara dingin tak mampu menyelimutinya dengan selimut kantuk. Mungkin tidur panjangnya siang tadilah penyebabnya. Meski gagal membuat kantuk, namun usaha udara dingin itu menahan pori-pori tubuh Adlan untuk tidak mengeluarkan keringat berhasil. Semua cairan tubuh Adlan akhirnya berkumpul di kantung kemih, membuatnya merasa ingin buang air kecil. Ia mengeklik tombol pause di layar laptopnya, lalu beranjak ke kamar mandi.
Dalam perjalanannya ke kamar mandi, Adlan sempat melihat Umi di ruang sholat,  sedang berdiri mengenakan mukena. Selesai dengan urusan kantung kemihnya, Adlan pun melangkahkan kaki kembali ke kamar. Ketika melewati ruang sholat ia mendengar suara tangis memilukan, memecah suara jutaan tetes air yang beradu dengan atap rumah. Ia melihat Umi masih berdiri menghadap ke kiblat –membelakangi posisi Adlan yang berdiri di depan pintu masuk. Umi menangis sesunggukan dalam sholatnya. Adlan masih berdiri melihat Umi. Setelah dilihat secara seksama, ternyata Umi tidak sedang sholat. Umi berdiri memegangi foto ka’bah yang menjadi hiasan ruang sholat. Adlan langsung paham apa yang sedang ditangisi Umi. Ya, kerinduan untuk bisa menatap baitullah secara langsung, memenuhi kewajiban terakhir dalam rukun islam sebagai panggilan Ilahi. Melakukan ibadah haji.
Dengan air mata yang deras berderai Adlan berjalan kembali ke kamar. Kucuran air matanya tak kunjung henti seolah ingin menyaingi kucuran hujan di luar sana. Lambaian Chess Master di layar laptopnya tak sedikitpun mengundang perhatian Adlan untuk memainkannya lagi. ia klik ikon Shut down di layar laptopnya lalu membantingkan diri ke kasur. Air matanya masih belum terbendung. Matanya semakin lama semakin sembab.
“Ya Allah, selama ini Umi selalu mengorbankan apapun demi terpenuhinya keinginanku. Apapun. Dan sekarang, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, Umi menangis menahan kerinduannya untuk pergi memenuhi panggilanMu. Keinginan yang selalu tandas demi memenuhi egoku. Aku selalu ingin belajar di sekolah-sekolah unggulan, mendapat pendidikan dengan kualitas terbaik yang tentunya dengan biaya yang tidak murah. Aku memang anak yang tak berguna, hanya bisa membuat susah Abah dan Umi.” Keluh Adlan dalam hatinya.
“AAAHHHH…!!!”
Adlan berteriak sekeras-kerasnya ke dalam bantal. Ia masih menangis memikirkan Umi. Ingin sekali rasanya memenuhi keinginannya. Tapi apa yang bisa dia lakukan? Jangankan membiayai naik haji, uang jajan saja masih minta. Mustahil..!
Saputangan Berdarah
Sabtu, 21 Mei 2009. Adlan berangkat ke Smansawi pagi-pagi, jam 06.25. Matanya masih sembab akibat tangisan panjangnya semalam. Hari itu ia akan mengikuti pengarahan dan pembagian kelompok MOS –Masa Orientasi Siswa- bersama semua siswa baru.
Masa orientasi yang akan Adlan ikuti selama satu minggu ke depan terbagi menjadi dua sesi. Pertama MOS itu sendiri sebagai masa perkenalan lingkungan sekolah yang akan dilaksanakan pada tiga hari pertama, Senin, Selasa, dan Rabu. Dan yang kedua adalah GMB atau Gladi Mandala Bhakti. Sebuah acara leadership camp yang akan diadakan di alam terbuka. GMB akan dilangsungkan selama tiga hari juga, Kamis, Jumat, dan Sabtu. Untuk tahun ini panitia memilih Bumi Perkemahan Suniarsih, sebuah daerah pegunungan di selatan Tegal –sekitar 7 Km di timur laut obyek wisata Guci- sebagai area penyelenggaraan.
Hanya butuh waktu tiga puluh menit bagi Adlan untuk menaklukkan 25 Km jarak pembentang antara rumahnya dengan Smansawi. Terhitung nekat memang, sebab jalanan saat itu  sedang ramai oleh anak-anak sekolah, kendaraan-kendaraan umum, dan mobil-mobil bak terbuka yang berlalu-lalang mengangkut dagangan sperti sayur mayur dan buah-buahan dari dan ke pasar.
Sesampainya di Smansawi, Adlan langsung bergegas ke aula sekolah, berlari. Karena tepat jam 07.00 semua siswa baru harus sudah berada di ruang kelasnya masing-masing. Di aula, Adlan mencari namanya di daftar-daftar absensi kelas X (kelas sepuluh/satu SMA) yang ditempel di Papan aula.
Ketemu! Kelas X.9, absen 12, Adlan Dzul Izzi, di R 1.12.
Adlan langsung mencari kelasnya. Dia berlarian menyusuri serambi-serambi kelas, melihat setiap tulisan di bagian depan ruangan,
“R 1.03, R 1.04, R 1.05, pasti kelasku di ujung sana.” Adlan terus berlari di serambi-serambi kelas yang masih asing baginya itu.
Mudah-mudahan kakak kelas pendampingnya tidak galak, gumamnya dalam hati.
Sampailah Adlan di ruang R 1.12. Anak-anak sepertinya sudah datang semua. Tapi beruntung, kakak kelas pendamping belum datang. Hanya tersisa dua meja kosong, paling depan pojok kiri –berhadapan dengan meja guru- dan paling depan deret tengah, lima langkah dari white board. Adlan memilih meja yang di deret tengah. Ia menaruh tas gendongnya di atas meja, lalu duduk di kursi sebelah kanan –tiap meja ada dua kursi.
Belum ada satu orang pun yang Adlan kenal di kelas barunya itu. Baru berniat berkenalan dengan dua anak yang duduk di meja belakangnya, kakak pendamping datang. Badannya tinggi tegap, rambutnya cepak tentara, sepatu pantovel hitam menjadi pondasi putih abu-abu yang ia kenakan. Mukanya sangar dan ganas. Dari lambang organisasi yang terpasang di lengan kirinya, siapapun tahu kalau dia anggota ekskul Paskibra. Keramaian kelas pun langsung terhenti. Hening.
Waduh, sepertinya akan jadi MOS yang sulit, gumam Adlan dalam hati.
“Assalaamualaikum warohmatullahi wa barokatuh.” Sapa kakak pendamping, membuka.
“Wa’alaikum salam warohmatullahi wa barokatuh.” Jawabanak-anak serempak.
“Selamat pagi semua! Perkenalkan, nama kakak Gilang Pangestu. Kakaklah yang akan menjadi pendamping kalian untuk satu minggu ke depan. Pada kesempatan ini Kakak cuma diberi waktu sampai jam sembilan oleh koordinator pendamping. Di sini, kakak akan menyampaikan garis besar materi, jadwal, dan hal-hal yang harus kalian lakukan Senin besok sampai Sabtu nanti.”
Kak Gilang menarik kursi guru ke samping white board lalu duduk, tepat di depan Adlan.
“Sebelum Kita  masuk ke penjelasan garis besar materi, Kakak ingin mengenal kalian terlebih dahulu. Sebutkan nama, asal SMP, dan alamat, tidak lebih! Mulai dari,.. Kamu!” Menunjuk Adlan yang duduk di meja yang paling dekat dengannya.
“Perkenalkan, nama Saya Adlan Dzul Izzi. Saya lulusan SMP Negeri Satu..”
“SALAH..!!” Bentak Kak Gilang keras. Suaranya menyambar dahsyat seperti petir, membuat keheningan kelas semakin mencekam.
“Hanya sebutkan nama, asal SMP, alamat! Tidak lebih! MENGERTI..!!” Bentaknya makin keras.
“Mengerti, Kak.” Jawab Adlan gemetaran.
“SALAH! Jangan katakan mengerti! Tapi SIAP, MENGERTI!” Serunya tegas. Benar-benar cerminan orang yang terdidik ala militer.
“SIAP, MENGERTI!” Jawab Adlan dengan nada suara yang tegas.
“Berdiri tegak! Lalu perkanalkan diri!”
“SIAP!” Adlan berdiri tegak dari tempat duduknya.
“Adlan Dzul Izzi, SMP Negeri Satu Pagerbarang, Surokidul, Tegal!” Ucapnya lantang, lalu duduk lagi.
“Berikutnya!” Seru Kak Gilang.
Anak berkaca mata yang duduk di meja sebelah kiri Adlan berdiri,
“Budi Oktariawan, SMP Negeri Satu Bumijawa, Bumijawa, Tegal!”
Perkenalan diri ala militer itu terus berantai. Satu persatu mereka memperkenalkan diri sesuai urutan duduk. Sampai pada urutan kedua puluh empat,
“Aisyah Az-Zahra, SMP Negeri Dua Semarang, Jatibarang, Brebes!” Seru seorang anak perempuan di meja shaf ketiga paling kanan.
Adlan langsung menoleh. Ternyata benar. Gadis itu adalah Aisyah yang tempo hari berjingkrak kegirangan mendapat peringkat dua dalam tes seleksi, si jelita yang seharian kemarin wajahnya terus memproyeksikan diri dalam kepalanya. Jantung Adlan berdegup agak kencang. Entah senang, entah kaget, entah apa, ia tak mampu mendeskripsikan perasaannya kala mengetahui Aisyah sekelas dengannya.
Setelah semuanya selesai memperkenalkan diri, Kak Gilang membagi mereka menjadi dua kelompok besar, regu putra dan regu putri. Ada empat belas anak laki-laki dan dua puluh enam anak perempuan. Kak Gilang membagi keempat belas anak laki-laki tersebut menjadi dua regu sama jumlah. Sedangkan yang perempuan menjadi empat, dua regu beranggotakan tujuh orang, sisanya  enam. Dia menggunakan absensi kelas untuk menentukan siapa-siapa saja yang menjadi regu pertama, kedua, dan seterusnya.
“Silahkan berkumpul dengan regu masing-masing! Musyawarahkan nama regu, ketua, dan wakil ketuanya! Kakak beri waktu lima  menit. Dimulai dari,.. Sekarang!”
Mereka langsung merapat dengan regunya masing-masing. Ruang kelas mulai ramai dengan suara-suara ribut diskusi keenam regu, termasuk regu Adlan. Adlan terpilih menjadi ketua regu. Sebenarnya  dia sudah menolak mati-matian. Pikirnya  ketua regu akan lebih repot dari yang lain. Tapi karena semua teman satu regu memilihnya, maka dengan berat hati ia terima. Di sudut yang lain, Aisyah ternyata terpilih menjadi ketua regu juga.
“Waktu habis. Sekarang perhatikan! Kakak akan menjelaskan hal-hal yang harus kalian persiapkan.”
Kak Gilang lalu menjelaskan garis besar materi, jadwal, seragam, dan aksesoris yang harus dipakai. Mereka harus memakai perlengkapan dan aksesoris yang tidak wajar. Mulai  dari tas kardus, kaos kaki berbeda warna, topi dari bola plastik yang dibelah dua, dan barang-barang aneh yang lain.
Setelah mendapatkan instruksi dari Kak Gilang, mereka mulai membagi tugas untuk membawa perlengkapan regu. Dengan cepat, Adlan membagi teman-teman regunya untuk membawa barang-barang yang ditentukan. Kelas kembali ramai oleh diskusi mereka. Sesekali waktu terdengar Jangan aku yang membawanya, yang lain saja! Dan suara-suara penolakan lain yang membuat para ketua regu kebingungan mengatur kelompoknya.
“Waktu habis!” Seru Kak Gilang.
@@@@
TENG,..!! TENG,..!!
Suara lonceng tanda istirahat berbunyi. Anak-anak keluar kelas. Sebagian mereka lebih memilih menetap di kelas, ngobrol dengan teman-teman barunya.
Selain panitia MOS dan GMB, tidak ada siswa Smansa yang berangkat sebab kegiatan belajar mengajar efektif baru akan dimulai hari  Senin. Hal itu menyebabkan pemandangan lebih didominasi oleh warna putih biru daripada putih abu-abu –siswa baru diwajibkan memakai seragam putih biru selama belum resmi dilantik oleh Kepala Sekolah, termasuk hari Jumat dan Sabtu.
Adlan beranjak ke masjid Baitul Alim –masjid Smansawi- untuk sholat duha. Pikirnya, jika hanya berkenalan dengan teman-teman kelas atau ngobrol  dengan mereka untuk mengakrabkan diri bisa dilakukan nanti. Tapi sholat duha? Kalau tidak dikerjakan sekarang lalu kapan? Bisa jadi tidak ada waktu dan kesempatan lagi setelah ini.
Adlan memang terdidik sejak kecil untuk selalu continuously dalam mengerjakan sholat sunah ini. Selalu melekat betul pesan Umi dalam hatinya. Saat usianya enam tahun, ketika Umi mengajarkan cara sholat duha kepadanya untuk pertama kali, Umi bilang,
“Adlan, di dalam tubuh kita ini ada banyak sekali sendi dan urat saraf yang kesemuanya itu Allah tundukkan untuk kita agar kita bisa bergerak dengan leluasa. Dengan itu, kamu bisa berlarian sesuka hati, loncat-loncatan, dan semuanya. Seandainya ada satu saraf saja yang tidak berfungsi dengan normal, pasti tubuh kitapun akan ikut bermasalah. Bahkan bisa jadi kita malah kena struk, seperti Mang Jojo.”
Adlan mengernyitkan alis, ngeri.
“Iih, serem, Mi. Adlan tidak mau seperti Mang Jojo.” Katanya polos. Ia membayangkan keadaan Mang Jojo yang tempo hari ia jenguk. Tak bisa apa-apa, tak berdaya dan hanya bisa berbaring di atas ranjang. Satu-satunya anggota tubuh yang masih bisa digerakkan hanya matanya.
“Makanya Adlan yang rajin sholat duha. Karena kata RasuluLlah, dua rokaat duha itu merupakan bentuk syukur kita kepada Allah atas semua saraf dan persendian di tubuh kita yang masih berfungsi normal[1]. Maka dengan mensyukuri saraf dan persendian kita itu, Allah tidak akan membiarkan hal-hal buruk menimpanya. Allah lah yang akan menjaganya untuk kita.”
Di teras masjid, saat Adlan sedang melepas sepatu, Aisyah lewat di depannya. Berjalan bersama Nisa dan dua temannya yang lain. Mereka menuju pintu di bagian kiri masjid, pintu khusus perempuan. Adlan terpaku saat Aisyah melontarkan senyum kepadanya. Dia hanya diam membatu. Bibirnya seolah membeku meski hanya untuk membalas senyum Aisyah. Jantungnya terpompa sangat cepat. Mukanya memerah. Dia cuma melontarkan pandangan datar sebagai balas senyuman tadi.
Sementara Aisyah yang senyumnya tak direspon merasa aneh. Mungkin Adlan lupa denganku, pikirnya. Padahal yang terjadi adalah sebaliknya. Jangankan lupa, untuk mengusir bayangannya saja dia butuh waktu berjam-jam sampai akhirnya lelap menolongnya. Bayangannyalah yang paling jelas terproyeksi dalam kepala Adlan seharian kemarin.
Adlan masuk ke dalam masjid. Dia tak perlu mengambil wudu lagi karena wudu yang diambil saat di rumah belum batal. Ia memakai peci putih berbahan kain yang ia simpan di saku celananya. Tanpa harus memakai sarung –karena celana panjang yang ia kenakan sudah cukup untuk menutup auratnya- ia pun bertakbir. Allaahu akbar.
Di waktu yang hampir bersamaan, Aisyah yang baru selesai memakai mukena putih pun memulai takbirnya. Dia berdiri tepat di sebelah kiri Adlan. Mereka sholat bersama, ruku’ bersama, dan sujud pun bersama, seolah gerakan mereka adalah satu kesatuan. Meski satir tirai membatasi tubuh keduanya, namun jiwa mereka sebenarnya sedang menyatu, menghinakan diri menghadap Dzat Yang Maha Satu.
Di rokaat kedua, Adlan teringat kejadian semalam. Saat suara tangis Umi terisak berlatar suara rintik hujan di luar rumah. Ia tak kuasa mencegah air matanya untuk berlinang deras. Mengalir melalui garis tepi hidungnya dan bermuara di dagu, lalu dari muara itulah tetesan-tetesan air matanya berjatuhan ke lantai masjid.
Di sisi kiri satir, Aisyah pun ternyata sedang tenggelam dalam tangis yang tak kalah memilukan. Tersirat di wajahnya sebuah pengaduan mendalam atas masalah yang sedang ia pikul. Masalah yang hanya bisa ia adukan kepada Tuhannya, masalah yang sampai saat ini hanya bisa ia pendam sendiri, masalah yang begitu sulit dan rumit untuk bisa ditemukan jalan keluarnya. Ketika bersujud air matanya berkumpul, meluap, kemudian pecah ke lantai.
Aisyah memasrahkan diri sepenuhnya kepada Dzat yang ia persembahkan sujudnya itu. Berharap, semoga suatu saat nanti akan ada jalan keluar yang indah untuk masalahnya. Jalan keluar yang ia yakini telah Allah persiapkan sebagai hadiah terindah untuknya, hanya  saja Dia menunggu saat yang istimewa untuk memberikan hadiahNya yang sangat istimewa itu.
Mereka berdua terus tenggelam dalam pengaduan, ketidak berdayaan, dan penyerahan diri secara total kepada Tuhannya. Mengakui betapa lemah diri mereka di hadapan kekuatan Allah, betapa hina diri mereka di hadapan kemuliaan Allah, betapa faqir diri mereka di hadapan kekayaan Allah, dan betapa mereka seperti pengemis yang meminta-minta di depan pintu kasih sayang Allah, menengadahkan tangan, merengek-rengek, berharap mendapatkan pertolongan saat mereka tertimpa masalah seperti ini. Air mata mereka terus menetes, menguntai seperti untaian permata, sampai akhirnya mereka pun mengahiri kemesraan dalam penghambaan tersebut dengan salam.
@@@@
Masih dua puluh menit lagi lonceng tanda masuk baru akan dibunyikan. Adlan pergi ke kantin sekolah untuk membasahi tenggorokannya dengan segelas es teh. Sesampainya di kantin yang terletak tepat di samping masjid, Adlan memesan es teh di tempat pelayanan.
Hanya ada lima orang pengunjung di situ. Dia memilih tempat duduk di dekat jalan masuk kantin. Di kantin tersebut ada sembilan meja panjang. Masing-masing meja dilengkapi dua bangku panjang yang mengapit sebagai pendampingnya, memungkinkan dua belas  orang untuk  makan bersama, duduk saling berhadapan enam-enam.
Tak lama kemudian, Aisyah dan teman-temannya pergi ke kantin. Saat itu Adlanlah yang memulai sapaannya, dengan senyuman. Dia sudah mampu menguasai dirinya ketika melihat Aisyah, tidak seperti  saat di teras masjid tadi. Aisyah membalasnya dengan senyuman pula. Manis. Bahkan lebih manis dari es Teh Poci yang sedang Ia nikmati.
Dari tempat duduknya, Adlan mengamati Aisyah yang sedang memesan di tempat pelayanan. Dia memesan es jeruk. Usai memesan Aisyah berjalan ke arah Adlan. Adlan segera memalingkan wajahnya. Jantungnya berdisco.
Jangan-jangan dia mau duduk disini, Adlan menerka. Dia pura-pura sibuk dengan gelas tehnya yang tinggal separuh.
“Hei, boleh duduk di sini?” Aisyah menaruh es jeruknya di depan Adlan.
Adlan mengangguk. Aisyah duduk di bangku di depan Adlan. Berhadapan.
“Masih ingat denganku?” Aisyah membuka percakapan.
Adlan tak menyangka Aisyah sesupel itu, bahkan dengan lawan jenis yang baru ia kenal.
“Aisyah kan? Yang kemarin loncat-loncat kegirangan karena dapat peringkat dua?” Jawab Adlan mengakrabkan diri. Dia berusaha untuk lebih banyak menundukkan pandangan saat itu.[2]
“Ah, tapi kamu jauh lebih hebat, Adlan Dzul Izzi kan? Nilaimu terpaut jauh di atasku.” Lalu menyedot es jeruknya.
“Kalau tidak salah, tadi kamu bilang  dari SMP dua Semarang bukan? Kenapa  meneruskan sekolah di sini?”
“Papaku dipindah tugaskan ke Brebes untuk mengurus proyek perusahaannya, lalu aku disuruh sekolah disini sama Mama.”
“Proyek? Proyek  apa kalau boleh tahu?”
“Proyek pembangunan hotel.”
“Oh, jadi Papamu arsitek?”
“Emm, lebih tepatnya dia itu wakil direktur. Papa dipercaya atasannya untuk mengurus proyek ini sampai selesai. Jadi,  mau tidak mau sekeluarga pun ikut pindah ke Brebes.” Jelas Aisyah.
“Oo, wakil direktur. O iya, Nisa itu saudarimu yah?”
“Bukan. Dia tetanggaku di rumah yang baru aku tempati. Cuma dia yang aku kenal, jadi kemana-mana kami bersama. O iya, kamu tinggal di mana? Surokidul yah? Di mana itu?”
“Kamu benar-benar masih baru  di sini, yah?” Adlan balik bertanya.
“Iya, baru dua minggu.”
“Pantas saja, desa tetangga saja tidak tahu. Surokidul itu desa di selatan Jatibarang tempat tinggalmu, Aisyah.”
“Oh, hehe.. Ternyata tetangga. Berarti kita pulangnya searah dong?”
“Yaa begitulah.” Adlan kemudian menyedot habis sisa es tehnya.
Nisa dan kedua temannya telah selesai minum. Mereka mengajak Aisyah untuk kembali ke kelas.
“Aku ke kelas dulu yah.” Aisyah berpamit.
“Iya, silahkan.” Jawab Adlan sambil mengaduk-aduk es batu yang tersisa di gelasnya.
Aisyah berjalan ke kelas bersama ketiga temannya. Adlan menatap punggung mereka yang semakin menjauh, hingga akhirnya hilang di balik bangunan kelas.
@@@@
“Kamu kok bisa langsung akrab sama dia sih? Padahal baru ketemu kemarin kan?” Tanya Nisa.
“Emm, entahlah, aku juga bingung. Biasanya aku tak semudah itu supel sama orang yang baru kukenal, apa lagi sama laki-laki. Aku cuma merasa kalau dia berbeda, tidak seperti kebanyakan anak laki-laki lainnya.” Jawab Aisyah enteng.
“Jangan-jangan kamu suka sama dia yah?” Salma, salah satu temannya menggoda.
”Suka? Mana mungkin, Salma, orang aku juga baru kenal tadi kok.” Tepis Aisyah.
“Ya kan bisa saja, Aisyah, cinta pandangan pertama.” Ledek Melani, temannya yang satu lagi.
“Ih, apaan sih kamu. Jangan ngaco deh!” Muka Aisyah memerah.
Mereka tertawa melihat Aisyah yang jadi salah tingkah. Sambil berjalan, mereka masih  terus menggoda Aisyah, tertawa melihat Aisyah yang terpojok. Nisa hanya tersenyum ringan melihat temannya itu tak berkutik.
Sesampainya di kelas, mereka baru berhenti meledek, langsung sibuk dengan tema pembicaraan yang lain, mode. Ketika sedang asyik ngobrol, tiba-tiba wajah Aisyah nampak cemas. Tangannya merogoh ke dalam saku roknya.  Ada yang hilang. Nisa yang menyadari perubahan raut wajah temannya itu bertanya,
“Ada apa, Syah? Dompetmu hilang?”
“Tidak, Nis. Tidak ada apa-apa, dompetku di tas kok, masih ada.” Dengan ekspresi sebiasa mungkin, mencoba menutup-nutupi sesuatu.
@@@@
Di perjalanan menuju kelas, Adlan melihat sapu tangan biru tergeletak di atas paving. Awalnya dia tidak peduli, lewat begitu saja. Namun saat melihat sekilas huruf yang terbordir di salah satu ujung sapu tangan, A.Z, ia pun curiga. Jangan janga itu milik Aisyah az-Zahra. Dia lalu mengambilnya. Pikirnya, kalau itu milik perempuan pasti wangi, kalau tidak, ya berarti bukan. Adlan lalu menciumnya.
“Anyir darah?”
Adlan segera membuka lipatan sapu tangan tersebut. Ada bercak darah yang belum terlalu kering. Sepertinya memang sengaja disembunyikan oleh pemilik sapu tangan dengan melipatnya, menyembunyikannya di bagian dalam lipatan.
“Akan aku tanyakan ke Aisyah nanti.” Kata Adlan dalam hati.
@@@@
Jam 14.30 Adlan baru sampai di rumah. Adlan belum sempat menanyakan sapu tangan tersebut kepada Aisyah. Tadi saat tiba di kelas, ternyata wali kelasnya, Pak Agus Prodo, sudah berada di sana, sedang mengabsen satu persatu para murid barunya. Dia pun menunda untuk menanyakannya. Mungkin nanti, setelah lonceng tanda berakhirnya kegiatan berbunyi. Namun ketika lonceng berbunyi, Waiz, wakil ketua regunya, meminta pembagian tugas ulang. Dia bilang ada salah satu anggota kelompoknya yang keberatan membawa tongkat regu.
Selesai membagi ulang tugas anggota regunya, Adlan mencari-cari Aisyah. Lagi-lagi niatnya untuk bertanya perihal sapu tangan berdarah itu gagal lagi. Salma memberitahu kalau Aisyah sudah pulang dengan Nisa lima belas menit yang lalu. Menilik tak ada yang perlu dikerjakan lagi ia pun langsung pulang.
Melihat langit mendung yang sepertinya akan segera menurunkan milyaran pasukan airnya, sesampainya di rumah, Adlan langsung memasukkan bebek-nya ke kandang. Umi sedang istirahat siang, begitu pula Fadli, sedangkan Abah seperti biasanya pulang agak sore. Adlan pergi ke kamarnya, mengganti seragam putih birunya dengan pakaian santai.
Dia lebih memilih untuk membuka laptopnya dari pada istirahat siang. Dia ingin mengasah kemampuan jari jemarinya menari di atas keyboard Qwerty laptopnya. Ia memiliki pemahaman bahwa kemampuan mengetik merupakan keharusan baginya demi mendukung cita-citanya sebagai penulis. Sebagaimana nasihat yang pernah dia dengar dari guru ngajinya, Kyai Hadi,
“Para ulama pejuang islam terdahulu, meskipun mereka piawai dalam berpidato, menyuarakan dakwah di atas mimbar melalui lisan mereka, namun mereka justru lebih terfokus untuk menggoreskan ajaran-ajaran dakwah mereka dengan tinta dan kertas. Mereka paham, jika dengan lisan, peluru dakwah mereka hanya bisa menembus kepala-kepala manusia dengan jumlah yang sedikit, belum lagi terbatas oleh jatah umur mereka. Jika mereka mati, maka lisan mereka pun akan ikut mati. Namun dengan tulisan? Peluru dakwah mereka akan menembus jauh lebih banyak kepala manusia, yang lebih hebatnya lagi peluru tersebut akan terus melesat meski mereka telah tiada.”[3]
@@@@
“Terimakasih atas tumpangannya yah, Syah?” Nisa turun dari Alphard putih milik orang tua Aisyah.
“Iya, sama-sama , Nis.” Aisyah melontarkan senyum manisnya yang has.
“Ayo jalan, Pak Udin!” perintah Aisyah kepada sopir pribadi keluarganya itu.
Mobil lalu berjalan melewati tiga rumah elit untuk kemudian berhenti di depan sebuah rumah berlantai dua. Bangunannya megah. Klakson mobil dibunyikan. Dari dalam, keluar seorang laki-laki berpakaian security membuka pintu gerbang rumah yang nampak begitu artistik. Mobil pun masuk dan berhenti di halaman rumah yang cukup luas. Komplek perumahan mewah itu sebenarnya milik perusahaan di mana ayah Aisyah bekerja. Jadi tidak heran, meski baru pindah dari kota yang jauh, Aisyah sekeluarga –beserta pembantu dan sopir- bisa langsung berteduh di istana mewah yang dilengkapi sarana dan prasarana serba lux itu.
“Assalamualaikum, Mah. Aisyah pulang.” Aisyah masuk ke dalam rumah.
Seorang wanita paruh baya keluar dari ruang belakang. Tangan kanannya menggenggam sapu, sedangkan tangan kirinya memegang serok sampah.
“Ibu sedang pergi ke Tegal kota, Non.” Katanya.
“Ngapain, Bi Hafsah?”
“Katanya mau cari tas sama baju, sekalian bertemu dengan teman lama yang kabarnya mau bermitra membuka butik baru di Tegal.”
“Astaghfirullah, belanja lagi? Butik lagi? Huh! Kapan punya waktu di rumah? Belanja, butik, salon, arisan, kumpul-kumpul di restoran dengan teman-temannya yang tak jelas, tidak di semarang, tidak di sini, sama saja! Kapan Mama punya waktu untuk Aisyah sih, Bi?”
“Jangan begitu, Non. Itu ibu Non Aisyah sendiri. Nanti kualat loh.”
“Iya sih, Bi, tapi... Uuh! Sebal! Untung ada Bi Hafsah. Kalau tidak, mungkin Aisyah sudah bunuh diri sejak dulu gara-gara tak diperhatikan.”
“Aduh-aduh Non, kok omongannya seperti itu sih? Pamali tau. Lebih baik Non Aisyah ganti baju saja dulu, Bibi sudah buatkan steak sapi kesukaan Non. Pasti Non Aisyah belum makan kan?”
“Iya, belum. Makasih yah, Bi. Kita makan bareng lagi yah! Aisyah ganti baju dulu. Bi Hafsah tunggu di meja makan!”
Aisyah lalu beranjak ke kamarnya di lantai dua. Sementara Bi Hafsah menyiapkan hidangan di meja makan. Sepuluh menit kemudian Aisyah turun dengan pakaian santainya. Menghampiri Bi Hafsah yang masih sibuk menata makanan di meja makan yang berbentuk oval memanjang. Aisyah duduk persis di samping Bi Hafsah.
“Bi, Aisyah jadi ketua regu loh.”
“Ketua regu apa, Non?” Sambil mengambilkan nasi untuk Aisyah.
“Regu MOS, Bi.”
“MOS? Apaan itu Non?”
“Aduh, masa MOS saja tak tahu sih? MOS itu Masa Orientasi Siswa, Bibi.” Aisyah gemas.
“Hehe, Bibi kan cuma lulusan SR, Non. Jadi tidak tahu mos mos-an kayak gitu.” Menaruh nasi di depan Aisyah.
“Yaah, gak asik ah! Tapi tak apa, akan Aisyah jelaskan apa itu MOS.”
Sambil menyantap makan siang, mereka berdua saling bercerita. Ngobrol ngalor ngidul dengan penuh keakraban. Sesekali mereka tertawa lepas saat ada cerita yang lucu.
Uhuk.. Uhuk,..!!
Tiba-tiba Aisyah batuk. Ia menutup mulutnya dengan tangan kanan.
“Astaghfirullah, Non. Tersedak yah? Ini, minum dulu, Non!” Dengan cemas Bi Hafsah menyodorkan air putih kepada Aisyah.
Ketika Aisyah membuka tangan, darah telah mewarnai putih telapak tangannya.
“InnaLillahi, Non! Keluar darah lagi. Sebentar, Bibi ambilkan obatnya dulu.” Bi Hafsah berlari ke kamar Aisyah, mengambil obat.
Sejurus kemudian Bi Hafsah kembali dengan membawa botol obat berwarna cokelat gelap.
“Ini obatnya, Non.” Menyerahkan botol tersebut.
Aisyah membuka tutup botolnya. Mengeluarkan dua pil bundar berwarna putih. Sesaat ketika hendak memasukkan pil itu ke mulut, Aisyah batuk lagi. Darah muncrat dari mulutnya, mengenai nasi dan steak sapi yang sedang menjadi santapannya. Bi Hafsah mengambil beberapa lembar tisu di tengah meja makan. Mengelap mulut dan tangan Aisyah. Aisyah mengambil gelas air putih lalu segera menelan dua pil tadi dengan bantuan beberapa teguk air.
“Non, kenapa tidak bilang sama Bapak ibu saja biar cepat diobati? Sepertinya penyakit Non semakin parah.”
“Tidak usah, Bi, biar Aisyah tahan saja. Tidak terlalu parah juga. Paling satu jam lagi sakit di dada Aisyah hilang. Biasanya juga begitu kan?”
“Iya sih, Non. Tapi Bibi khawatir. Bibi takut Non Aisyah kenapa-kenapa. Lagian Bapak sama Ibu kan juga orang tua Non, masa mereka tidak boleh tahu keadaan Non sih?”
“Aisyah tak akan kenapa-kenapa, Bi Hafsah. Papa sama Mama tidak perlu tahu, nanti kerjaan Papa terganggu, juga kesenangan mama terusik. Kan kata Bi Hafsah RidhoLlah fi Ridhol walidayn[4], Ridhonya Allah ada pada keridhoan orang tua. Kalau Aisyah cerita keadaan Aisyah yang sebenarnya, terus malah menambah beban Mama sama Papa, apakah Allah akan ridho sama anak yang membuat orang tuanya susah seperti Aisyah? Lagian kan ada Bi Hafsah yang selalu ada kapanpun Aisyah butuh. Jadi, everything’s gonna be oke Bi Hafsah.” Aisyah melontar senyum manisnya yang has.
“Artinya apaan, Non?” Tanya Bi Hafsah polos.
“Artinya, semuanya akan baik-baik saja, Bibi.”
“Ooh, epret-epretin gona bi oke artinya semua akan baik-baik saja. Bibi baru tahu Non, hehe.” Bi Hafsah meneyeringis.
“Everything Bibi, bukan epret-epretin.” Aisyah gemes.
“Iyalah maksudnya itu.” Bi Hafsah tak mau kalah.
Aisyah tersenyum. Dia lalu mengambil gelas air putih, meneguknya tiga kali.
“Bi, Aisyah ke kamar dulu, mau tidur. Nanti kalau Bi Hafsah mau sholat asar bangunkan Aisyah yah? Kita sholat berjamaah lagi.”
“Iya Non. Eh iya! Non Aisyah sudah sholat zuhur?”
“Sudah, Bi. Tadi di sekolah sebelum Aisyah pulang. Thank’s steaknya yah, Bi Hafsah. Rasanya uuwwennnak tenan.”
“Hehe, iya Non. Sama-sama.”
Aisyah kemudian beranjak ke kamarnya. Sementara Bi Hafsah membereskan meja makan, membersihkan darah yang juga menyiprat ke beberapa bagian meja.
@@@@



[1]Nashoih addiniyyah, halaman 134-135.
[2]Fathul Qorib al Mujib fi Alfaaz At Taqrib, halaman 101, di situ dijelaskan keharaman melihat lawan jenis (yang bukan mahrom) meskipun lawan jenis itu sudah tua dan tidak mengundang syahwat. Lihat juga di Fawaid al mukhtaroh, Bab Dzammul harom, halaman 334.
[3]Terinspirasi dari kalimat Ahmad Fuadi, penulis Trilogi Negeri Lima Menara, saat mengisi sebuah seminar  kepenulisan di SMA N 1 Slawi
[4]Maktabah Syamilah, kitab Subulussalam, juz 4, hal 164.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagian Kedua

PEMESANAN 082322504931