“Aisyah, aku peringkat
lima belas!!”
“Iya, Nisa, aku peringkat dua!!!”
…..
“Allaahu akbar Allaahu akbar…”
Suara azan kedua sholat jumat memecah
lamunan Adlan. Ia duduk di shaf kedua, tepat di bawah kipas angin. Sudah
sekitar sepuluh menit dia menonton bayangan kejadian di aula Smansawi tadi
pagi. Entah kenapa tiba-tiba saja bayangan itu datang, merangsek masuk ke dalam
kepala Adlan tanpa permisi.
Aisyah, gadis berambut panjang sepunggung
itu ternyata telah menarik perhatian Adlan. Wajah oval Aisyah benar-benar
mendominasi otaknya hari itu. Begitu jelas, lebih jelas dari semua bayangan
kejadian selama seminggu. Berkali-kali
ia coba mengusirnya sejak lima menit terakhir setelah niat i’tikaf, tapi sia-sia, wajahnya muncul
lagi dan lagi. Hidung mancungnya, belah dagunya, kulitnya yang putih bersih
seperti gadis Jepang. Matanya cokelat indah, lesung pipit di kedua pipinya
begitu memesona, dan, gigi gingsulnya menambah rasa manis bagi setiap
pasang mata yang memandangnya saat tersenyum.
Khotib sudah memulai khotbahnya sejak
lima menit lalu. Orang yang duduk di samping Adlan merasa aneh melihatnya dari
tadi senyum-senyum sendiri, padahal khotib sedang membicarakan azab neraka.
Hingga iqomat dikumandangkan Adlan masih duduk melamun, tersenyum-senyum. Ia
baru tersadar ketika orang di sampingnya menepuk pundaknya. Menyadari
orang-orang sudah berdiri semua, bersiap untuk takbirotul ihrom, dan hanya dia
seorang yang masih duduk, spontan ia pun berdiri.
“Allaahu akbar..”
Suara imam memulai kepemimpinannya
dalam sholat jumat hari itu. Adlan bersama jamaah lain mengikuti. Adlan tidak
bisa khusyu. Seperti beberapa menit sebelumnya, bayangan Aisyah muncul lagi
seolah tertempel lekat dengan Alteco di dalam otaknya. Tak bisa dilepaskan.
Sebubarnya dari masjid Adlan tidak
langsung pulang. Usai mendirikan dua rokaat ba’diyah ia merebahkan badannya di
lantai masjid. Pandangan matanya terlontar ke atas. Kipas angin mulai berderap
pelan. Ta’mir masjid mematikan semua kipas karena hanya tersisa beberapa jamaah
saja di sana. Ada yang masih sholat
sunah, ada yang rebahan di lantai –salah
satunya Adlan-, dan beberapa malah asik ngobrol kesana-kemari. Padahal di
beberapa tiang dan dinding masjid tertulis jelas dengan huruf kapital,
BERBICARA DI DALAM MASJID
BISA MENGHABISKAN PAHALA KEBAIKAN SEBAGAIMANA API MELAHAP KAYU-KAYU BAKAR
(AL HADITS)[1]
Aisyah, nama yang indah seperti yang
menyandangnya.
Adlan melamun sambil tersenyum.
Ah! Kenapa dengan otakku ini? Tak seperti
biasanya liar tak terkendali. Apa jangan-jangan ini pengaruh dua puluh tusuk
sate yang aku makan tadi? Aku overdosis? Tapi masa ada overdosis gara-gara
makan sate? Atau mungkin aku mulai gila? Jangan-jangan ada salah satu saraf
otakku yang konslet gara-gara kemarin aku paksa untuk berpikir keras selama dua
jam non stop?
Adlan mencoba menepis bayangan Aisyah
begitu keras. Tapi semakin keras tepisannya malah semakin jelas bayangannya.
Ada apa dengan Adlan? Apakah benar dia
overdosis sate? Atau hipotesis tentang sarafnya yang konslet itulah yang benar?
Bukan, bukan karena itu semua ataupun karena alasan-alasan yang lain. Orang
normal pasti paham apa yang sedang menimpa Adlan, hal terindah yang juga
terkadang sangat menyakitkan, perasaan over bahagia yang membuat udara di
sekitar seolah berubah warna. Ya, Adlan sedang terjangkit virus yang cukup
membahayakan, terutama bagi jiwa dan perasaannya. Itulah virus merah jambu. Dia
jatuh cinta.
Adlan memutuskan untuk beranjak pulang, berharap bayangan Aisyah
akan segera hilang dengan tidur siang. Jarak antara masjid dan rumahnya
hanya 300 meter kurang lebihnya, ia
pulang jalan kaki. Selain untuk menghemat bensin motornya, juga karena setiap
langkah kaki yang ia hentakkan, baik saat berangkat maupun pulang dari masjid,
kelak akan menjadi poin-poin pahala yang sangat besar di akhirat. Di samping
itu, menurut apa yang ia dengar dari Kyai Hadi, guru ngajinya, setiap tempat
yang ia lewati saat berangkat dan pulang dari masjid akan menjadi saksi atas
amal kebaikan yang dia kerjakan[2].
Karena itulah Adlan memilih jalan yang berbeda dengan yang ditempuhnya saat
berangkat, agar saksi atas semua amal baiknya hari itu semakin banyak.
Betapa bangganya kelak saat
batu-batuan, tanah, jalanan, pepohonan, tembok-tembok perumahan, semut-semut,
dan semua yang dilewatinya itu menjadi saksi atas amal baiknya di masa yang
setiap orang tak mampu lagi bersaksi atas dirinya sendiri, semua mulut terkunci rapat, mengharapkan
kesaksian-kesaksian dari yang lain untuk memberatkan timbangan amal
kebaikannya.
Beruntung hari itu langit sedang
mendung. Alam memanjakannya. Awan-awan hitam itu melindunginya dari sengat matahari siang yang tak bersahabat.
Adlan tak perlu lagi menutupi kepala dan pundaknya dengan sajadah hijau yang ia
bawa seperti yang dilakukannya dua jumat lalu.
Sesampainya di rumah, Adlan langsung
menuju ke kamar, tempat di mana kasur dan bantal gulingnya telah setia
menunggu. Ia melepas baju takwa dan peci putihnya lalu ia gantung di kastok
belakang pintu kamarnya, sedangkan sajadahnya ia taruh di atas meja belajar. Dengan kaos dalam dan sarung yang
masih melekat di badan Adlan melemparkan diri ke kasur, berbaring nyaman. Ia menarik
nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Dua setengah menit matanya mulai
terpejam. Ia menyetop lintasan-lintasan liar di kepalanya. Setelah kurang lebih
setengah jam ia bertempur melawan bayangan Aisyah yang lagi-lagi menggempur
isi kepalanya tanpa henti, akhirnya
bayangan itu pun kalah, melarikan diri, pergi bersama perginya kesadaran Adlan.
Ia tertidur lelap.
@@@@
“Adlan! Sudah jam setengah lima. Sholat
asar dulu!” Teriak Umi dari dapur, sedang memasak tumis kangkung untuk makan
malam.
Adlan bangun dari tidurnya, mengucek
matanya yang masih terpicing satu. Ia melihat jam dinding yang tertempel di
tembok kamarnya. Jam empat lewat dua puluh lima. Ia beranjak ke kamar mandi. Jalannya
sempoyongan ngantuk saat melewati ruang tengah. Begitu sampai di ruang
belakang, ternyata Abah sudah pulang, sedang makan dengan sate ayam sebagai
pendamping nasi. Fadli juga sedang makan, duduk di kursi sebelah kiri Abah. Dia
terlihat begitu lahap melibas makanannya.
“Abah, sudah pulang?” Adlan mencium
tangan Abah.
“Iya, Adlan. Tadi sampai rumah jam
empat. Oh iya, Abah belikan sesuatu buat kamu.” Kata Abah. Menyendok nasi, siap
diluncurkan ke mulut.
“ Fadli juga dibelikan kan, Bah?”
Celetuk Fadli merasa iri. Mulutnya penuh. Matanya membesar, memelas. Wajah
lucunya benar-benar menggemaskan.
“Iya, Fadli juga Abah belikan sesuatu.”
Jawab Abah menenangkan.
“Dibelikan apa, bah?” Tanya Adlan makin
penasaran.
“Kamu sholat asar saja dulu sama Fadli,
dia juga belum sholat, baru pulang main. Kalau kalian sudah selesai baru Abah
kasih tahu.”
Jawaban Abah membuat level penasaran
Adlan dan Fadli semakin tinggi. Adlan lalu pergi ke kamar mandi untuk berwudu.
Fadli membuntutinya.
“Fadli, habiskan dulu makanannya!” Seru
Abah kepada anak bungsunya yang tiba-tiba loncat dari kursi makan, meninggalkan
tiga tusuk sate dan nasi yang tinggal beberapa suap lagi.
“Fadli sudah kenyang, Bah.” Jawabnya
singkat, alih-alih ingin cepat-cepat melihat apa yang dibelikan Abah untuknya.
Di kamar mandi, bukannya cepat-cepat
berwudu, Fadli malah memulai perang air dengan kakaknya. Adlan yang sedang
membasuh muka tiba-tiba disemprot dengan shower,
“Serangan monster gurita..!!” Teriak
Fadli.
Adlan menghentikan ritual wudunya.
Mengambil canting di sampingnya,
“Semburan naga aiirr..!!” Dengan sigap
menyirami adiknya itu dengan air yang ada di kolam.
Sepuluh menit kemudian Adlan dan Fadli
keluar dari kamar mandi. Tidak hanya anggota wudu mereka yang basah, namun
sekujur tubuh mereka pun kuyup. Air
menetes deras dari ujung-ujung baju yang mereka kenakan. Mereka tertawa
riang seolah telah memenangkan sebuah pertempuran besar. Keduanya berlarian ke
ruang sholat yang terletak di ruang tengah. Lantai pun basah akibat ulah dua
kakak beradik itu.
“Adlan! Fadli! Kalian main air lagi
yah?” Teriak Umi yang masih sibuk di dapur.
“Dasar anak-anak. Berkali-kali dilarang
malah tambah semangat main airnya. Huh!” Umi menggerutu kesal.
Setelah mengganti pakaian yang basah,
Adlan dan Fadli menunaikan sholat asar berjamaah. Seusai sholat mereka menyempatkan membaca beberapa
wirid dan doa.
“Fadli, jangan lupa doa birrul
walidainnya!” Adlan mengingatkan.
“Iya, kak.” Fadli mengangkat kedua
tangannya, menengadah.
“Bismillaahirrohmaanirrohiim,
Robbighfirli wa liwaalidayya warham humaa kamaa robbayaani shoghiro, amin.”[3]
Lalu mengusapkan kedua telapak tangannya ke muka.
Usai menata pakaian sholat mereka
menuju ke tempat makan. Abah sudah tidak di situ, kata Umi sedang ke tokonya
Ustadz Kholis, membeli makanan ikan. Akhirnya mereka memutuskan untuk menonton
TV dulu sambil menunggu Abah datang. Acara televisi yang langsung mereka
sepakati bersama, Naruto Shippuden.
Setelah dua puluh menit Adlan dan Fadli
menonton Naruto di ruang keluarga, Abah datang. Tangan kanannya memegang
kantong plastik warna ungu ukuran sedang. Ada tulisannya, Wijaya Komputer
Tegal. Sementara tangan kirinya menenteng kantong plastik biru bertulis ADINDA
TOYS. Dari dua nama tersebut Adlan sudah bisa menyimpulkan isi dari kedua kantong plastik itu.
“Ini untuk Adlan,” memberikan kantong
plastik yang di tangan kanan. Adlan menerimanya.
“Dan ini untuk Fadli.” Memberikan yang
di tangan kiri.
Fadli langsung menyambar. Abah lalu duduk
di sofa, di tengah-tengah antara Adlan dan Fadli. Dengan buasnya Fadli langsung
membuka isi kantong plastik itu,
“Mobil remot kontrol!” Teriaknya
kegirangan.
Seketika itu Fadli memeluk Abah, bilang
terimakasih, Abah, lalu membuka kotak wadahnya.
“Terimakasih yah, bah.” Kata Adlan,
tersenyum senang. Tersirat di wajahnya rasa terimakasih yang sangat dalam.
“Iya, sama-sama. Tidak mau dicoba
sekarang laptopnya?”
“Tanggung maghrib, Bah. Nanti Adlan
malah keterusan.” Jawabnya.
“Maafkan Abah yah, padahal Abah sudah
menjanjikannya sejak kamu masuk SMP, tapi Abah baru bisa membelikanmu
sekarang.”
Adlan memeluk Abah, bilang kepadanya,
“Tak apa, Bah. Ini lebih dari cukup.”
Air matanya lalu mengalir.
Adlan sudah cukup dewasa –meski
kekanakanakannya lebih kental, apalagi saat bersama Fadli- untuk memahami
keadaan ekonomi keluarga. Dia tahu, meski Abah bekerja sebagai PNS dengan gaji
hampir lima juta rupiah perbulan, namun kebutuhan keluarganya juga lumayan
besar. Biaya listrik, biaya air, biaya bensin untuk dua motor –terlebih jarak
antara rumah dengan kantor tempat Abah ditugaskan terpaut jauh, 60 Km-, biaya
sekolahnya dan Fadli, biaya pangan, dan lain lain. Dan yang paling besar adalah
untuk melunasi hutang.
Ya, Abah pernah berhutang kepada bank
dengan nominal yang cukup besar. Abah melakukannya ketika sudah tak punya uang
lagi untuk biaya operasi usus buntu Umi plus perawatannya. Itu terjadi saat
Adlan kelas satu SMP. Pikirnya, pasti untuk membeli laptop, Abah harus rela
mengurangi jatah gajinya lagi untuk mengangsur.
Begitu besar pengorbanan dan kasih
sayang Abah dan Umi yang terus menerus tercurah ikhlas untuknya. Dia berpikir,
kelak dia harus membalas semuanya itu. Namun sejenak dia tersadar, sebesar
apapun pengorbanan dan balas budi yang ia lakukan untuk Abah dan Umi, itu semua
tak akan pernah bisa membalas apa yang telah Abah dan Umi berikan padanya,
walau hanya seujung kuku.[4]
@@@@
[1]Nashoihuddiniyyah, imam AbduLlah al Haddad, halaman 217, juga
di Fawaidul Mukhtaroh, al Habib Ali Hasan Baharun, halaman 147.
[2]Dalam
kitab Musytamil ‘ala Arba’ Rosail halaman 5 diterangkan bahwa setiap
tempat baik itu tanah, lantai, atau segala sesuatu yang dijadikan tempat sujud
(secara globalnya digunakan untuk beribadah) akan menjadi saksi baginya di hari
kiamat. Sedangkan segala sesuatu yang menyampaikan seseorang pada perbuatan
yang bernilai ibadah adalah ibadah. Termasuk berjalan ke tempat ibadah, itu
juga ibadah, dan semua benda yang dilewatinya dalam perjalanan itu akan
bersaksi untuknya di hari kiamat.
[3]BismiLlahirrahmanirrahim,
wahai Tuhanku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku, dan sayangilah mereka
berdua sebagaimana mereka telah menyayangiku saat aku masih kecil.
[4]Maktabah
Syamilah, Kitab Sunan Ibnu Majjah, juz 3, halaman 392. Al kisah ada seorang
laki-laki datang kepada Rasulullah saw mengadukan ayahnya yang telah mencuri
uang miliknya. Si ayah pun dipanggil. Ketika ditanya, sang Ayah pun mengakuinya.
Dia terpaksa mengambil uang anaknya itu untuk menafkahi keluarganya. Lalu
malaikat Jibril dating kepada Rasulullah, menyuruh beliau untuk mengatakan
kepada Sang Ayah agar dia mengungkapkan semua yang ia pendam di dalam hatinya
selama ini. Maka Si Ayah pun berkata kepada anaknya, “dulu ketika kamu masih
bayi, saat kamu menangis, aku rela meninggalkan kesibukanku untuk
menenangkanmu. Ketika kamu demam, aku rela begadang untuk menjagamu, mencari
pinjaman ke sana dan ke mari untuk mengobatimu. Saat kamu kedinginan, aku
relakan selimutku untuk melindungi tubuhmu, aku melakukan semuanya demi
kebahagiaanmu. Dan kini setelah Kamu besar, kamu berbuat seperti ini kepadaku.
Apabila Kamu memang tidak bisa berlaku baik kepadaku sebagai orang tuamu, maka
paling tidak berbuat baiklah kepadaku karena aku ini tetanggamu.” Mendengar penuturan itu
RasuluLlah pun menangis. Beliau lalu berkata kepada si Anak, anta wa
maaluka li abiyka, dirimu dan juga hartamu adalah milik ayahmu. Hadis
ini menjelaskan bahwa seberapa besar pun harta dan pengorban yang dilakukan
oleh seorang anak untuk orang tuanya, itu masih belum sebanding dengan apa yang
telah diberikan orang tuanya kepadanya.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar